CN 16 : Berteman

121 37 5
                                    

"Wuah! Ternyata rasanya lega kalau diungkapin secara langsung," kedua tangan Cantika menyentuh dada, "kayak ada beban yang hilang gitu, loh."

Lelaki di hadapannya bergeming, ia belum mendapatkan respons dalam kata-kata. Hanya wajah kebingungan Davin yang kini menjadi pemandangan aneh untuknya.

"Dimaafin, nggak?" Cantika sedikit memiringkan kepalanya, mencari makna di balik tatapan lelaki itu.

"Apa yang harus dimaafin?"

Ia tersenyum kala mendapatkan respons dari Davin. "Banyak. Gangguin lo di sekolah, nempel kayak lem, terus juga pernah ngatain pacar lo, masih banyak lagi."

"Menurut kamu itu kesalahan?" tanya Davin, sembari memasukkan tangannya ke dalam saku celana.

Cantika mengangguk sebagai menjawab.

"Tapi buat aku, kesalahan terbesar kamu, pergi tanpa pamit, kembali tanpa nyapa."

Mengerutkan kening, Cantika melipat tangannya di depan dada. "Emang harus pamit?" tanyanya, "kan, keluarga gue udah pamit."

Cantika ingat hari itu, di mana ia belum bisa berjalan sendiri karena kecelakaan yang dialaminya. Itu mengapa keluarga dari ayahnya lebih dulu menjemputnya dan membawa ke Solo tanpa sempat pamit ke keluarga Davin.

Kepindahan mereka ke Solo benar-benar mendadak dan tanpa penjelasan yang pasti mengapa rumah dijual. Itu alasan mengapa kepindahan mereka berhubungan dengan Cantika yang saat itu masih dalam perawatan.

Ya, saudari-saudarinya mengatakan bahwa rumah dijual karena untuk membayar biaya pengobatan Cantika dan saat itu pula statusnya sebagai anak angkat terungkap.

"Setidaknya, kamu setor muka sedetik, gitu."

Cantika berdecak. "Udah masa lalu juga."

Entah mengapa setelah meminta maaf, obrolannya dengan Davin terdengar lebih santai, Cantika pun sudah berani menatap mata lelaki itu. Ah, ternyata benar, yang terjadi pada dirinya kemarin-kemarin itu karena merasa bersalah dan malu pada Davin.

"Tapi efeknya sampai sekarang," timpal Davin.

Cantika mendengarkan itu, tetapi ia lebih memilih menatap danau dan kembali menikmati angin segar menerpa wajah dengan lembut. Ia bersyukur masih bisa menikmati suasana ini, meskipun terasa sepi tanpa tawa anak-anak yang tengah bermain.

"Makin tua, makin mudah baper, ya," mata Cantika mulai berkaca-kaca, "andai ada yang namanya mesin waktu—eh, sorry, gue jadi curhat." Sadar bahwa ia mulai berceloteh tidak jelas.

Davin tersenyum lembut menatap wajah samping perempuan itu. "Nggak apa, aku emang pengin denger suara kamu," akunya tanpa rasa malu.

Cantika menoleh, pupil matanya melebar, kemudian berkedip berkali-kali. "Woah, jangan bilang lo suka sama gue, Bang?" tembaknya, bercanda, "bakal kiamat, sih, dunia." Kemudian tertawa geli.

"Kelihatan banget, ya?"

"Apanya?" Cantika mengerutkan kening.

"Perasaan," Davin menunjuk wajahnya menggunakan ibu jari, "aku."

"Garing banget," Cantika memalingkan wajah, "kayaknya gue harus balik, udah mau hujan juga."

"Aku anterin?" tawar Davin.

Cantika menggeleng tegas. "Gue mau me time. Udah lama nggak jalan sendiri."

Sebab terakhir kali Cantika jalan bersama seseorang adalah saat berdua dengan adiknya, dan itu meninggalkan kesan yang sangat membuatnya trauma. Ya, Cantika tidak percaya lagi yang namanya jalan bersama, pasti dirinya akan ditinggalkan hanya karena suasana hati yang berbeda.

**

Berapa menit yang terlewati bersama? Ah, Davin tak bisa menahan senyumnya, ia masuk ke dalam kamar kontrakannya dan berbaring dengan cara melemparkan tubuh.

Sebelumnya ia berniat untuk berhenti mengontrak dan kembali ke rumah orang tuanya karena urusan telah selesai. Jovian sudah membantunya menyelesaikan skripsi, sekarang tinggal menunggu ujian, dan satu lagi alasan Davin ingin kembali ke rumahnya, yaitu Cantika yang susah digapai.

Akan tetapi, sekarang ia menarik kata-kata tersebut. Beruntung barang-barangnya belum diangkut dan belum ada calon penghuni yang baru. Davin juga sudah menghubungi pemilik kontrakan dan mengatakan ingin melanjutkan sewa.

"Kira-kira berapa lama gue harus bertahan?" Davin menggigit bibir bawahnya, menatap langit-langit kamar. "Caca udah mudah diraih nggak, sih?"

Ia bangkit dan duduk di tepi kasur, merenung begitu lama, mencari cela untuk mendapatkan Cantika, tetapi yang ada hanya jalan buntu. Melihat bagaimana ekspresi perempuan itu tadi, Davin sadar bahwa di sini ia hanya memegang perasaan satu arah.

"Meskipun tadi udah ngobrol biasa, tapi kelihatan banget dia masih enggan nerima tawaran gue," gumamnya, merenungkan kejadian tadi siang.

Davin membuang napas kasar. "Dia, kok, belum pulang, ya?"

Tadi saat dirinya sampai ke kontrakan, mobil Jovian tak berada di area parkir, itu menandakan temannya tersebut tak berada di tempat. Lalu, ia beralih mencari motor Cantika dan masih terparkir cantik, itu karena Cantika tidak mengendarai motor hari ini.

"Gue jadi khawatir," Davin berdiri dari duduknya, menuju pintu utama kontarakan, "udah gelap pula."

Mencari pun, ia tak tahu di mana tepatnya perempuan itu. Ingin menghubungi, takut ditampar kenyataan bahwa Cantika tidak akan mengangkat teleponnya karena hubungan mereka tidak sedekat itu untuk saling memberitahu posisi saat ini.

"Sampai kapan gue harus menunggu?" Davin duduk di pintu kontrakan, menatap area parkir tanpa minat.

Mau bagaimana lagi, hanya ini yang bisa dilakukannya. Ia menghela napas dengan wajah cemberut, sekarang Davin tahu beginilah yang dirasakan Cantika ketika menunggu Davin untuk memperhatikannya.

Karma tidak semanis kurma, itulah yang pernah Davin dengar dari teman-temannya, dan sekarang ia tahu apa itu pahit.

"Aaah.... Sepi banget!" Davin mengacak rambutnya, tak tahan dengan keheningan ini.

"Bang Dav?"

Suara perempuan disertai langkah mendekat, terdengar dari kontrakan sebelah. Davin segera berdiri, melihat Cantika berada di sana dengan tatapan terkejut sembari membawa kunci di tangannya, tanda bahwa perempuan itu baru tiba dari me time.

"Lo masih di sini?" tanya perempuan itu, "lah, kata Bang Jov, lo udah nggak ngontrak."

"Niatnya begitu, sih," Davin tersenyum kikuk, "berubah pikiran, di sini lebih dekat ke kam... pus."

Kehadiran seorang lelaki membuat perhatian Davin teralihkan. Lelaki itu nampak sangat asing, mendekati Cantika dengan sangat santai, terdapat paper bag di tangannya.

"Ini unit kamu?" tanya lelaki itu.

"Iya," Cantika menyahuti, "nggak apa, aku bisa bawa sendiri." Mengambil apa yang ada di tangan si laki-laki.

Davin terdiam memerhatikan keduanya, kaki tak bisa bergerak sedikit pun, lidahnya kelu, leher seakan sedang dicekik oleh seseorang. Davin kini berada di keadaan tak bisa berbuat apa-apa melihat kenyataan yang ada di hadapannya.

Perempuan itu nampak akrab dengan si laki-laki, seakan mereka tak memiliki jarak sedikit pun. Berbeda dengan saat Cantika bersama Jovian yang lebih dominan dengan rasa segan, lelaki yang sekarang berada di sebelah Cantika, seakan telah berhasil merobohkan dinding pertahanan perempuan itu.

"Bang," panggil Cantika, sembari mendekat.

Davin berkedip berkali-kali, berusaha kembali ke bumi tempatnya berpijar. Entah sejak kapan lelaki itu sudah tak berada di sana, membuatnya mengalihkan padangan pada Cantika.

"Kan, sekarang kita udah temenan," ucap Cantika, "jangan bilang Abang, ya."

Davin mengerutkan kening, tak mengerti.

"Itu, yang tadi nganterin gue," Cantika terkekeh pelan, "sebenarnya, nggak penting, sih, kalau Bang Jov tahu, tapi gue males jelasin."

"Pacar kamu?" Davin tak tahan untuk tidak bertanya.

**

Vote dan komen

Lihat Aku yang BaruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang