Bulan Purnama

122 9 1
                                        

In de maan verlichte nacht
(di malam bulan purnama)
Als ik t'rug denk aan die mooie tijd
(ketika saya mengingat kembali masa indah itu)
dan huil ik zacht
(dan aku menangis pelan)

Vaarwel mijn dromenland
(Selamat tinggal alam mimpiku)

jouw oceaan (lautan anda)
vaarwel mijn dromenland
ver hier vandaan (jauh dari sini)
vaarwel mijn dromenland
mijn hart doet zeer (hatiku sakit)
vaarwel mijn dromenland
ik zie jou nooit meer (aku tidak pernah melihatmu lagi)

Sayup-sayup aku mendengar seseorang menyanyi menggunakan bahasa Belanda. Suaranya begitu merdu namun lirih hingga terdengar pilu. Aku berjalan ke arah suara tersebut, dan ku buka pelan kamar anak bungsuku Susianne.

Ternyata benar, suara itu adalah suaranya yang bernyanyi sambil berdansa dengan boneka pemberian papanya. Aku biarkan dia bernyanyi sambil berdansa, sampai akhirnya dia bersimpuh dan menangis pada lipatan tangannya. Tangisnya terdengar pilu dan menyanyat hatiku.

"Anne"

"Nik"

"Kenapa sayang"

"I... bu"

Panggilnya terbata sambil menangis sesegukan. Mata menatapku dalam, tersimpan begitu banyak luka disana. Kemudian dia menunduk lagi, memeluk bonekanya erat. Tangannya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih. Aku peluk tubuh mungilnya, mencoba memberikan kekuatan padanya dengan menciummi puncal kepalanya.

Aku tahu anakku Anne sering menangis dalam hening malam seperti ini. Aku tahu dia sedih dan iba dengan apa yang keluarga kami alami. Meski setiap pagi dia selalu berusaha tersenyum di depanku seolah semuanya akan berjalan baik-baik saja.

Namun, mata jernih dengan banyaknya luka sayatan di dalamnya membuatku menyadari saat seorang anak terluka, seorang ibu dua kali lebih terluka. Saat seorang anak merasa gagal, seorang ibu akan merasa dua kali lebih gagal. Dan saat seorang anak kecewa, seorang ibu bisa dua kali lebih kecewa.

"Maaf"

Kataku meminta maaf pada anakku tersebut sambil menepuk-nepuk punggungnya lembut, membelai rambut panjangnya dengan kasih sayang.

"Maafkan ibu Anne"

"Maaf telah memberimu luka yang begitu dalam"

Air mataku kini kembali jatuh mengingat suami Londoku. Mengingat semua kenangan yang telah susah payah kita ukir selama 13 tahun. Kenangan yang tak akan pernah bisa aku lupakan karna berakhir dengan cerita yang menyedihkan.

"Maaf satu tahun ini ibu menjadi si pincang yang buta arah, dan si pincang yang mudah rapuh sehingga tidak bisa merawatmu dengan baik."

"Maafkan Ibumu yang tidak Sempurna ini"

"Anne...Maafkan Ibumu. Disaat kamu belum mengerti apa-apa, karena usiamu masih terlalu dini, ibu menuntutmu untuk mengerti banyak hal, menuntutmu untuk memahami kondisi orang tuamu, menuntutmu untuk menjadi anak yang manis dan rapi.. menuntutmu dengan banyak hal yang tak kau mengerti,, sehingga terkadang emosi ibu meluap di saat kamu tidak seperti yang diinginkan ibumu.."

"Anne anakku.... maafkan ibu,
yang tak mampu memberikan keteladanan yang baik padamu, tetapi menuntutmu menjadi anak yang serba baik.."

"Anakku,,, maafkan ibu. Yang tidak punya banyak ilmu dan kekuatan, sehingga tak mampu menahan dan melindungi papamu."

"Maafkan ibu nak yang tak bisa memberikanmu keluarga yang utuh"

"Maaf"

Kataku panjang lebar disertai tangisan dan sesak di dalam dada. Aku peluk erat anak bungsuku tersebut yang kini semakin terisak. Tiba-tiba, tangan halus yang selama ini enggan menyentuhku itu kini kurasakan kembali. Ibuku datang memelukku dan Susianne.

"Maafkan ibumu ini yang pernah mendoakan kamu jelek ya Kasminah."

"Maaf"

Katanya singkat yang tak begitu aku tanggapi. Fokusku sekarang hanya pada anakku Anne yang mengalami trauma dan rindu yang begitu berat. Anak yang akan aku berikan pada anak bungsu Miskari sebagai barter.

Aku usap rambut coklatnya lembut, kemudian menggendongnya ke kamarku dan menidurkannya di kamar. Aku lihat lagi wajah sembabnya yang mirip dengan Jansoen, hidungnya merah menandakan bahwa dia sudah menangis terlalu lama.

Malam ini, Anne, anak bungsuku itu tidur akibat kelelahan karna menangis lagi. Melihatnya yang hampir dua tahun setelah kepergian papanya terus bersedih membuatku sakit. Hatiku rasanya seperti di sayat-sayat oleh pisau tumpul berkali-kali.

Aku berjalan mendekati jendela kamarku, terlihat bulan purnama yang bulat penuh terlihat indah. Ditemani bintang-bintang, bulan memang tampak sangat indah dan menawan. Cahaya bulan yang terang membuat malam yang gelap terasa lebih hangat dan menenangkan, namun juga sepi.

"Apa kabar kamu suamiku"

Kataku lirih mengingatnya yang telah pergi beberapa bulan lalu namun tak juga memberi kabar.

Mungkin ungkapan perasaan 'rindu itu berat' memang benar demikian dan dirasakan olehku saat ini. Terasa begitu menyakitkan ketika aku merasakan rindu terhadap seseorang namun hanya bisa memandangi potretnya yang aku simpan di bawah bantal. Memutar musik kesukaannya dengan piringan hitam dan menciummi bajunya berharap perasaan itu segera sirna. Namun yang terjadi perasaan itu malah kian bergejolak dan menyiksa diri.

Beberapa kali aku mengusir rindu yang begitu dalam, mencoba mengatasinya dengan mencari kesibukan bersih-bersih rumah atau bekerja di sawah, namun aku tak bisa. Kenangan-kenangan indah bersamanya selalu muncul tak kenal waktu. Merindukan seseorang dan tidak bisa melihatnya memang perasaan terburuk yang pernah ada.

"Mungkinkah suatu hari nanti kita akan bertemu lagi Jansoen? Mungkinkah kamu masih mengingatku dan anak-anakmu?"

"Aku sungguh merindukanmu Jansoen Van Derek. Aku rindu."

"Kembalilah padaku Jansoen. Tolong kembalikan suamiku Gusti. Aku benar-benar mencintainua."

***

Nyai KasminahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang