Di usiaku yang masih umur 17 tahun, akü dinikahi pria berkulit putih bernama Jansoen Van Derek. Menikah dengan pria Belanda membuat diriku mendapat julukan 'Nyai' atau banyak juga yang menyebutku dengan gundik.
Istilah Nyai masih menjadi hal tabu dan negatif di masyarakat Hindia-Belanda kala itu. Sejatinya istilah tersebut merujuk pada wanita pribumi yang tinggal bersama pria Belanda tanpa status pernikahan.
Ketika diluar sana banyak sekali para perempuan pribumi yang ketika menikah dengan seorang meneer disembunyikan karna mereka malu, Jansoen dan keluarganya justru sebaliknya. Pesta pernikahan kami justru meriah dengan mengundang teman ataupun kerabat dari kedua mempelai.
Banyak keluargaku yang malu akan keputusanku menikah dengan Jansoen, bahkan ibuku sendiri enggan datang pada akad dan pesta pernikahanku. Hanya bapak dan kakakku yang hadir mendampingiku.
"Wes ora jowo maneh kowe nduk, isone kowe meleh uwong seng wes ngerampas tanah kelahiran kita." (Sudah bukan orang jawa lagi kamu nak, bisa-bisanya kamu pilih orang yang sudah merampas tanah kelahiran kita)
"Sampek ibuk matipun, ibuk ora sudi ngakoni wong londo iku mantuku" (sampai matipun, ibu tidak sudi mengakui orang Belanda itu sebagai mantu ibu)
Begitulah kata-kata terakhir ibuku ketika aku meminta restu bersama calon suamiku untuk menikah. Setelahnya ibuku tidak sekalipun menjawab ketika aku ajak beliau bicara.
Banyak memang perlakuan tak adil yang orang-orang VOC lakukan pada kami kaum pribumi. Sistem tanam paksa dimana para pribumi diwajibkan bercocok tanam dengan tanaman yang hanya mereka perintahkan, kemudian hasil tanaman mereka dibeli murah, sistem kerja rodi dengan memperkerjakan suatu proyek baik itu jembatan atau jalan traim (rel kereta api), ataupun ada yang beranggapan kami kaum pribumi memiliki status lebih rendah dengan mereka orang kulit putih.
Tapi kembali lagi, setiap orangkan punya sifatnya masing-masing. Tidak semua orang-orang VOC itu jahat, seperti suamiku sekarang. Dia benar tulus kepadaku, dia mengajariku banyak hal yang tak pernah aku pelajari seperti membaca, menulis, dan berhitung, dimana hal tersebut tidak bisa aku pelajari karna tidak mampu untuk bersekolah.
Waktu itu memang orang-orang kami, khususnya orang pribumi sangat sedikit yang berkeinginan bersekolah, mereka hanya fokus dengan mencari uang untuk mencukupi kebutuhan mereka.
***Pernikahanku digelar menggunakan adat jawa di rumah orangtua Jansoen, menggunakan riasan paes pengantin jawa solo basahan, menyesuaikan dengan adat pernikahan daerahku. Paes adalah riasan berupa lekukan-lekukan di dahi wanita yang biasanya berwarna hitam.
Jansoen dan keluarganya begitu baik padaku, mereka tidak seperti orang londo kebanyakan yang menganggapku lebih rendah dari pada bangsa mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nyai Kasminah
Fiksi SejarahMenceritakan sebuah kisah Nyai Kasminah yang hidup pada masa Kolonial Belanda. Tidak hanya tentang kisah cinta dan kehidupannya, tapi juga tentang daerah, dan ekonomi masa pemerintahan Hindia-Belanda.