CN 9 : Nominal Kesukaan

189 42 5
                                    

Awal bulan menjadi kebahagiaan untuk Cantika, ditatapnya layar ponsel yang menampilkan deretan angka, nominal tabungan di dompet digital miliknya. Ia tersenyum, mungkin belum mencapai dua digit, tetapi dengan melihatnya saja Cantika sudah senang bukan main.

Senyum di bibirnya merekah sempurna, katakan dirinya mata duitan, Cantika tak masalah, sebab ini adalah uangnya, hasil kerja kerasnya selama ini yang dikumpulkan dengan sangat susah payah, terlebih lagi ia harus menahan nafsu berbelanja hal yang tak terlalu penting.

"Bisa senyum juga, Dek?" celetuk Jovian yang duduk tak jauh dari sang adik.

Mendengarkan itu, Cantika segera mengangkat pandangan dari layar ponsel menuju ke asal suara. Abangnya terlihat sangat penasaran, apa yang membuat Cantika tersenyum begitu manis sambil menatap ponsel?

"Kejadian langka, setelah hampir dua minggu gue tinggal di sini," ucap Davin.

Cantika menggigit bibir bawahnya, hendak kembali masuk ke kamar, tetapi sadar bahwa di dalam kamar tersebut ada adiknya yang tengah tidur siang. Ia tahu apa yang akan terjadi jika berada di dalam kamar saat ini juga, Cantika akan menjerit senang sembari meredam wajah di bantal.

"Coba senyum kayak gitu, Ca, pasti banyak yang suka sama kamu." Davin berucap lagi.

Dalam hati Cantika menghela napas berat, ternyata topik masih berada di senyumnya yang tadi. Ia tak tahu, sebesar apa efek dari senyum itu untuk Davin, yang seakan-akan terus menggali agar memiliki topik pembicaraan.

"Jangan pacaran dulu," sela Jovian, terdengar tak suka.

Davin mendengkus, seakan kodenya tadi dipatahkan langsung oleh sahabatnya itu. "Jomblo mulu, dong, kayak gue. Jangan, nggak enak."

Jovian melengos malas. "Setidaknya lo pernah, sekarang mending fokus nyusun skripsi."

"Aku pernah, kok, Bang." Cantika spontan mengucapkan itu, seketika ia menutup bibirnya menggunakan kedua tangan saat Jovian cepat menoleh ke arahnya.

"Kapan?" respon dua lelaki di ruangan tersebut.

Cantika enggan menjawab, mata tertuju pada sang abang yang menuntut jawaban, tetapi ia memilih bungkam. Jovian tadi berkata jangan pacaran, itu berarti sebuah larangan telah keluar dari mulut abangnya tersebut. Jika Cantika mengaku hari ini, maka mungkin tak ada yang tahu apa yang akan dilakukan Jovian terhadapnya.

"Abang nggak marah, kok. Lagian, udah lewat juga. Jadi, kapan?" ulang Jovian, lebih tegas.

Merasa tak bisa berlari, Cantika menurunkan tangannya dan mulai menjawab, "Waktu SMA, kelas dua."

"Udah lama ternyata," tanggap Jovian, kemudian tak ada komentar lagi. Merasa bahwa kejujuran saja sudah cukup, tak perlu dibesarkan.

Namun, tidak dengan Davin, tatapannya pada Cantika sangat jelas bahwa dirinya terkejut. Hal ini tak disangka olehnya, di mana yang diketahuinya saat itu Cantika sangat menyukai Davin, bahkan di sekolah pun tak bisa menyembunyikan perasaan tersebut.

Cantika mengekor, mencari gara-gara, sebisa mungkin masuk tongkrongan, bahkan sangking aktifnya Cantika dulu, sampai-sampai Jovian memilih mengurung adiknya itu di kamar agar tidak mengganggunya dan Davin yang sedang belajar ataupun bermain game.

"Vin," panggil Jovian.

Tak ada jawaban, ia menoleh. Mengerutkan kening melihat sahabatnya itu terdiam cukup lama menatap Cantika yang kembali sibuk di ponsel.

"Vin, woi!" panggilnya lagi, kali ini sedikit mengguncang tubuh Davin.

**

Malam hari Davin duduk di teras kontrakan sendirian, seperti biasa menunggu Cantika pulang dari bekerja. Sebenarnya ia ingin mengantar dan jemput perempuan itu, tetapi nyalinya ciut ketika diberikan tatapan dingin, seakan kakinya langsung membeku saat itu juga.

Davin pun tak tahu di mana tempat Cantika bekerja saat hari Sabtu dan Minggu, yang jelas pekerjaannya selalu pulang malam di akhir pekan. Bertanya pada Jovian, jawabannya hanya menghela napas kesal dan melarang untuk menanyakan hal itu lagi.

Ngomong-ngomong soal Cantika, Davin belum terima dengan pengakuan perempuan itu tadi pagi. Selain terkejut, ia merasa kecewa bukan main. Bagaimana bisa dirinya tak tahu akan hal tersebut, sedangkan Cantika terus mengekorinya?

"Woi, lo udah makan?"

Davin menoleh ke asal suara, Jovian berdiri di depan pintu.

"Udah," jawabnya.

"Melamun aja kerjaan lo dari tadi. Besok jadwal ketemu pembimbing, 'kan?" Jovian berjalan mendekati Davin. "Lo kepikiran itu?"

"Bukan, gue biasa aja, nggak terlalu mikirin, dan nggak terlalu takut juga," ujar Davin.

"Terus, kenapa lo melamun mulu?"

Davin menghela napas berat. "Gue merasa terkhianati, Jov. Sakit banget dada gue, kirain selama ini gue yang spesial, ternyata enggak. Berarti selama ini gue cuma kege'eran, dong."

"Ha?" Jovian benar-benar tak mengerti apa maksud sahabatnya itu.

Selama ini mereka selalu bersama, menceritakan segala hal, tentang diri sendiri atau orang lain. Namun, baru kali ini Jovian tak mengerti apa yang dimaksud oleh Davin, ia duduk di sebelah sahabatnya, menatap wajah yang kusut itu dengan alis bertaut.

"Siapa maksud lo? Lo deket sama cewek lagi? Kok, gue baru tahu?" tanyanya, beruntun.

Davin menggeleng. "Bukan lagi dekat sama cewek, ini kejadian lama yang baru gue tahu."

"Lo... diselingkuhi?"

Membuang napas cukup kasar, Davin berharap beban pikirannya pun ikut terbuang, tetapi tak semudah itu. Rasa dikhianati itu masih ada. Dirinya benar-benar salah kaprah sejak dulu pada Cantika.

"Adik lo, Caca," jawab Davin, "gue pikir dulu dia sukanya sama gue, ngejar-ngejar gue, tapi ternyata dia pernah pacaran di saat kelihatan banget sukanya cuma sama gue."

Entah harus berekspresi apa Jovian mendengarkan itu, yang jelas ia memukul kepala Davin agar cepat sadar bahwa yang dipikirkan itu sangat buang-buang waktu.

"Sakit, Nyet!" Davin mengelus kepalanya.

Jovian berdiri, hendak kembali ke rumahnya. "Lo yang monyet, percaya sama cinta monyet!" balasnya.

"Cinta monyet? Itu cinta lama, gue tahu Cantika suka gue dari SMP."

Jovian ingin meraung, menggebuk sahabatnya itu, sebab merasa geli melihat Davin yang terlihat tak terima dengan pengakuan Cantika. Apalagi, ini menyangkut adiknya, geli mendengarkan romansa Cantika dibahas di depannya seperti ini.

"Tapi, buktinya dia pernah pacaran," ujar Jovian, mencoba menyadarkan Davin, "udah terjadi juga, ngapain dipermasalahkan?"

"Gue dikhianati, Jov," Davin masih belum terima, "berarti selama ini gue yang kege'eran."

"Lo tanya langsung ke Caca, deh. Kenapa dan mengapa bisa pacaran waktu SMA?" Jovian tak tahan menanggapi Davin. "Noh, anaknya udah pulang."

Keduanya menatap ke area parkir di mana Cantika baru saja berhenti dan memarkirkan motornya. Perempuan itu membuka helm, tetapi bukannya langsung menuju rumah, Cantika malah berjalan kembali ke gerbang.

Di sana seorang lelaki turun dari mobil, keduanya sempat mengobrol singkat kemudian lelaki itu pergi.

"Siapa?" tanya Davin pada Jovian yang juga terkejut melihat adiknya malam ini.

"Sumpah, adik gue kebanyakan rahasia." Jovian bergegas melangkah menghampiri Cantika.

Tentu saja Davin tak bisa diam dan melewatkan informasi ini. Ia sangat ingin tahu dan juga protes, sebab Cantika tak mau diantar jemput olehnya, tetapi sekarang malah diantar pulang oleh seorang lelaki. Apalagi ini malam minggu.

**
Hei

Apa kabar?

😁

Lihat Aku yang BaruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang