"Senja tidak pernah salah. Hanya kenanganlah yang kadang membuatnya basah. Dan pada senja, akhirnya aku mengaku kalah."
Aku mencintai suamiku Jansoen sebanyak hujan. Namun cerita kami sesingkat senja. Seperti hujan, aku jatuh cinta berkali-kali. Namun seperti senja, aku kau buat jatuh cinta kemudian pergi.
Sudah banyak senja yang ku lalui, namun belum pernah aku lewati senja yang membawamu kembali di sisi. Bukan salahmu, atau salahku. Mereka yang telah memisahkan kita. Atau mungkin takdir kita hanya sampai disini.
Aku menangis pilu di bawah senja itu. Sambil menulis sebuah surat yang aku tujukan untukmu. Namun surat-suratku tak pernah sekalipun kau balas. Apakah kamu baik-baik saja suamiku? Apakah kamu benar-benar selamat sampai negaramu suamiku? Apakah terjadi hal buruk kepadamu suamiku?
Pertanyaan demi pertanyaan itu yang selalu membuat hatiku pilu. Dadaku selalu bergemuruh terbakar amarah ketika mengingat malam itu. Malam yang sangat memilukan, malam yang tak akan pernah bisa aku lupakan. Malam dimana kita terakhir bertemu dan menangis saling berpelukan.
Bagaimana wajahmu saat ini suamiku? Sudah lama tidak berjumpa, apakah setelah dua tahun berpisah dengan kami.. kamu lupa kalau di sini kita selalu merindukanmu?
Jujur, aku tak pernah suka jika rasa rindu datang. Rindu memang menjadi salah satu bukti betapa kuatnya ikatan cinta kita. Namun, sejauh ini aku tak pernah merasakan rindu yang membuatku bahagia.
Saat rindu datang, batin rasanya tersiksa dan ragu tiba-tiba datang mendera. Rasanya ingin menyerah saja, karena aku mungkin tak cukup sanggup untuk menahan beban rindu ini. Tak bisa melihat dan merengkuhmu setiap waktu menjadi tantangan yang setiap hari harus kulalui. Karena rindu sebenarnya tak pernah berpihak pada perasaan.
Seperti halnya banyak wanita lain yang suka bertingkah manja ke pasangannya, begitu pula aku. Aku iri dengan mereka yang bisa setiap saat bertemu dengan pasangannya, yang bisa setiap waktu merengkuh manja.
Aku sesekali merengek di surat yang aku tulis kepadamu, meminta segera bertemu. Padahal aku paham betul, aku tahu, untuk bertemu tak bisa semudah itu. Jarak ribuan kilometer yang memisahkan kita, memang tak bisa dengan mudah ditaklukkan.
Tak hanya menyiksa, rindu kadang juga membawa ragu. Bisakah aku terus hidup dengan menahan rasa rindu?
"Nduk Kasminah"
Aku menoleh mendengar suara berat seorang laki-laki yang sangat aku kenal. Dia adalah bapakku, aku berjalan dan menghampirinya. Aku cium tangannya berkali-kali sambil bersimpuh dihadapannya. Tangisku tak henti-hentinya ketika tangannya mengusap rambutku.
"Sabar"
"Nduk Kridaning Ati Ora Bisa mBedah Kuthaning Pesthi."
"Apapun Upaya Manusia tak mampu melawan Takdir. Orang Jawa percaya Takdir itu meliputi, Siji Pathi, loro jodo, telu Wahyu, papat kodrat, limo Bondho."
"Kematian, perjodohan, jabatan kehormatan dan kekayaan. Itu di tangan Gusti Allah. Apapun yang terjadi itu atas campur tangan Gusti Allah. Kita hanya wayangnya Allah. Sabar"
Aku sungkep sambil menangis terisak dihadapan bapak. Meminta maaf kepada beliau tentang kesalahan-kesalahan yang selama ini aku perbuat.
"Adhang-adhang tetese embun, pasrah peparing marang gusti."
(Setelah usaha dengan maksimal, kita juga harus pasrah pada Tuhan)."Kalau kamu menangis terus seperti ini, kasian anakmu."
"Saiki wayah e golek sempurnaning urip lahir batin lan kasempurnaning pati."
( sekarang waktunya mencari kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat)."Iya pak, terimakasih"
Aku bangkit dari sungkem kemudian pergi ke kamar. Aku tatap wajahku di kaca, memang berantakan diriku yang sekarang. Rambut panjangku aku gerai dan terlihat kusut, entah kapan terakhir aku menyisirnya. Baju kebaya warna hitamku pun sudah terlihat kusut.
Aku sisir rambut panjangku itu pelan, dan setelahnya mengganti pakaianku dengan gaun malam berwarna putih dan berbahan satin pemberian suamiku. Kemudian pergi ke kamar anakku.
Kamar pertama yang aku tuju adala Lince, anak pertamaku yang sekarang sama bapak diberi nama jawa Suhartatik untuk menyembunyikan identitasnya agar selamat dari amukan orang jahat yang tidak suka kepada orang belanda dan keturunannya.
Dia sudah tertidur memeluk boneka anjingnya, kemudian berjalan ke kamar anakku yang kedua Willem yang di ganti bapak menjadi Wilyan. Dia masih belum memejamkan mata. Aku hampiri dan duduk di samping ranjangnya sambil mengusap lembut rambut coklatnya agar dia cepat tertidur.
Tak lama kemudian, aku berpindah ke kamar anak bungsuku, Susi Anne yang kini namanya juga diganti oleh bapak menjadi Susiani. Dia terlihat membelakangiku, namun punggungnya terlihat naik turun seperti sedang menangis.
Aku balikkan badannya untuk menghadapku, dan benar saja, aku temukan dia sedang menangis sambil memeluk boneka susannya.
"Kenapa nik, Anne"
"Ibuk"
Katanya lembut sambil memelukku. Aku tepuk-tepuk pelan bahunya. Aku biarkan dia menangis di pelukanku. Aku tau betapa sakit dan terluka hatinya saat ini. Dia memang anakku yang paling dekat dengan papanya, setiap malam menjelang tidur seperti ini, Suamiku akan selalu menemani Anne, membacakan cerita, atau menyanyi hingga Anne tertidur.
"Anne kangen papa buk"
Katanya dengan suara bergetar."Sabar ya nik.. kita berdoa pada Gusti Allah. Semoga papa disana selalu diberikan kesehatan dan rezeky yang banyak sehingga bisa kembali kesini"
Dia mengangguk lalu menunduk lagi."Sekarang tidur ya nik sudah malam"
Aku berjalan keluar setelah memastikan Anne tertidur. Aku selalu tersayat saat melihat Anne tidur menangis sambil meringkuk, apalagi sering sekali dia menggigau memanggil-manggil papanya.
Masuk kedalam kamar dan mengunci pintu. Menjalankan sholat hajat dan pergi tidur. Di sampingku terdapat bantal yang selalu di pakai suamiku, dan kaosnya. Aku cium bau bantal dan kaosnya, sudah tak aku temukan lagi bau badannya yang seperti morvin itu. Dan lagi-lagi, aku menangis mengingatnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Nyai Kasminah
Historical FictionMenceritakan sebuah kisah Nyai Kasminah yang hidup pada masa Kolonial Belanda. Tidak hanya tentang kisah cinta dan kehidupannya, tapi juga tentang daerah, dan ekonomi masa pemerintahan Hindia-Belanda.