CN 3 : Cantika Zwetta

224 56 4
                                    

Jovian menguap di depan pintu rumah kontrakannya, menatap punggung sang adik yang kini tengah mengenakan sepatu. Mata beralih tertuju ke langit yang tertutupi awan kelabu, sangat jelas bahwa sebentar lagi hujan akan turun.

"Pakek jaket, Dek, udaranya dingin banget," katanya pada adik perempuannya itu.

Hanya anggukan yang diberikan, Cantika berdiri dari duduknya setelah mengenakan sepatu. "Aku pergi dulu."

"Jaket, Abang bilang pakek jaket." Jovian mengulang ucapannya.

Cantika menoleh sebentar. "Ada, kok, di bagasi motor."

Barulah Jovian membulatkan bibir dan merasa tenang. "Hati-hati di jalan."

Adik perempuannya tak membalas, bahkan senyum pun tak disematkan di bibir. Entah sudah berapa lama berlalu, perempuan itu benar-benar berubah drastis. Dulunya ceria, riang, gembira, dan super aktif, kini terlihat lebih sering cemberut, merenung, diam seribu bahasa. Jovian tak tahu apa yang ada di dalam pikiran adiknya itu.

"Cantika udah pergi?"

"Anjir!" Jovian mengelus dadanya, menatap tajam lelaki yang muncul dari sekat yang memisahkan kontrakan satu dan lainnya. "Gue kaget!"

Lelaki itu malah tersenyum puas. "Kapan lagi bikin lo kaget pagi-pagi gini."

"Gue tampol lo, Nyet."

"Tampol ni, mumpung gue belum pulang kampung."

Namanya Kevin, teman yang juga mengontrak di rumah petak tersebut. Sudah selesai kuliah dan sedang mencari pekerjaan. Namun, dikarenakan sulit mencari pekerjaan, Kevin berencana kembali ke kampung halaman dan membantu orang tua melanjutkan usaha keluarga.

"Gue cuma mau pamit, sih, sebenarnya. Sore gue balik," ucap Kevin, tatapannya berubah menjadi haru.

"Nggak usah sok sedih, gue nggak bakalan nangis."

Kevin berdecak. "Kecuali kalau lo terima gue jadi adik ipar, pasti kita bakalan sering ketemu."

Jovian mendengkus. Ini sudah kesekian kalinya mendengarkan pernyataan blak-blakan dari teman laki-lakinya. Namun, jawabannya tetap, "Gue nggak niat punya adik ipar kayak lo."

"Sampai kapan adik lo menjomblo? Kasih dia kesempatan merasakan indahnya dicintai," Kevin meninggalkan teras unitnya dan berdiri di hadapan Jovian, "lo mau adik lo jadi perawan tua?"

"Serah lo, gue mau mandi. Pacar gue udah nungguin," Jovian masuk ke dalam rumahnya, "lo kalau belum sarapan, di atas meja ada nasi goreng."

Kevin tersenyum lebar. "Buatan calon istri gue, ya?"

Seketika Kevin mendapatkan tatapan tajam dari Jovian. Sebenarnya, Jovian sendiri tidak melarang adiknya dengan lelaki manapun, hanya saja semua harus sepengetahuannya. Sebab ia tahu bagaimana sikap Kevin, karena mereka saling kenal cukup lama, maka Jovian tak akan pernah setuju jika Cantika hidup bersama Kevin.

Katakan dirinya pemilih, Jovian tak bisa menampik itu jika menyangkut masa depan adik perempuannya. Ia adalah abang yang baik, bukan?

**

Sepulang dari membersihkan taman di rumah tantenya, Cantika duduk di teras kontrakan dengan mata menatap lurus ke arah area parkir, di mana kendaraan milik penyewa tertata rapi di sana. Matanya beralih ke dua mobil yang terparkir, biasanya di sana hanya ada mobil milik abangnya, tetapi kali ini terdapat tambahan mobil.

"Penghuni baru?" Alisnya terangkat satu. "Tapi, kan, masih full."

Di kontrakan ini terdapat enam unit, dan setahu Cantika semuanya masih berpenghuni. Ya, meskipun dirinya diam dan tak terlihat bersosialisasi dengan penghuni lainnya, Cantika bisa melihat dari berapa kendaraan yang terparkir, mungkin karena ia terlalu sering melamun di teras rumah.

"Hm? Ada motor yang hilang?" pandangannya ke arah motor yang berjejer, "lagi keluar, mungkin?"

Ia menggeleng cepat, berhenti bermonolog, sesuatu yang sering dilakukannya akhir-akhir ini karena tak ingin bertanya atau mencampuri urusan. Ya, pada akhirnya Cantika malah jadi begini, hanya bisa menerka-nerka tanpa mengajak mengobrol seseorang.

"Hai, Ca," sapa seseorang.

Cantika sedikit tersentak kaget, menoleh ke asal suara, matanya memicing mencari jawaban siapa yang memanggilnya. Meskipun orang itu menampakkan wajah, tetapi karena matanya melawan cahaya matahari, makan ia tak begitu jelas melihat orang tersebut.

"Udah nggak kenal, ya?"

Suara itu sungguh tak asing, matanya semakin memicing, kali ini dibantu dengan telapak tangan agar meminimalisir cahaya matahari siang yang bersinar terang.

"Bang Davin?" bisiknya, tak percaya.

Spontan pandangannya turun ke lantai, meraih ponsel yang berada di sana dan menatap layar. "Tiga menit," ucapnya, sembari beranjak dari duduk.

Cantika masuk ke dalam kontrakan, sekilas menatap pintu kamar abangnya yang tertutup rapat. Sejak dirinya pulang, abangnya itu tertidur lelap, bahkan saat Cantika bersih-bersih pun abangnya tak terbangun sedikitpun.

Hari Minggu memang adalah kesempatan emas bagi abangnya untuk tidur siang. Cantika tahu bagaimana abangnya itu berjuang kuliah sambil bekerja, yang tentu Cantika sendiri tak mampu menjalankannya secara bersamaan. Maka saat libur, jika melihat Jovian bermalas-malasan, ia tak akan protes.

"Akhirnya," Cantika duduk di depan televisi, "udah bisa dimakan nggak, ni?"

Ia membuka kemasan cup mi instan, menatap apa yang ada di dalam sana. Setelah memastikan bahwa mi tersebut sudah bisa dimakan, Cantika tak berpikir lama untuk menggerakkan sumpitnya dan mulai makan.

"Davin masih tidur?"

Cantika tersentak kaget, menengok sebentar ke belakang punggungnya. Ia lupa Davin masih berada di sana ketika dirinya nyelenong masuk ke dalam rumah. "Iya, masih tidur," jawabnya, dan kembali fokus pada makanan.

Meskipun tak melihat, Cantika bisa merasakan bahwa lelaki itu duduk di belakangnya dalam jarak satu meter. Ia menjadi tak tenang, segan memakan mi sendiri, padahal perutnya sudah terasa sangat lapar.

Tawarin nggak, ya? Cantika membatin.

Berada dalam situasi berdua bersama seseorang adalah hal yang sangat ingin dirinya hindari, apalagi jika dirinya makan dan orang itu sedang tak memegang makanan. Rasanya sangat canggung, sebab Cantika tak tahu bagaimana mengangkat topik, apalagi menawarkan makanan yang jika dilihat sangat menyedihkan.

Ia yakin orang di belakangnya ini pun tak menyukai mi yang akan dimakannya. Hanya saja, kata orang tua, harus menawarkan apapun yang dimakan demi kesopanan.

Dia, kan, orang kaya, masak aku tawarin mi instan? Lagi-lagi Cantika membatin.

Ia memejamkan mata, menarik napas dalam, kemudian mengembuskan perlahan. Demi kesopanan, maka akan dilakukannya.

"Bang ... mau makan?" Meskipun ragu, Cantika bisa mengatakan tiga kata tersebut, tanpa menoleh sedikitpun.

"Nggak, makan aja. Gue udah habis makan, kok."

Cantika mengangguk, kemudian melanjutkan makannya. Hening seketika, suatu keadaan yang sudah sangat biasa bagi dirinya, sebab rumah ini memang hanya dihuni olehnya dan sang abang. Jika ingin ramai, ia dan abang bisa saja mengajak main anak tetangga yang rewel untuk bermain di sini.

Ah, jangan katakan pada orang tua anak itu, sesungguhnya tiap kali mendengar suara tangisan, Cantika sangat ingin mematahkan lehernya. Hanya saja, ia bisa menahan karena tak punya hak melakukan hal tersebut. Cuma bisa berdo'a, semoga orang tuanya tak melakukan apa yang ada di pikiran Cantika.

Bisa-bisa kontrakan ini akan terasa horor.

**

Wassaaaaap

Lihat Aku yang BaruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang