"Bu bu bu"
Ucap Susianne, anak bungsuku yang paling kecil."Ibu"
Kataku mengajari anakku untuk berbicara memanggilku."Goede morgen (selamat pagi) putri kecil papa"
Suamiku tiba-tiba datang mengendong putri bungsu kami yang baru selesai aku mandikan."Nhaa haha, pa pa pa"
Kata Susianne memanggil ayahnya terbata-bata sambil tertawa, karna sang ayah sedang menggelitik perut kecilnya."Kita pakai baju dulu ya Anne, setelah itu kita makan, papa suapin"
Aku tersenyum melihat interaksi mereka berdua, suamiku benar-benar selalu membuatku jatuh cinta dengan cara melakukan hal-hal kecil seperti ini. Jansoen selalu ikut andil dalam merawat anak-anak kami. Walaupun terkadang kita debat masalah pola asuh yang diberikan untuk anak kami.
Aku yang orang jawa, tentu akan mendidik anak-anakku dengan nilai-nilai adat timur seperti pola asuh orangtuaku terhadapku. Sopan santun, menghargai orang yang lebih tua, tidak membantah perintah orangtua, yang menurut suamiku itu adalah pola asuh otoriter, dimana anak tidak mempunyai ruang untuk mengutarakan semua pendapatnya dan semua diambil alih oleh orang tua.
Sedangkan Jansoen yang notabene orang eropa punya prinsip sendiri yang kurang sesuai dengan pola asuh orang jawa. Menurut Jansoen kebahagiaan anak itu penting. Menerapkan prinsip-prinsip psikologis dalam interaksi sehari-hari dapat membantu anak-anak mengembangkan kebahagiaan mereka sendiri.
Menurutnya anak memiliki kebutuhan dasar yang meliputi kebebasan, rasa senang, dan rasa memiliki. Ketika kebutuhan itu tidak terpenuhi dengan baik, anak cenderung menjadi frustrasi dan tidak bahagia.
Suami Londoku selalu menerapkan pola asuh diantara adalah, tidak mendisiplinkan anak dengan hukuman, tetapi menggantinya dengan memberikan arahan yang jelas. Tidak fokus dengan nilai pelajaran di Sekolah, mengajari anak mengerjakan pekerjaan rumah dan keperluan anak sejak dini, hidup sederhana, dan gaya hidup aktif.
Mungkin butuh ekstra sabar ketika suamiku itu menerapkan pola asuh seperti itu, karna anak akan berani berpendapat dan menolak permintaan orangtuanya. Tetapi karna pola asuh seperti itulah yang membuat anak-anak kami bebas berpendapat menyuarakan yang mereka inginkan dan dekat dengan kita orangtuanya, tidak seperti kebanyakan saudaraku yang mempunyai batas antara anak dan orangtua.
Diantara ketiga anak-anakku, hanya Annelah yang paling dekat dengan papanya. Anne mempunyai pribadi yang lembut, sabar dan pendiam tidak seperti kedua kakaknya.
Lince, anak pertamaku adalah sosok yang pemberani. Dalam hal akademik dia memang pintar, tetapi karna kebanyakan temannya adalah Indo-Belanda yang sering kali merendahkan kaum inlander atau pribumi dia jadi sosok yang sedikit sombong. Menganggap bahwa kasta Indo lebih tinggi dari pada Inlander. Begitupun dengan whillem.
Whillyam, anak keduaku terkadang sering sekali menyepelekan pekerja buruhku atau saudaraku yang pribumi. Beberapa kali kami menasehati untuk tidak membeda-bedakan dan bersikap angkuh tetapi jawabannya hanya "iya" dan sifat angkuhnya itu akan kembali beberapa hari kemudian.
Bersyukur aku mempunyai Anne, anak ketigaku yang hatinya lembut seperti papanya. Anne anak yang penurut dan sabar, seringkali dia membantu dan memberi roti atau makanan kepada buruh kerja kami, menyapa dan tidak pernah membedakan manusia satu dengan lainnya.
"Aku wong jowo sama kaya dengan ibu, ada darah orang jawa di sini ibu. Tanpa ibu yang orang jawa, Anne tidaklah ada ibu"
Itu adalah kata-kata yang selalu Anne katakan ketika aku sedang menangis karna sikap Lince dan Willem yang tak pernah mau menganggap dirinya orang jawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nyai Kasminah
Historical FictionMenceritakan sebuah kisah Nyai Kasminah yang hidup pada masa Kolonial Belanda. Tidak hanya tentang kisah cinta dan kehidupannya, tapi juga tentang daerah, dan ekonomi masa pemerintahan Hindia-Belanda.