CN 17: Surut

140 35 1
                                    

"Siang ujian, harusnya lo bangun pagi, terus siapin mental," ujar Jovian, sedikit sewot melihat Davin datang ke kamarnya dan malah melanjutkan tidur.

"Gue lagi nggak bersemangat."

Jovian menepuk bahu temannya itu. "Ingat masa depan lo."

Davin melengos malas. "Masa depan gue udah hancur."

"Nggak boleh ngomong gitu!" Kali ini memukul bahu dengan kekuatan penuh. "Kaki lo masih bisa jalan, tangan bisa gerak, mulut bisa ngomong. Orang yang kekurangan aja, masih punya semangat buat hidup, dan lo malah kayak gini."

Jovian memang seperti ini, selalu memberikan semangat kepada Davin dengan cara mengomeli seperti emak-emak. Ia hanya bisa menghela napas pasrah mendengarkan omelan itu di pagi hari.

"Lo pikir, siapa yang bikin gue jadi kayak gini?" Davin menatap temannya itu yang sedang mengenakan kemeja.

"Siapa?"

Ditanya begitu, Davin tak bisa menjawab, sebab sudah janji tidak akan memberitahukan kepada Jovian. Meskipun malam itu Cantika mengatakan bahwa hanya berteman, tetapi keakraban di antara keduanya tak bisa diabaikan.

Apalagi pada lelaki itu, Davin tahu betul bahwa ada rasa ketika mata menatap pada Cantika, ditambah senyum yang tulus. Sial, Davin punya saingan.

"Woi, ditanyain malah bengong," Jovian melotot kepada temannya, "mending lo siap-siap ke kampus."

Davin melengos malas, meski begitu bangkit dari duduknya. "Gue minta pendapat lo."

Alis Jovian terangkat. "Tumben. Soal apa?"

"Gimana pendapat lo kalau gue jadi adik ipar lo?"

Jovian segera berbalik dan keluar dari kamar, bersikap layaknya tak mendengarkan apapun dari Davin.

"Woi, gue nanya!" Davin mengikuti dari belakang.

"Kelarin dulu kuliah lo!" Jovian membentak temannya itu, "meskipun gue hanya Abang, tapi gue pemilih!"

Davin mendesis. "Ya udah, nggak usah bentak juga."

"Biar lo sadar!" Jovian jengah, dipikirnya tadi Davin uring-uringan karena khawatir menghadapi ujian, ternyata tidak. dugaannya salah besar.

"Kalaupun udah tiba waktunya," ucap Jovian, "lo laki-laki yang bakal gue tolak mentah-mentah."

"Jahat banget, sumpah!" Davin kecewa mendengarkan ucapan temannya itu.

"Bukan karena dulu lo sering nolak adik gue, bukan," Jovian membuang napas kasar, "tapi karena yang gue lihat, lo terlalu malas buat pendidikan, sampai akhirnya nggak mikirin masa depan."

Davin sadar bahwa dirinya dan Jovian benar-benar berbeda jauh. Ia terlalu menyia-nyiakan waktu, sementara Jovian mempergunakan waktu dengan sebaik-baiknya. Hanya karena melihat Davin yang bermalas-malasan, pada akhirnya Jovian pun punya standar yang tinggi untuk masa depan adiknya.

"Gue bisa berubah, Jov," lirih Davin.

"Hmm," sahut Jovian dengan gumaman, "ya udah, sana mandi, terus ke kampus. Jangan lupa, inget poin yang udah gue tandai."

**

Setelah dipikir-pikir, Davin memang kurang cocok dengan Cantika yang sangat pekerja keras, bahkan saat sakit pun perempuan itu masih memikirkan pekerjaan. Sementara dirinya hanyalah laki-laki pemalas yang masih menerima uang dari orang tua.

Davin juga belum memikirkan setelah lulus harus melakukan apa, yang dipikirkannya hanyalah mendapatkan Cantika, Cantika, dan Cantika. Padahal, belum tentu Cantika mau dengannya yang pemalas ini.

Lihat Aku yang BaruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang