"Dan kamu lepasin dia gitu aja?"
Cantika mengangguk kecil, menjawab pertanyaan abangnya. "Lagian, dia udah minta maaf, terus anterin aku pulang."
Jovian gemas mendapatkan jawaban tersebut dari adiknya. "Tapi dia celakain kamu, Ca!"
"Kan, nggak sengaja. Musibah nggak ada yang tahu," balas Cantika, memalingkan wajah ketika melihat abangnya semakin ingin meledak.
"Minimal kamu telpon orang rumah, bukan selesaiin sendiri kayak gini." Davin yang sedari tadi diam, ikut masuk dalam percakapan tersebut. "Gimana kalau ada luka serius, terus bikin kamu pingsan pas ngendarain motor?"
Jovian menunjuk Davin, kemudian menatap adiknya. "Bener kata Davin. Setidaknya kamu telpon Abang."
Cantika tak bisa memberikan pembelaan, dilihat dari manapun dirinya tetap salah. Meskipun kejadian sepulang kerja itu adalah hal yang tidak disengaja. Saat itu Cantika tengah mengobrol dengan Cifanny di area parkir rental fotocopy. Ada mobil yang ingin mundur dan tak sengaja menabrak motor milik Cantika.
Beruntung saat itu ia tak duduk di motornya, hanya saja dari kejadian tersebut kaki Cantika dan juga Cifanny tertimpa motor. Tak terlalu sakit, tidak juga meninggalkan luka serius. Namun, tadi itu Cantika benar-benar terkejut, hingga serasa jantungnya hendak berhenti berdetak.
"Kalian, kok, pada ribut, sih?" Seorang perempuan keluar dari kamar Cantika. "Kak, udah pulang ternyata. Kenapa nggak ngetuk? Tadi pintu kamar aku kunci, soalnya Abang ninggalin aku dan lebih milih duduk di teras. Aku takut ada yang masuk—"
"Caca habis ditabrak orang," interupsi Jovian.
"Lagi?" Hani menatap kakak perempuannya dengan pandangan terkejut, "fix, Kakak nggak cocok ada di jalanan."
Jovian setuju dengan ucapan tersebut. "Mulai besok Abang antar-jemput ke tempat kerja," putusnya.
Namun, nampaknya itu tak akan berjalan lancar, melihat Cantika terlihat tak tertekan, membuat Jovian sadar bahwa ada banyak celah di tiap kata yang dilontarkan. Bisa saja Cantika lebih dulu bangun pagi daripada Jovian, dan pergi sendirian bekerja.
Ia sadar bahwa adiknya tersebut bukan anak kecil lagi, tetapi rasanya khawatir saat lagi-lagi melihat Cantika terluka karena berada di luar rumah dan tanpa pengawasannya.
"Kalau lo nggak ada waktu, biar gue yang gantiin," sahut Davian.
Tak langsung mengiyakan, Jovian mengibaskan tangannya menyuruh Davin untuk mengurungkan niat baik tersebut. Mereka sedang membahas Cantika, perempuan yang tak suka diikut campur urusannya.
**
Cantika tak bisa diam ketika melihat adiknya uring-uringan di kasur, wajahnya menekuk sempurna, seakan ada sesuatu yang mengganggu. Hitungan masih akan empat hari Hani berada di Jakarta, sebelum dijemput oleh sang papa. Maka dari itu, demi membangun suasana yang lebih kondusif, Cantika berniat mengajak adiknya itu makan di kafe atau ke manapun.
Ia menatap layar ponselnya, menghabiskan sedikit tabungan sepertinya tak apa-apa. Ini pun demi dirinya, demi ketenangan hidupnya selama empat hari bersama Hani. Mereka masih berbagi kamar, jika salah satu uring-uringan, tentu Cantika akan mendapatkan imbasnya.
Maka di sinilah sekarang mereka. Sebelumnya mengajak makan, malah melimpir ke toko baju. Cantika mengajak untuk melihat-lihat sebentar, tetapi wajah Hani tetap tak bersahabat.
"Yang ini bagus, Han," ucapnya, sembari menatap kemeja di tangannya.
Tidak mendapatkan respons, Cantika mengangkat pandangan menatap ke arah sekitar. Hani tak berada di sana, ia mengembalikan kemeja tersebut ke tempat asalnya, kemudian berjalan pelan mencari adiknya itu.
Toko baju tersebut begitu luas, Cantika tak bisa menemukan adiknya di sana. Berjalan keluar toko, menatap sekitar mall. Di eskalator menuju ke bawah, ia melihat Hani berada di sana. Dagu adiknya terangkat, wajahnya tegas, orang-orang sering mengatakan adiknya judes, dan sekarang inilah yang Cantika hadapi.
"Kalau nggak mau, kenapa nggak bilang?" gumamnya, merasa pisau tajam menusuk dada.
Ia berniat berbaik hati, membelikan adiknya sesuatu untuk membangun suasana lebih baik, tetapi nyatanya tak diindahkan, seakan Cantika ini tengah ditolak mentah-mentah, tak dihargai. Kecewa bukan main, tetapi tak ada yang bisa ia lakukan karena itu keinginan Hani. Membujuk pun sama saja memelas, Cantika tak ingin terlihat begitu.
"Kunci rumah ada di dia, 'kan?" Cantika berdecak, "hah, perasaan gue nggak enak."
Entah dari mana asalnya sesak itu, Cantika seakan ingin menangis dan menumpahkan segalanya. Setelah berapa lama menepi dari keluarganya sendiri, mencari kebahagiaan dan tempat nyaman, pada akhirnya keluarga itu sendiri yang kembali membuatnya terluka.
Cantika menahan segala sakit itu, melangkah kembali ke kehidupan nyata yang di mana semua selalu berjalan tak sesuai rencana.
**
Apa yang diperkirakan Cantika memang benar terjadi. Sepatu yang digunakan Hani sudah berada di teras rumah, tertata begitu rapi dengan sendal jepit lainnya. Ia mengetuk pintu berkali-kali, memanggil nama adiknya itu untuk dibukakan pintu, tetapi tak ada jawaban.
"Hani! Buka!" panggilnya, berkali-kali.
Ia tak mau berteriak lebih, takut tetangga terganggu. Berharap dengan suara ketukan akan membuat Hani tergerak hatinya membukakan pintu, tetapi ternyata setelah lima menit berlalu tak ada jawaban.
Cantika menghela napas berat, matanya mulai berkaca-kaca saat menyadarkan diri sendiri bahwa ia bukanlah bagian penting dari keluarga ini. Cantika memutuskan duduk di teras, menenggelamkan wajah di kedua lututnya, tak terasa air mata mengalir begitu saja.
Pertengkaran antara saudara mungkin sudah biasa, tetapi ditinggalkan dan dikunci di luar rumah, itu sudah sangat keterlaluan. Hal yang paling Cantika tak suka di dunia ini adalah tak dihargai, dan semua itu terkait dengan hubungan antara manusia.
Sejak saat ia menyadari tak bisa memenangkan hati keluarganya, maka saat itulah Cantika memilih meninggalkan kehidupan lama dan membangun kembali hubungannya bersama orang-orang baru.
"Aku nggak ganggu, 'kan?" Cantika bermonolog, "aku udah berusaha jadi lebih baik, tapi kenapa nggak pernah dihargai. Aku yang diam, malah aku yang minta maaf."
Ia mulai terisak, merasa lebih baik berada di tengah orang asing, dibanding bersama dua saudarinya. Semua tak berjalan sesuai yang dipikirkan olehnya, Cantika berpikir telah mendapatkan sedikit ruang di hati saudarinya, nyatanya tidak. Manusia tak pernah bisa berubah dalam waktu singkat.
"Ca?"
Cantika menegang mendengarkan suara tersebut, ia cepat menghapus air matanya, saat itu pula langkah kaki terdengar cepat melangkah mendekati. Ah, Davin ada di sini, melihat kelemahannya yang sudah susah payah disembunyikan.
"Kamu kenapa?" lelaki itu berlutut di hadapan Cantika, "ada yang sakit?" tanyanya, khawatir.
Cantika tak langsung menjawab, masih sibuk menutupi wajahnya yang sembap, tetapi nyatanya tak ada guna, sebab Davin menahan tangannya dan menatap tepat di depan wajah memastikan bahwa benar ia sedang menangis.
"Ada yang jahatin kamu?" tanya Davin lagi, kali ini menuntut jawaban.
Cantika menarik tangannya untuk dilepaskan, tetapi lelaki itu menahan dengan sangat erat. "Nggak ada," ujarnya, lalu segera berdiri.
Davin menatap lantai teras, menemukan satu sepatu yang tak asing beberapa hari ini. "Tadi kamu lagi pergi sama Hani, 'kan? Kenapa pulangnya sendirian?"
Tak menjawab, Cantika berjalan menuju area parkir dan mengeluarkan kunci motor dari dalam tasnya. Davin tak harus tahu, sebab akan menambah masalah nantinya.
**
Hei hei hei
KAMU SEDANG MEMBACA
Lihat Aku yang Baru
Roman d'amourCantika Zwetta hanyalah seorang gadis biasa yang trauma setelah mengalami kecelakaan. Hidupnya benar-benar berubah, termasuk ekonomi keluarga yang membuatnya diam tak bisa berkata-kata, sampai harus pindah ke kampung halaman karena tak sanggup lagi...