Davin menahan pergerakan Jovian ketika sahabatnya itu berjalan dengan wajah merah padam menuju Hani. Alarm di kepalanya mengatakan bahwa ada masalah yang lebih besar akan terjadi jika Jovian berhasil mencapai Hani.
"Jov, negurnya pakek kepala dingin. Malu didengerin tetangga," Davin mencoba menenangkan, "adik lo juga udah kelihatan takut banget, tuh."
Jovian tak mengindahkan. "Udah gue bilang, kalau ada masalah itu cerita, bukan angkuh dan ngunci diri kayak gitu!"
Hani menunduk, tak mampu membalas ucapan abangnya. Ia menyadari bahwa telah melakukan kesalahan, menutup telinga dari ketukan pintu yang tak henti. Pada akhirnya lagi dan lagi Jovian mengamuk seperti ini.
"Ini keterlaluan. Gara-gara lo, Caca nggak pergi kerja. Lo nggak tahu gimana dia seneng banget dapat pekerjaan, setelah sekian lama nggak diizinin orang tua buat kerja?"
"Aku nggak sengaja," cicit Hani.
"Apa?" Jovian menyentakkan tangannya yang ditahan oleh Davin. "Lo ngaku nggak sengaja, sementara Caca berkali-kali ngetuk pintu?"
Hani menunduk dalam, mengakui bahwa itu bukan jawaban yang tepat. Bisa dilihatnya Jovian memangkas jarak antara mereka, detik kemudian Hani merasakan hantaman di pipinya, sehingga telinga berdengung.
"Jov!" Davin melongo melihat perlakuan sahabatnya itu.
"Dia nggak bakalan ngaku salah kalau nggak pakek kekerasan. Ini bukan kali pertama dia keterlaluan ke Caca," jelas Jovian pada Davin. Ia sendiri membenarkan kekerasan ini diterima oleh adiknya yang lebih mementingkan diri sendiri.
Davin mendekati Hani yang mulai menangis. Merasa bersalah telah membocorkan semuanya kepada Jovian, ia tak menyangka akan seperti ini jadinya. Seorang Jovian bisa menampar adik sendiri.
Hani menepis pelan tangan Davin yang mencoba menenangkan. "Abang emang sering gini, Kak Caca terus! Kak Caca terus! Kapan Abang ada di pihak aku!"
"Nggak ada yang mau belain lo, kalau kelakuan lo kayak gitu," ketus Jovian.
"Aku adik kandung Abang, dia cuma anak angkat!"
"Hani!" Jovian menatap adiknya penuh peringatan. "Lo nggak ada kapoknya, ya!"
**
Setelah menangisi nasibnya yang tak bisa pergi ke tempat kerja karena seragamnya berada di dalam rumah yang terkunci, Cantika terpaksa meminta cuti sehari yang tentu sangat mendadak bagi atasannya. Ia beralasan tengah demam, itu bohong.
Selama menunggu suasana hati Hani membaik, Cantika diminta oleh Davin untuk berada di kontrakannya, serta dilarang mengendarai motor di kala hati, pikiran penuh dengan kesedihan dan amarah. Meskipun sebenarnya Cantika ingin menjauh dari siapa pun, tetapi ia tak bisa menolak. Cantika tak punya teman dekat untuk dijadikan tempat berteduh meski hanya sebentar.
Tadi ia sempat ingin pergi, tetapi Davin menyusulnya di area parkir dan menahan untuk pergi dalam keadaan tengah bersedih. Cantika iyakan, sebab ia pun tak ingin terjadi hal buruk padanya. Tidak, ia tidak ingin lagi merasakan benturan di aspal.
Cantika meraba di sekitar kasur, mencari ponselnya di sana. Kamar kedua di kontrakan Davin nampak sangat polos, hanya kasur tipis dan bantal yang mengisi ruangan tersebut. Sebenarnya tadi ia ditawarkan istirahat di kamar milik Davin, tetapi tentu ia menolak mentah-mentah.
Mengaktifkan ponselnya, Cantika terkejut saat melihat nama kontak 'Abang' berada di bagian atas notifikasi. Ia segera bangkit, membaca setiap chat yang dikirimkan oleh Jovian. Sangat terasa kemarahan dari abangnya tersebut meski hanya berupa ketikan.
"Ca, udah bangun?" Davin terdengar memanggil dari balik pintu.
Cantika mengusap wajah bantalnya, kemudian menggunakan kamera depan ponsel, ia meneliti matanya, tak ingin ada kotoran di sana. Setelah memastikan tak ada, Cantika mendekati pintu dan membuka. Di sana Davin menatap khawatir.
"Kayaknya Bang Dav bikin kesalahan, deh," ucap Davin.
"Maksudnya?" Cantika benar-benar tak mengerti.
"Jadi, aku cerita ke Jovian apa yang terjadi siang tadi. Dan pulang dari kerja, dia langsung marah-marah ke Hani."
Ah, sekarang Cantika mengerti mengapa Jovian mengirimkan pesan penuh kemarahan. Mungkin kemarahan itu bukan untuk dirinya, tetapi entah mengapa alarm bahaya langsung masuk ke indra pendengarannya. Saat Jovian marah, masalah bukan hanya ada di satu tempat, melainkan akan merambat ke tempat lainnya.
"Gue balik dulu, Bang. Makasih," ucapnya, tulus.
"Mending kamu di sini dulu, Ca. Jovian masih marah, suasana di sana nggak enak banget. Hani nangis, ngurung diri di kamar."
Cantika menghentikan langkahnya. Jika Hani mengurung diri, itu berarti ia tak punya akses masuk ke dalam kamarnya tersebut, serta akan tak enak rasanya saat bertemu Hani yang terkena amukan Jovian.
"Kamu di sini dulu, soal makan malam, biar aku yang urus," bujuk Davin, "jangan sungkan, kita udah seperti keluarga."
Mendengarkan ucapan Hani tadi, membuatnya tak akan membiarkan Cantika bertemu dengan perempuan tersebut. Ia yang baru mengetahui fakta itu, tentu tercengang dan tak bisa berkata-kata. Setelah Hani mengurung diri dalam kamar dan Jovian mulai menenangkan diri, Davin bertanya apa maksud dari perkataan Hani.
"Aku bisa pergi beli sen—"
"Ca," interupsi Davin.
Perempuan itu membalas tatapan matanya, mungkin karena spontan namanya disebut oleh Davin. Mata mereka bertemu meski hanya beberapa detik, sebab Cantika memalingkan wajah, dan kembali menunduk menyembunyikan wajah di balik rambut.
Davin berdeham. "Kalau ada apa-apa, tolong cerita. Jangan pendam sendiri," ucapnya, tulus.
"Gue rasa apa yang terjadi di gue, bukan masalah buat lo, Bang." Cantika membalas, tegas.
"Sayangnya, mulai sekarang Bang Dav ini maunya ikut campur sama urusan kamu."
Satu hal yang Davin rindukan dari Cantika adalah cara bicaranya yang terdengar manis dan sekaligus manja. Cantika yang dulu tak akan menggunakan aksen 'Gue' dan 'Lo' kepada Davin, alasannya karena sudah terbiasa dari kecil dan memang keluarga ini berasal dari Jawa.
Cantika mengembuskan napas pelan, tetapi sebenarnya ia sedang membuang kekesalan. "Bang Dav yang gue kenal, nggak bakal mau ikut campur sama urusan orang lain," ujarnya dengan nada dingin.
"Itu Bang Dav yang dulu," Davin membalas santai, "kamu harus terbiasa dengan Bang Dav yang sekarang."
Cantika memutar bola mata, lebih baik ia kembali ke kotrakan abangnya, daripada berada di sebelah Davin. Tak masalah jika bertemu Hani, hal seperti ini sudah pernah dirasakannya tahun lalu. Sebuah keluarga pasti ada konfliknya, bukan?
"Makasih, gue balik dulu, Bang," ucapnya, segera melangkah meninggalkan Davin.
Dipikirnya akan mudah mengakrabkan diri seperti dulu lagi, tetapi nyatanya tidak. Davin menatap punggung perempuan itu menjauh dan melewati pintu utama kontrakannya. Ada keinginan besar untuk membuat punggung itu kembali tegak seperti dulu, menjauh segala beban dan menciptakan senyum.
Namun, Davin melihat bahwa Cantika tidak membutuhkan pertolongannya atau lebih tepatnya tak ingin membebani orang lain.
Orang lain?
Davin tersenyum kecut menyadari hal itu sangat menyakitkan, membuat kakinya melangkah cepat dan meraih lengan milik Cantika, memaksa perempuan itu berbalik menatap ke arahnya.
"Jujur, sejak kamu pergi, nggak ada perempuan lain selain kamu yamg ada di pikiranku," ucapnya, tegas.
Cantika mendengarkan itu dengan sangat jelas, itu mengapa ia menyentak tangannya hingga genggaman tersebut terlepas. Menurutnya Davin terbawa suasana karena mengetahui kelemahannya yang dipendam sekian lama.
Jika seperti ini, maka Cantika harus lebih berhati-hati dalam menyikapi masalah. Menghindari orang-orang yang dikenal adalah pilihan yang tepat.
Tentu, orang pertama yang harus dihindarinya adalah Davin.
"Maaf."
Hanya itu yang keluar dari mulut Cantika.
**
Haiii 😁
KAMU SEDANG MEMBACA
Lihat Aku yang Baru
Storie d'amoreCantika Zwetta hanyalah seorang gadis biasa yang trauma setelah mengalami kecelakaan. Hidupnya benar-benar berubah, termasuk ekonomi keluarga yang membuatnya diam tak bisa berkata-kata, sampai harus pindah ke kampung halaman karena tak sanggup lagi...