CN 12 : Dia Sendiri

151 41 4
                                    

Pengakuannya tak disambut baik oleh Cantika. Menganggap bahwa akan menjadi awal yang baik di hubungan mereka yang baru, ternyata Davin salah besar. Sudah dua hari dirinya tak lagi melihat Cantika dengan leluasa. Perempuan itu menghilang entah ke mana.

Jovian pun mengatakan setiap pagi sudah tak melihat Cantika di rumah, akan bertemu di malam hari, itu pun hanya hitung menit dan Cantika mengurung diri di kamar hingga pagi.

Davin termenung di meja makan, menatap sang bunda yang tengah menyiapkan makan malam. Ya, ia putuskan untuk pulang ke rumah orang tuanya agar pikiran ini menjadi lebih jernih. Bukan apa-apa, setiap berada di kontrakan, Davin malah sangat ingin menuju tempat kerja Cantika untuk melihatnya walau sebentar saja.

"Bun," Davin menghela napas berat, "ternyata Caca anak angkat."

Selain jawaban Cantika atas pengakuannya, persoalan perempuan itu yang merupakan anak angkat pun ikut menyita perhatian Davin. Selama ini dipikir keluarga tersebut memiliki hubungan kandung dengan Cantika, sebab mereka sudah dekat sejak kecil. Namun ternyata, ada kenyataan yang baru diketahui oleh Davin.

"Tahu dari mana?" Arni menatap sang putra sulung.

Davin yang sejak tadi menunduk, kini membalas tatapan bundanya yang terlihat tak terkejut mendengarkan fakta itu.

"Bunda udah tahu?"

Arni mengangguk. "Kita tetanggaan udah lama. Orang tua Jovian pergi ke Solo dan kembali ke Jakarta bawa bayi cewek. Waktu itu umur kamu sama Jovian masih satu tahun."

"Berarti bener kata Hani," gumam Davin.

"Hani? Hani yang bilang ke kamu?" Arni mendekat, nampak penasaran dengan cerita selanjutnya.

Davin menggeleng. "Bukan ngasih tahu, lebih tepatnya pas dia marah ke Jovian, dia ngungkit soal Caca."

Sang bunda menghela napas kasar. "Kenapa bisa ketahuan anak-anak, sih?" Berdecak kecewa.

Jujur saja, Davin pun ikut kesal mendengarkan ucapan Hani, apalagi nadanya seperti menjatuhkan Cantika. Saat itu pula ia bersyukur melihat Jovian melayangkan tamparan pada Hani. Menurut Davin itu sudah keterlaluan dan perempuan tersebut berhak mendapatkan hukuman.

"Dulu Bunda sempet mau adopsi, tapi orang tua Jovian nggak mau. Caca itu anak dari adiknya Om Jahir yang meninggal kecelakaan," cerita Arni, "ibunya meninggal lebih dulu setelah dua hari melahirkan Caca."

Davin melihat wajah sedih bundanya, seakan terkuaknya fakta itu membuat hati sang bunda ikut menangis. Ya, Davin pun begitu, ia juga khawatir Cantika akan semakin menyendiri ketika menyadari bukan anak kandung dari keluarga yang membesarkannya.

"Ajak Caca ke sini, Bunda buatin sup kesukaannya," ucap Arni, segera membuang jauh ekspresi sedihnya.

Jika sang bunda kini sudah terlihat baik-baik saja, berbeda dengan Davin yang langsung merasa tertekan. Mengajak Cantika ke rumah ini adalah hal yang sangat mustahil. Davin menawarkan mengantar ke tempat kerja saja, selalu ditolak, apalagi jika mengajak ke rumah ini.

"Jangan ngarep, Bun. Caca udah berubah. Banget."

**

Davin menatap wajah samping Cantika setelah berhari-hari tak bertemu. Perempuan itu berdiri di teras rental fotokopi dan print, tempatnya bekerja sembari menatap hujan jatuh membasahi bumi di sore hari.

Tatapan itu tak berubah, kosong, membuat siapa saja tahu bahwa pikiran Cantika berada di tempat lain. Masih mengenakan kemeja berlogo tempatnya bekerja, Cantika tak menyadari sekitarnya, hingga kehadiran Davin di teras itu pun tak disadari.

Davin memasukkan ponsel ke dalam tas, begitu pula dengan lembar skripsinya yang baru saja mendapatkan kritik dan saran dari dosen pembimbing. Ia berdiri dari duduk, menatap teman-temannya untuk segera berpamitan. Tentu, hari ini ia pun akan menawarkan tumpangan kepada Cantika seperti sebelumnya.

"Gue cabut, ya," ucapnya.

"Masih hujan, tunggu reda dulu. Lagian, mobil lo keparkir di kampus, 'kan?" Sena menimpali, "di sini aja dulu."

"Gue mau ambil mobil dulu, entar balik lagi." Nyatanya Davin keras kepala, menganggap bahwa ini kesempatan bisa berada di mobil yang sama dengan Cantika.

"Oke," sahut Sena, mengalah.

Davin melangkah mendekati Cantika setelah mendapatkan persetujuan itu. Hendak membuka mulut untuk menyapa, ujaran dari seorang perempuan yang baru saja keluar dari toko sebelah, membuat ia menghentikan ucapan.

"Eeh, si Cantik Cantika," ucap perempuan itu.

Mendengarkan namanya disebut, Cantika menoleh. Pupil matanya sedikit melebar mengetahui perempuan tersebut berada di hadapannya saat ini. Ia memalingkan wajah cepat, tak menyukai situasi ini.

"Sekarang sering bareng Davin, ya. Vin, lo nggak risi lagi sama dia?" Yuna mengalihkan pandangan ke arah Davin.

Cantika menoleh pada Yuna, kemudian mengikuti arah pandang perempuan itu. Ia tak pernah menyadari bahwa kini Davin berada di jarak satu meter darinya. Larut dalam lamunan, membuatnya tak tahu apa yang terjadi di sekitar.

"Nggak, gue baru aja nyampe," kilah Davin, padahal sudah sedari tadi memperhatikan Cantika berdiri di tempat tersebut.

"Oalah," Yuna tersenyum miring, "jadi, sekarang si Cantik Cantika udah diperhatiin Bang Davin, ya?"

Cantika tak tahan dengan sindiran kata 'cantik' yang ditujukan padanya, ia menghela napas pelan untuk menetralkan rasa malunya saat ini.

"Kamu tunggu di sini, Ca, aku antar pulang." Davin dengan menahan segala emosinya, menarik Yuna untuk menjauh dari sana.

Cantika menatap tak tertarik melihat keduanya berjalan meninggalkannya. Ia mengambil langkah pergi dari rental tersebut dengan menjadikan tangan sebagai payung. Ya, hari ini Cantika tak mengendarai motor kesayangannya, sebab didapati pagi ini ban motornya kempes.

Membuatnya harus berjalan kaki ke tempat kerja, beruntung jaraknya cukup dekat. Cantika berdecak, besok pun ia akan jalan kaki sebab belum membawa motornya ke bengkel. Kepalanya sakit karena menyadari kebodohan itu.

Guyuran hujan tak dipedulikan, mulut terus merutuk diri sendiri, kaki melangkah menuju kontrakan. Trotoar sepanjang jalan yang akan dilewati telah basah, sepatu miliknya tak bisa dikatakan kering lagi, begitu pula pakaian yang dikenakan olehnya.

Cantika harus terbiasa seperti ini, melewati semuanya sendirian. Pertengkaran dingin dirinya dan Hani sudah menjelaskan bahwa ia tak begitu penting dalam keluarga tersebut.

Sepulang kerja abangnya mengatakan bahwa Hani telah dijemput oleh orang tua mereka. Nyatanya sampai saat ini Cantika belum mendengarkan kata maaf dari Hani, atau permintaan orang tuanya untuk memaafkan perbuatan Hani. Hanya Jovian yang menyebutkan kata itu, meminta maaf karena terlambat datang membawa kunci cadangan.

"Ck, padahal bukan abang yang salah," gumamnya.

Mungkin bagi orang lain, tak penting ucapan maaf karena hidup bersama sejak kecil, itu berarti sudah saling mengerti satu sama lain. Itu yang Cantika pikirkan sejak dulu, jika bertengkar dengan saudarinya.

Namun, semakin ia ingin hidup sendiri dan menutupi diri, semakin Cantika merasa tersinggung pada setiap kata dan perilaku yang tertuju padanya. Cantika merasa semua yang terjadi di keluarganya terasa sangat asing, itu membuktikan bahwa ia telah menjadi orang lain di keluarga tersebut.

Lagi pula, Hani memang harus minta maaf, berkat adiknya itu, Cantika mendapatkan teguran dari atasan karena meminta izin cuti sehari sangat mendadak. Hampir saja tak ada karyawan yang mau menggantikan sift-nya yang kosong.

**

Hello

Sesuai janji, kan? Update seminggu sekali. 🙄 meskipun agak melenceng dari jadwal sih.

Jadi....
Dalam waktu satu minggu aku kehilangan 3 kucing. Huhu sedih banget, sampai aku gak mood ngapa-ngapain.

Seminggu penuh dengan air mata, nangisin kucing-kucingku yang udah pergi ke tempat peristirahatan terakhir.

Tapi akhirnya aku sadar, gak boleh berlarut-larut dalam kesedihan. Dan akhirnya aku edit cerita ini, mumpung hari minggu.

Segitu aja ceritaku, kalian jangan lupa senyum. 😊

Lihat Aku yang BaruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang