CN 18 : Date

172 31 6
                                    

"Anggap dari gue," Sherin memberikan buket bunga kepada Davin, "karena kalau Jovian yang ngasih, lo pasti bakal muntah."

Davin tersenyum cerah, kemudian menerima bunga tersebut. "Lebih enak dipandang orang kalau yang ngasih cewek."

"Udah sono, foto dulu," suruh Sherin sembari menggerakkan tangannya seakan tengah mengusir Davin.

Hal yang paling Davin tak sukai adalah mengambil foto sendirian di tengah-tengah banyak orang. Kepercayaan dirinya menurun seketika, sebab teman-temannya kini hanya menatap padanya.

"Gue nggak tahu harus gaya kayak gimana."

"Serah, yang penting foto, lo punya bukti ke orang tua lo," ujar Jovian, "lihat kamera, senyum. Sesimpel itu."

Davin melakukan apa yang dikatakan temannya itu, ia menatap kamera ponsel yang mengarah padanya. Ya, memang hanya Jovian yang ia punya saat ini, teman-teman lain sudah berada pada jalan masing-masing. Bisa dibilang Davin salah satu mahasiswa terlambat ujian skripsi di angkatannya.

"Satu, dua, ti... ga," Jovian mulai mengambil foto Davin, "sekali lagi."

Cukup lama dilakukan, setelah foto sendiri, Davin dan Jovian foto bersama. Sebenarnya ini cukup geli, apalagi terlihat bahwa hanya Jovian yang antusias dengan pencapaian Davin saat ini.

Sementara Davin sendiri hanya memikirkan apa yang akan terjadi malam nanti. Ya, janjinya bersama Cantika. Ia sangat tak sabar akan hal itu.

"Udah boleh pulang?" tanyanya, sembari melepas selempang yang bertuliskan namanya.

"Hm, fotonya udah cukup."

"Kalau gitu, gue duluan." Davin sumringah dan segera melangkah menuju area parkir.

Jovian mengangkat satu alisnya. "Senyum lo mencurigakan."

Davin menghentikan langkah. "Sampai jumpa di rumah."

Ia tidak akan mengatakan pada Jovian apa yang membuatnya senang bukan main saat ini. Ah, dada Davin sudah berdebar cepat, padahal belum bertemu dengan Cantika. Separah itu reaksinya hanya karena janji makan bersama.

**

Cantika sudah selesai berganti pakaian dan juga memoles sedikit wajahnya agar terlihat lebih enak dipandang. Meskipun banyak yang bilang Cantika memiliki paras cantik, seperti namanya, tetapi ia sama sekali tak pernah merasa begitu.

Ya, percaya dirinya hancur sejak Davin dengan sangat jelas terlihat tak menyukai kehadirannya. Hal itu menjelaskan bahwa paras Cantika tidak berarti apa-apa di hadapan lelaki itu.

Akan tetapi, sekarang Cantika tidak mempermasalahkan, meskipun sebenarnya ia masih ingin terlihat cantik. Menurutnya itu wajar, sebab dirinya adalah perempuan tulen, bukan perempuan jadi-jadian.

Tidak perlu alasan untuk siapa dirinya harus terlihat cantik, Cantika melakukan atas dasar kesenangan sendiri. Itu mengapa jika sudah merasa cukup, ia akan berhenti berdandan. Cantika tak suka terlihat sangat cantik.

"Udah siap, Bang?" tanyanya pada lelaki yang berdiri di depan pintu kamarnya, terlihat jelas sedang menunggu dirinya keluar kamar.

"Hm." Jovian mengangguk.

"Gue juga udah siap, siap banget malah," sahut Sherin yang kini melihat pantulan dirinya di cermin. "Ayo pergi, gue udah lapar."

Mereka bertiga menatap Davin yang berdiri di depan pintu utama, lelaki itu menyembunyikan kekecewaannya. Dikira akan pergi berdua saja dengan Cantika, ternyata tidak. Ah, entah apa yang terjadi, sehingga Jovian dan Sherin pun ikut bersama mereka malam ini.

Makan malam yang Davin impikan buyar sudah, ia menangis di dalam hati, tetapi melihat senyum Cantika yang merasa senang bisa keluar bersama, membuat kekecewaan sedikit berkurang. Setidaknya ia bisa melihat senyum itu menghiasi wajah Cantika.

"Pakai mobil lo, biar gue yang nyetir," ucap Jovian, menawarkan.

"Ha?" Davin sama sekali tak setuju, "pisah, dong, gue sama Caca, lo sama Sherin."

Alis Jovian terangkat. "Apa lo bilang?"

Mendapatkan tatapan tajam, membuat nyali Davin menciut. Mungkin dirinya dan Jovian dekat sudah seperti saudara, tetapi jika menyangkut hal tersebut, membuat Davin benar-benar tak bisa berbuat apa-apa. Ia pun tahu bahwa Jovian hanya ingin melindungi adiknya.

"Nggak enak, ya, punya temen siscon," ucap Sherin, "sulit."

Jovian berdecak. "Sini, kunci mobil lo."

Davin dengan sangat tak rela, memberikan kunci mobil kepada Jovian. "Tapi Caca duduk di sebelah gue, ya," pintanya.

"Lo di depan, bareng gue."

Sherin tertawa keras mendengarkan ucapan tak berperasaan dari Jovian, sementara Cantika hanya menyimak dan tak memberi tanggapan. Ia tahu bahwa Davin keberatan dengan kehadiran Jovian dan Sherin, tetapi ia pun tak bisa melarang abangnya itu.

Memang semua orang harusnya memiliki rasa ego dalam diri mereka, tetapi tidak dengan Cantika. Ia mematikan egonya dan menghapus keinginannya. Semua pintu di hatinya terbuka lebar, Cantika menuruti rasa malu dan akhirnya menjauhi Davin, begitu pula dengan rasa bersalah yang membuatnya dingin pada lelaki itu.

Hanya satu pintu yang Cantika tutup selama ini, yaitu keinginan. Sudah sangat lama, bahkan saat bertemu kembali dengan Davin, ia tak pernah membuka pintu tersebut meski sangat besar keinginan untuk jalan berdua dan berbicara leluasa dengan lelaki itu.

Begini saja cukup menurutnya, ego hanya akan membuatnya kembali ke masa lalu, di mana ia mempermalukan diri sendiri hanya karena terlalu membuka pintu keinginan.

"Lihat, Caca nggak bakal mau duduk di sebelah lo," ujar Sherin kepada Davin, ketika melihat Cantika lebih memilih duduk di jok belakang bersama dengan dirinya.

Davin mendesah kecewa, mana mungkin dirinya memaksa Cantika untuk melakukan keinginannya. Wajah perempuan itu begitu teguh pada pendirian, tak terbantahkan. Ya, lagi-lagi Davin berhadapan dengan benteng yang menjulang tinggi.

Satu tepukan mendarat di bahu Davin, itu adalah Jovian yang kini duduk di balik kemudi.

"Adik gue nggak semudah itu didapetin," bisik Jovian, kemudian tersenyum miring.

Jujur, Davin benci dengan senyuman itu, membuat suasana hatinya menjadi kacau, ingin memberontak. "Lo mau berantem?" tantangnya.

Jovian malah mengedikkan bahu tanda bahwa tak peduli, kemudian menyalakan mesin mobil. "Kita ke restoran mana? Lo yang traktir, 'kan?"

"Terse—"

"Aku yang traktir, Bang." Cantika menginterupsi.

"Ha? Serius?" Sherin menoleh terkejut ke arahnya, "lo disuruh sama Davin?"

"Nggak!" sela Davin tak terima dengan tuduhan itu.

"Nggak, gue sendiri yang mau. Ini, kan, hadiah buat Bang Dav karena udah selesai skripsi." Cantika menjelaskan.

"Udah dibilangin, kamu cuma datang makan, terus pulang, nggak perlu bayar," Davin menoleh ke arah Cantika, "susah banget dibilangin."

Jovian tertawa geli. "Lo baru tahu?"

Sebenarnya Davin tahu, tetapi selalu lupa. Dipikirnya Cantika akan menyerah begitu saja ketika diucapkan sekali, nyatanya tidak, perempuan itu terlalu keras pada diri sendiri.

"Kalau gitu, lain kali gue yang traktir," ujar Cantika, mengalah.

"Oke," Davin mengangguk, kemudian kembali melihat ke arah depan, "tapi jangan ajak mereka berdua, nanti tabungan kamu berkurang banyak."

"Dih, kayak bakal ada lain kali," Jovian menggeleng, seakan mengingatkan Davin untuk tidak berharap, "Caca bakal nikah bulan depan."

**

Hei

Lihat Aku yang BaruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang