Pada masa kependudukan Jepang di Indonesia, Kota Malang yang merupakan bagian dari Indonesia atau Hindia-Belanda pun ikut serta diduduki oleh Jepang.
Bala Tentara Dai Nippon mulai menduduki Kota Malang pada 7 Maret 1942. Malang yang saat itu dipimpin oleh Raden Adipati Ario Sam, menyerah pada Jepang yang saat itu berkuasa di Kota Malang. Pengambilan alih Pemerintah pada prinsipnya meneruskan sistem lama, hanya sebutan-sebutan dalam jabatan diganti dengan bahasa Jepang.
Kedudukan jepang sangat berdampak pada daerah kami, dimana pada masa pemerintahan Hindia-Belanda kami masih sedikit bebas untuk menjalankan usaha kami, pada pemerintahan jepang ini kami harus tunduk dan patuh pada perintah sang pengusa.
Sistem tanam paksa lebih kejam, barang siapa yang melanggar, tentu akan dimasukan dalam penjara. Beruntung jika hanya dimasukan dalam penjara, terkadang mereka disiksa habis-habisan dan diadu seperti ayam lalu menjadi tontonan petinggi Nippon, dan masih banyak lainnya yang membuat para inlander, indo, dan belanda menjadi lebih sengsara.
Hasil panen kami dirampas tanpa sisa untuk kami makan. Buruh kami tidak diberikan upah sama sekali. Mereka disuruh kerja tanpa mengenal waktu, hingga banyak diantara mereka yang berjatuhan lalu meninggal. Mereka yang tidak kuat menjalankan romusa, lalu jongkok makan kalau orang nippon tau akan di tendang, di pukuli atau dipecut untuk bekerja lagi.
"Kita tidak ada pemasukan sama sekali suamiku, hasil panen kita dirampas oleh orang-orang sipit itu. Lalu bagaimana kita akan menggaji para pegawai kita? Bahkan untuk makan saja kita hanya bisa makan umbi-umbian karna beras hasil panen kita semua dirampas. Semua panen kita diambil wong edan iku"
"Benar meneer, kita semua dipaksa untuk terus bekerja tanpa istirahat. Mereka banyak yang kelelahan dan mati karna dihajar para nippon. Mereka sama sekali tidak memberikan kesempatan pada kami untuk makan dan beristirahat. Tidak seperti para meneer londo yang dulu ketika bekerja masih mendapat upah, roti, susu atau rokok meneer."
Tambah salah satu buruh kuli kami.Suami londoku itu hanya diam berfikir, matanya terlihat sayu melihat para pekerjanya itu penuh dengan luka bekas pecut.
"Jujur saya juga bingun harus melakukan apa untuk kita, sejujurnya saya sudah tidak mempunyai kekuasaan seperti dulu. Hindia-Belanda telah dikuasai Nippon"
"Kita tidak bisa makan seperti dulu meneer, bahkan nippon itu juga membawa semua hasil panen kami, singkong dan ketelapun mereka rampas nyai"
"Benar nyai, kami jadi sering berpuasa, hidup kami tidak bebas. Bahkan mandi di kali saja kita tidak setiap hari seperti dulu. Kapas kami untuk dijadikan kain juga dirampas sehingga kami hanya berpakaian kain goni seperti ini. Badan kami gatal karna banyak kutu yang menggit kami dan bersembunyi di kain goni kami."
"Semua tenun saya juga dirampas nyai, saya hanya mempunyai satu pakaian ini, jika mandi saya akan sekalian mencuci baju saya, dan menjemurnya, sedangkan saya berendam di sungai sampai pakaian saya kering. Jika para nippon datang kami akan lari dan bersembunyi"
Aku melihat penderitaan mereka memang sangat menyedikan, dimana badannya semakin kurus, banyak keluarga dari mereka yang harus meninggal karna kelelahan bekerja di perkebunan rampasan nippon dari tuan tanah.
Tidak hanya itu, kaum pribumi yang cantik pasti akan diculik untuk dijadikan wanita tuna susila atau zaman dulu disebut dengan lonte. Wabah penyakit juga semakin meluas dan banyak memakan korban pada masa nippon ini.
Masih belum cukup dengan merampas hasil perkebunan daerah kami dan menjual wanita cantik pribumi, nippon juga mengusik beberapa tempat ibadah daerah kami. Salah satunya Gereja Sejarah Pagelaran.
Gereja yang didirikan oleh Blijdenstein pada 15 oktober 1930, seorang administrator perkebunan karet milik orang Tionghoa yang bernama San Lien Kongsi ini juga mendapatkan dampaknya.
Gereja tersebut yang awalnya digunakan untuk memupuk dan memperbesar komunitas Katolik yang berada di wilayah Pagelaran dan sekitarnya itu disegel dan sebagian bangunannya dihancurkan oleh Nippon. Orang-orang yang pada hari itu menjalankan misa, dibatai secara keji dan mayatnya dibiarkan berserakan.
Para kyai juga dipenjara, karna ditakutkan dalam dakwah dan belajar ngaji para kyai menyelipkan kata-kata yang membuat orang pribumi mempunyai jiwa kemerdekaan dan mengusir nippon dengan melakukan perlawanan.
***Suatu hari ada tuan nippon yang datang kerumah kami bernama Akihiro, dia secara terang-terangan meminta kepada mertuaku untuk membawa adek bungsu dari suamiku yang bernama Maria.
Maria memang cantik, berperawakan tinggi, dengan wajahnya yang khas eropa itu membuat orang yang melihatnya tentu akan tertarik kepadanya. Saat itu mertuaku menolak permintaan tuan Nippon tersebut, dan diakhiri dengan mertuaku yang ditodong dengan samurai oleh akihiro.
Tentu aku yang sudah lelah dan benci dengan orang-orang Nippon itu memanggil saudara dan penjagaku yang mempunyai ilmu kebal untuk melawan mereka. Beruntungnya hari itu karna tuan Nippon tersebut lari terbirit-birit karna takut mati.
Dengan kejadian hari itu membuatku menjadi gelisah, orang-orang nippon itu sekarang sudah mengganggu ketenangan keluarga kami. Aku harus segera menemui bapak untuk memintanya tinggal bersama keluarga kami agar keluarga kami saling melindungi.
Untuk jaga-jaga dari orang jepang kami juga membuat sebuah bangker dirumah kami. Disana dilengkapi dengan tempat tidur, damar jempluk yang berbahan bakar minyak klentik atau minyak tanah, dan makanan.
Keesok harinya, saat aku pulang berangkat bekerja di kebun sebelah rumah, keluarga dirumah mertuaku sedang berkumpul. Chan anak ketiga dari mertuaku yang selalu baik dan murah senyum itu ditemukan tidak bernyawa dengan tembakan didadanya dan kaki yang sudah patah didepan pintu. Sedangkan Seneti, pembantu pribumi mertuaku juga ditemukan tidak bernyawa didepan kamar Maria.
"Verdomde nippon, ik zal je vermoorden akihiro (Nippon sialan, aku akan membunuhmu Akihiro)"
Kata mertuaku meneer Ludwih.Hari itu, kami sekeluarga dibantu para saudara baik belanda atau pribumi mencari Maria. Maria diculik oleh Akihiro
KAMU SEDANG MEMBACA
Nyai Kasminah
Historical FictionMenceritakan sebuah kisah Nyai Kasminah yang hidup pada masa Kolonial Belanda. Tidak hanya tentang kisah cinta dan kehidupannya, tapi juga tentang daerah, dan ekonomi masa pemerintahan Hindia-Belanda.