Rembulan

92 7 0
                                    

Dikesunyian malam itu, aku mendengar gedoran pintu dan ramai-ramai segerombolan anak muda. Mereka beramai-ramai mendatangi rumah mertua kami sambil mendobrak pintu rumahnya. Mereka tidak hanya membawa senjata tajam tapi juga bendera merah putih.

Peperangan tidak bisa dihindari antara para pemuda Inlander dan kaum bangsa putih. Dari lubang jendela aku melihat banyak orang tak berdosa jatuh bersimbah darah. Aku terkejut saat melihat kakak suamiku Khaler diseret beberapa orang pemuda dari dalam rumah.

Khaler dan sang istri diikat disebuah pohon klengkeng besar. Anaknya yang bernama Kamimi dan Shope dilucuti didepan orangtua mereka, kemudian para pemuda itu dengan keji memperkosa dua anak perempuan yang masih berusia 12 dan 11 tahun tersebut.

"Jangan.. aku mohon jangan"

Teriakan sang ibu kepada para pemuda itu, tapi mereka tetap dengan keji menggilir sang putri. Mereka tertawa bahagia melihat kedua ponakanku lemas dan merintih kesakitan.

Dadaku dan tanganku bergetar hebat, kusembunyikan anak dan suami londoku di bawah bangker yang ada dirumah kami. Aku menangis tertahan menyuruh mereka berempat bersembunyi di dalam ruangan seluas dua meter persegi.

"Kamu disini saja menjaga anak-anak. Biar aku yang hadapi mereka"

"Kamu bodoh suamiku, biar aku yang keluar dari sini menghadapi mereka. Jangan keluar sebelum saya kembali kesini untuk menjemput kalian."

"Tapi itu sangat berbahaya Kasminah"

"Aku punya ilmu kebal, sedangkan kowe tidak suamiku. Maka dari itu jika kamu yang keluar kamu akan mati dibunuh mereka. Tunggu disini dan jaga anak-anak kita"

"Doakan aku, aku meminta restumu suamiku"
Kataku sambil menangis dan menciumi tangan suamiku.

"Maafkan aku"
Ucap suamiku sambil mengusap kepalaku lembut, lalu mencium ubun-ubunku.

Setelah berpamitan pada suami dan mencium anak-anakku aku mulai keluar banker. Berjalan dalam kegelapan didalam rumah, hanya cahaya rembulan yang menemaniku malam ini. Mencari pusakaku didalam lemari pakaian lalu berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan menyelempitkan keris kecil tersebut di dalam stagen.

Mengintip para pemuda tadi dibalik lubang pintu, tak kutemukan pemuda itu lagi. Aku keluar rumah dan betapa terkejutnya aku mendapati kedua ponakanku sudah tergeletak lemas. Aku periksa nadi Kamimi, tak kutemukan lagi deyut nadinya. Air mataku keluar tak bisa kutahan lagi.

"Maafkan bulek nak, maafkan tante"
Kataku pada jasad Kamimi.

Berjalan berpindah disamping Shope, kulihat dadanya masih bergerak, kuraba nadi dilehernya, masih ada denyut nadinya. Aku coba angkat badannya, berjalan melewati semak-semak dan kebun tebu, dan berhenti disamping belakang rumah Kalla temanku semasa sekolah rakyat dulu.

"Ya Gusti Kasminah, mari masuk"
Kata Kalla sambil menoleh kanan dan kiri seperti mencari sesuatu.

"Baringkan sini saja"
Imbuhnya menunjukan kamar kecil yang sebelumnya kita melewati lumbung padi dan pintu rahasia.

"Aku titip Shope dulu, anak-anakku dan suamiku masih ada didalam rumah. Aku minta tolong kamu rawat dia. Aku akan berterimakasih jika kamu mau membantuku"

"Pasti.. pasti. Kamu selalu hati-hati Kasminah. Mereka sepertinya terhasut ajakan Tukijan. Bangsat memang mereka itu"

"Matur suwun (terimakasih), aku pamit dulu. Doakan aku Kalla"

"Inggih (iya), pasti. Nanti jika Miskari pulang akan kuberitahu biar bisa membantumu."

Aku pergi berjalan melewati semak dan kebun seperti sebelumnya. Berbekal keberanian dan keris dari bapakku, aku berharap bisa melindungi keluargaku.

Berbelok ke rumah mertua, aku dapati Ludwih mertuaku telah bersimbah darah dengan tertancap pisau yang terukir tulisan VOC di dadanya, air mataku semakin berjatuhan. Biadap mereka semua ini.

Aku kembali lagi kerumah dengan membawa pedang milik mertuaku, ketika aku akan kembali, aku berpapasan dengan tiga anak muda yang hendak membakar jasad Kamimi, Khaler beserta istrinya yang terikat di pohon klengkeng dengan menyiramkan minyak tanah.

"Nyai"

Salah seseorang yang kaget melihatku berada didekat mereka dengan muka marah. Aku tebas lehernya menggunakan pedang papa dengan tangan kananku. Entah setan apa yang merasukiku hingga aku tega melakukan hal keji itu terhadap sesama manusia.

Pedang yang menebas tepat dilehernya membuat darah yang keluar mengenai muka dan bajunya. Kedua pria yang melihat aksiku membunuh temannya itu mencoba melawanku, namun kalah dengan ilmu beladiriku. Kutusuk pria berkumis yang dulu pernah melemparku dengan batu dan kotoran sapi itu dengan pedang di bagian dadanya. Lalu dia terhuyun ke belakang dan roboh.

Masih melihat pria berkumis itu jatuh, tiba-tiba pria yang tersisa itu menusukku dengan golok yang dia bawa dibagian punggungku. Aku menghadap kearahnya, berjalan mendekatinya setelah menarik pedang papa pada dada pria berkumis yang telah sekarat itu.

Berjalan kearah pria yang kutahu bernama joko itu, dengan muka ketakutan dia berjalan mundur hingga terjatuh dan terjebak di antara beteng rumah papa. Masih kuingat dengan jelas pria didepanku ini beberapa jam tadi tertawa terbahak-bahak memperkosa, memukul dan menendang keponakan dan saudara iparku.

"Ampun nyai"
Mukanya ketakutan saat aku mendekat padanya.

"Saya hanya disuruh bapak kades. Ampuni saya nyai"
Imbuhnya

"Hanya disuruh?"
Aku tertawa menanggapi pengakuan joko terhadapku.

"Disuruh apa kamu? Memperkosa anak umur 12 tahun, dan ibunya? Membunuh kakak iparku, dan mertuaku? Melucuti mereka dan menyiksanya? Iya? Jawab"
Teriakku marah

"Kau boleh dendam pada bapaknya, tapi apa salah anaknya? Apa jawab?"

"Apa salah mertuaku padamu? Keluargaku sangat baik pada kalian, memberikan tempat tinggal, pekerjaan, gaji yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan kalian, memberikan pendidikan pada kalian. Apa yang salah pada keluarga kami hingga kalian tega memperkakukan kami begini?"
Ucapku marah sambil menangis.

"Saya hanya disuruh nyai, lepaskan saya. Hanya masih ingin hidup"

Ketika aku lengah karna mendengar suara dobrakan pintu, pria di depanku ini mencoba menusukku kembali dibagian perutku. Seketika aku langsung melawannya dengan menebaskan pedang ditanganku ke lehernya. Ketika dia masih sekarat aku berbicara padanya dan meminta maaf.

Berjalan ke arah rumahku takut jika penyembunyian suami dan anakku ketahuan, atau mereka yang keluar mencariku. Jalan yang dekat seolah jauh dengan dada yang berdebar tak karuan. Memasuki rumah dan mencari asal suara namun tak juga kutemukan siapa yang membuka pintu rumahku.

Hingga akhirnya, kulihat sosok pria berbadan besar, memakai pakaian serba hitam dan blangkon khas madura sedang menatapku sambil membawa pancor besar. Tubuhku bergetar ketika melihatnya, hatiku pilu, airmata yang tadi sudah kering kini mulai mengalir lagi.
***

Nyai KasminahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang