Berbagai macam persoalan bangsa dan negara, khususnya persoalan kultur budaya dan ekonomi bangsa Indonesia setelah kemerdekaan. Salah satunya adalah diskriminasi, diskriminasi pada keturunan belanda (Indo - Belanda) oleh Inlander (rakyat pribumi). Dalam hal diskriminasi, tidak terlepas dari hegemoni (kekuasaan) dan superior suatu bangsa terhadap bangsa lain.
Anak-anakku yang terlihat berbeda dari teman sekolah yang lain, selalu jadi sasaran empuk teman-teman sekolahnya. Mereka di bully karena lamanya penjajahan oleh bangsa Belanda. Perbedaan yang mencolok dari kulit putihnya, hidung mancungnya, rambut coklat terangnya dan warna matanya membuat mereka selalu di cap menjadi anak seorang gundik yang berkhianat pada bangsanya.
"Anak haram"
"Anak pelacur"
"Anak penjajah"
"Anjing NICA"
"Peliharaan kulit putih"
Dan masih banyak lagi kata-kata menyakitkan yang teman-temannya ucapkan pada ketiga anakku. Anak kecil yang tak tau apa-apa, anak yang tak salah apa-apa kini mendapat dampak dari kejamnya diskriminasi. Seperti sekarang, Lince, anak pertamaku yang lebih sering diam ketika dirumah, kini marah-marah ketika pulang sekolah.
"Aku capek bu, aku sakit dibilang anak gundik, dibilang anak penjajah. Bahkan oleh guruku."
"Aku gak mau sekolah lagi bu, aku capek"
"Aku ingin ikut papa saja ke Belanda"
"Aku hanya ingin hidup bebas bu"
Dia menangis tersedu-sedu terduduk di lantai sambil menutup mukanya yang memerah karna menangis. Tas sekolahnya dia banting di lantai ruang tamu.
"Aku sakit bu, aku gak ingin sekolah lagi disini."
"Aku gak ingin melakukan apa-apa. Aku ingin tidur saja sepanjang hidupku."
"Aku capek, sebagian diriku hancur saat papa pergi meninggalkan kita malam itu."
"Kenapa mereka yang dulu memuja papa kini malah menyerang kami? Apa mereka tak punya hati?"
"Sebenarnya siapa disini yang lebih jahat? Mereka atau kita? Keluarga kita tak pernah membunuh, keluarga kita tak pernah merampas milik mereka, keluarga kita tak pernah menyiksa mereka. Tapi mereka kenapa bersikap tega pada keluarga kita setelah papa tak ada bu?"
"Apa mereka lebih buruk hatinya daripada Joeny anjing tante Maria. Joeny yang pernah aku pukul saja tak pernah membalas menggigitku bu, dia masih setia disini bersama kita."
"Aku sakit bu, ada yang menekan dadaku rasanya tapi selalu aku tahan. Aku frustasi bu"
"Aku merasa frustasi dengan kehidupan ini"
"Sakit sekali disini bu, apa yang harus aku lakukan bu.."
"Kita sudah tidak punya apa-apa lagi bu. Lebih baik aku mati saja, Lince lelah bu"
Tangisnya semakin tertahan dan terdengar pilu. Tangan kecilnya memegang dadanya lalu memukul-mukul kecil. Aku tahan tangannya. Aku peluk tubuh mungilnya. Mencoba menenangkannya dengan mengusap rambutnya dan menciuminya.
"Sabar ya nak"
"Ikhlas ya... nanti ibu carikan sekolah baru yang gak akan ada lagi diskriminasi dan bullyng seperti itu ya."
"Maafkan ibu"
"Tenang nak, bersama kita ada Gusti Allah yang maha besar"
"Sebelum kita terlahir dan mendengar suara apapun di bumi ini, kita sudah diperlihatkan kebesarannya. Kita sudah di ingatkan dengan Rahmatnya."
"Dengan kasih sayangnya"
"Tenang nak, istigfar"
"Jangan takut... jangan nangis."
"Jangan sedih"
"Ada Gusti Allah, Tuhan dari segala makhluk. Gusti Allah mampu melindungi kita, mampu menjaga kita, mampu mencukupi kita."
"Kuat nak, ini semua hanya sementara"
Kataku menenangkannya, memberinya kekuatan namun anak pertamaku itu memberontak. Melepas pelukanku, dan menatapku marah.
"Lince capek bu, ibu sendiri juga lelah kan?"
"Ibu capek kan? Lince tau ibu juga sering menangis merindukan papa, menangisi kehidupan kita saat ini."
"Ibu lelah kan? Ibu gak kuat juga kan? Lihat Anne bu, dia bahkan sakit-sakitan. Dia juga lelah bu hidup di sini yang penuh dengan ketidak adilan, dengan orang-orang yang isinya ingin benarnya sendiri, ingin untungnya sendiri."
"Lince ingin ikut papa ke Belanda bu, Lince ingin hidup tenang.. Lince capek"
Katanya menangis semakin kencang dan dalam. Tak lama setelahnya dia bangkit dan pergi berlari ke kamarnya. Membanting pintu kamarnya dengan keras.
Kalau memang ini takdir yang diberikan padaku, aku bisa apa? Ya Gusti, berikan sakit ini hanya padaku, jangan kepada anak-anakku. Sebenarnya aku ikhlas kalau anak-anakku harus di jemput dan di bawa bapaknya ke negara kincir angin sana, tapi dengan apa aku memberi tahu bapaknya bahwa anaknya merindukannya? Bahkan surat-surat yang aku tulis saja tak pernah dia balas. Dia yang berjanji akan mengabari saat dia sampai negaranyapun tak pernah mengabari. Lalu aku harus gimana?
Frustasi memang kalau boleh jujur. Capek memang, sempat ingin mengakhiri hidup saja, tapi untuk apa? Jika aku meninggal, apakah anakku nanti tidak tambah sengsara menghadapi kehidupan ini sendirian?
Sinterklas Hitam merupakan peristiwa diusirnya warga Belanda dan keturunanya dari Republik Indonesia oleh Presiden Pertama, selain masa bersiap. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 5 Desember 1957. Peristiwa tersebut menjadi tonggak politik Soekarno dalam mempertahankan keutuhan Republik Indonesia.
Peristiwa pengusiran tersebut merupakan bagian dari diplomasi Presiden Soekarno untuk mempertahankan tanah airnya. Hal tersebut juga menjadi langkah tegas dan berani yang diambil oleh Soekarno sebagai seorang kepala negara. Bahkan instruksi untuk meninggalkan Indonesia telah mencuat sejak tahun 1949.
Peristiwa Sinterklas Hitam memiliki latar belakang politik yang cukup kuat. Terjadinya peristiwa Sinterklas Hitam berdampak pada menurunnya hubungan bilateral antara Indonesia dengan Belanda. Bahkan pada tahun 1960, hubungan diplomasi Indonesia dan Belanda terputus.
Mungkin karena itu juga Jansoen tak bisa menepati janjinya untuk mengirinkan surat kabar kepada kami, dan suratku yang aku kirim pada Jansoen, suamiku yang ada di Belanda tak pernah sampai padanya. Atau mungkin karena Jansoen tak selamat melarikan diri ke negaranya.
Terkadang aku tertawa sedih memikirkan hal-hal yang aku duga tersebut. Kenapa pemerintah selalu mengorbankan rakyatnya dengan keputusannya? Kenapa mereka membuat keputusan yang menurutku ada tak adilnya? Mereka terkadang memutuskan sesuatu seolah-olah untuk kita rakyat kecil, namun tak menguntungkan kita sama sekali.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Nyai Kasminah
Historical FictionMenceritakan sebuah kisah Nyai Kasminah yang hidup pada masa Kolonial Belanda. Tidak hanya tentang kisah cinta dan kehidupannya, tapi juga tentang daerah, dan ekonomi masa pemerintahan Hindia-Belanda.