Aldavin Caldwell sungguh tak memiliki gairah hidup seperti milenial pada umumnya. Meskipun ia begitu ingin memiliki semangat hidup, nyatanya tetap saja berujung di kamar pribadi, memainkan game online di ponsel tanpa kenal waktu.
Seharusnya sekarang Aldavin tengah sibuk menjadi mahasiswa semester akhir, menyusun skripsi, bertemu dosen pembimbing, menunggu jadwal ujian, dan tentu berakhir wisuda.
Sahabatnya sejak kecil hampir akan menyelesaikan semua itu. Ya, minggu depan adalah hari yang begitu dinanti sahabatnya. Aldavin dengar, keluarga Jovian datang dari Solo untuk menghadiri wisuda tersebut.
Seketika semangat Aldavin untuk menang dalam game yang dimainkannya, hilang begitu saja. Cantika namanya, perempuan yang tak pernah lagi bertatap muka dengannya setelah kecelakaan yang dialami tiga tahun lalu.
Bagaimana kabar perempuan itu, Aldavin sama sekali tak tahu. Jovian hanya berkata 'baik' ketika ditanyakan. Padahal, Davin bertanya untuk mendapatkan kabar yang sangat detail, tetapi Jovian selalu menjawab singkat. Terakhir kali bertemu, ia melihat dengan jelas bagaimana kondisi kaki kanan Cantika, sangat memprihatinkan. Siapa saja yang melihat pasti akan merasa kasihan.
"Masih aja kayak gini."
Davin mematikan layar ponselnya, menoleh ke asal suara. Seseorang yang tadi sempat dipikirkannya, kini tengah berdiri di pintu kamar dan melangkah masuk dengan sangat perlahan.
"Gue lagi males," sahutnya, tanpa minat.
Setelah kecelakaan yang dialami oleh Cantika, keluarga tersebut pindah ke Solo, kecuali Jovian yang memang saat itu harus melanjutkan kuliah. Davin sendiri tak tahu mengapa harus pindah, dan rumah lama dijual. Sehingga membuat Jovian harus tinggal di indekos.
"Males mulu," Jovian membanting tubuh ke atas kasur, "minggu depan datang, ya."
Tentu saja Davin akan datang, meskipun sekarang mereka tidak bertetangga lagi, ia dan Jovian masih sangat dekat karena di kampus bertemu dan di tongkrongan pun bertemu. Kecuali beberapa bulan ini, Davin tidak ingin menganggu Jovian yang jorjoran menyelesaikan skripsi dan wisuda di waktu yang tepat.
"Gue bakal dateng, kok. Mau dihadiahi apa lo? Bunga?" Davin bangkit dari atas karpet, menatap Jovian yang begitu santai berbaring di kasur, seakan beban hidup telah tuntas.
"Nggak perlu. Malah geli gue dengernya," ujar Jovian, "cukup datang aja." Mengucapkan sembari menatap langit-langit kamar.
Davin menuju kamar mandi. "Gue mandi dulu, udah seminggu nggak ngerasain air."
"Anjiir! Pantesan pas gue masuk langsung kecium bau selokan!"
"Ah, lebay lo," menyengir bak kuda, "bau bangke, kali."
**
Saat Davin keluar dari kamar mandi, dilihatnya Jovian masih dalam posisi yang sama. Namun, kali ini sahabatnya itu menatap kosong ke arah langit-langit kamar, seakan pikiran mengambang, sangking bingungnya melangkah menjalani hidup.
"Gue kira puncak akhirnya dari kuliah adalah wisuda, tapi ternyata salah," ujarnya, menatap Jovian, iba.
Lelaki itu menghela napas berat. Dalam pandangan Davin selama ini, kehidupan Jovian terlihat baik-baik saja meskipun harus tinggal sendirian di ibu kota dan menjalani kuliah sambil bekerja, dibandingkan Jovian di awal runtuhnya usaha keluarga, yang hanya terpuruk tak mampu berbuat apa-apa.
"Ada yang mau lo cerita?"
"Gimana caranya bikin adik gue jadi kayak dulu lagi?" tanya Jovian.
"Maksudnya?" Ditanya langsung tanpa penjelasan, membuat Davin tak mengerti. "Adik lo ada dua, adik yang mana?"
Jovian membuang napas kasar, entah yang keberapa kalinya. "Caca," jawabnya.
Satu nama yang sudah sangat lama tak didengarkan oleh Davin keluar dari mulut Jovian. Dikiranya sahabatnya itu sudah lupa dengan Cantika atau lebih tepatnya menganggap Davin orang luar yang tak perlu mengetahui tentang Cantika Zwetta, perempuan yang sampai saat ini membuat Davin penasaran, apa kabarnya sekarang.
"Dia kenapa?" Ia berani bertanya.
Jovian bangkit dari rebahan, membalas tatapan Davin. "Sejak kecelakaan, dia kayak punya kepribadian baru. Lo pasti merasa kalau dia itu bukan Caca, tapi sebenarnya Caca."
"Ha?" Davin mendekat, topik yang diangkat Jovian benar-benar menyita perhatiannya. "Kayak kemasukan, gitu?"
"Nggak. Ya kali, kemasukan sampai tiga tahun."
Davin duduk di tepi ranjang. "Baru kali ini lo ngomongin Caca ke gue, setelah tiga tahun berlalu."
Jovian tidak membalas ucapannya, lelaki itu kembali menatap kosong. Melihat sahabatnya tersebut membuatnya sadar bahwa ini adalah kebingungan yang telah dipendam sejak lama. Davin sendiri tak tahu perubahan apa yang dimaksud, sebab ia sudah lama tak bertemu dengan Cantika.
"Udah pernah lo tanyain?" tanyanya, menghapus keheningan.
"Jawabannya penebusan dosa," Jovian kembali membuang napas kasar, "gue takutnya, dia ikut aliran sesat."
"Heh!" Davin melongo mendengarkan pernyataan itu, "jangan mengada-ngada, nggak mungkin Caca kayak gitu."
Jovian membalas tatapannya. "Lo harus lihat sendiri, dia beda, Vin."
Sebenarnya sudah sejak lama Davin ingin melakukan itu, melihat Cantika setelah mengalami kecelakaan. Namun, nyatanya tak semudah itu, setiap ingin bertemu, Jovian seakan bungkam, tak memberitahukan alamat rumah baru mereka di Solo.
"Ya ... gimana mau ketemu, gue nggak tahu alamat rumah kalian di mana."
"Di kontrakan gue. Lo udah lupa kontrakan gue?" Jovian berdecak. "Lo bener-bener harus keluar kandang, Vin. Biar nggak jadi pikun."
"Di kontrakan lo?" Davin mengangkat alisnya, "Caca di kontrakan lo?" tanyanya untuk memperjelas.
"Lah, iya. Udah mau dua bulan dia tinggal bareng gue."
Dan detik itu pula Davin sangat ingin melayangkan pukulan pada Jovian. Jika tahu begitu, ia sudah bisa bertemu Cantika dan menghilangkan rasa penasarannya atas kabar dari perempuan itu.
"Tapi lo nggak bisa sembarang ketemu dia. Sibuk banget orangnya," Jovian meninggalkan ranjang, "gue balik dulu. Jam segini biasanya Caca udah pergi, takutnya kontrakan nggak dikunci dengan benar."
Davin segera bangkit mengikuti langkah sahabatnya itu keluar dari kamar. Ada sesuatu yang ingin disampaikannya. "Jov, kalau kontrakan di sebelah lo nggak ada penyewa, telpon gue, ya."
Jovian menghentikan langkah. "Maksudnya?"
"Seperti yang lo bilang, gue harus keluar kandang. Dan bantuin gue ngerjain skripsi." Davin menyunggingkan senyum, yang sebenarnya menyembunyikan maksud dan tujuan.
**
"Laptop, baju, celana, daleman, alat mandi, bantal kesayangan, selimut," Davin mengabsen satu per satu bawaannya untuk memulai hidup baru, "sendal jepit. Hampir kelupaan."
Seorang remaja yang sedari tadi melihatnya, menghela napas kasar, begitu jelas terdengar. "Ngerjain skripsi harus gitu pindah tempat tinggal?" tanyanya, tak mengerti dengan keputusan sang kakak.
"Harus, karena teman yang bantuin, rumahnya jauh. Abang nggak mau bolak-balik, kasihan dianya, dan kasihan Abangnya."
Davin melirik ke arah adiknya itu, terlihat tak puas dengan jawaban darinya. Ya, memang benar kepindahannya ini penuh maksud dan tujuan, tetapi sangat memalukan jika mengaku kepada sang adik.
"Kok, aneh kelihatannya," Derry menatap sang abang penuh kecurigaan, "biar bisa bebas dari kemarahan bunda, 'kan?"
"Ya ... bisa dibilang itu alasan kelima."
Derry bangkit dari rebahan, meninggalkan kasur. "Ayah udah tahu?"
Davin mengangguk. "Kata ayah, selama positif, nggak masalah. Lakuin aja."
Derry masih berada di kamar Davin, menatap punggung sang abang yang merapikan pakaian di dalam koper. "Kok, aku masih curiga, ya?"
Seketika punggung Davin merinding mendengarkan penuturan penuh kejujuran tersebut. "Bukan yang aneh-aneh, kok."
**
Heeeeiiii
KAMU SEDANG MEMBACA
Lihat Aku yang Baru
Roman d'amourCantika Zwetta hanyalah seorang gadis biasa yang trauma setelah mengalami kecelakaan. Hidupnya benar-benar berubah, termasuk ekonomi keluarga yang membuatnya diam tak bisa berkata-kata, sampai harus pindah ke kampung halaman karena tak sanggup lagi...