Badanku lemas, dadaku bergemuruh, hatiku pilu, emosiku memuncak ketika Jansoen, suami londoku itu di seret Tentara Rakyat itu. Anakku menangis seakan meminta tolong padaku. Tiga tahun lebih penjajah Belanda kalah dari Jepang pada masa perang kemerdekaan sekitar tahun 1942 silam, aku pikir sudah menderita begitu lama, ditambah masa bersiap ini sesudah kemerdekaan.
Aku benar-benar hancur saat ini, menangis bersimpuh di depan rumah, sampai akhirnya Minten datang ke rumah dan membawaku ke dalam kamar. Aku masih setia menangis tersedu-sedu dan memegang dadaku yang terasa sakit.
"Ada apa? Apa yang terjadi padamu Kasminah?"
Tanyanya sedikit tak sabar melihat pertanyaannya tak juga aku jawab."Anakku... anak-anakku dan suamiku dibawa Tukijan"
"Ya Gusti, salah apa aku dan keluargaku hingga hamba harus menghadapi cobaan yang berlarut-larut seperti ini. Kuatkan hamba Gusti"
Sesak dadaku rasanya, aku tepuk tepuk bagian dadaku dengan tangan, napasku mulai tersenggal-senggal. Minten, pembantu rumah tanggaku yang setia itu berlari menggambilkanku minum. Mengusap-usap bahuku dengan lembut sambil menatapku iba.
"Sabar Nyai"
Aku terus menangis di pojokan kamarku, aku sungguh-sungguh berantakan saat ini. Aku tidak bisa berfikir jenih, aku berteriak persis orang gila saat membayangkan yang tidak-tidak pada keluarga kecilku.
"Tidak, aku tidak akan lemah seperti ini. Aku sudah kehilangan semua yang aku punya. Suami dan anak-anakku tidak boleh mati, akan aku lakukan apapun untuk menyelamatkan mereka"
"Lihat saja apa yang akan aku lakukan padamu Tukijan"
***Flasback on
Dengan dada bergemuruh dan penuh kebencian aku menemui Tukijan di kantor Kepala Desa. Setelah Nippont kalah dari sekutu, entah bagaimana caranya dia bisa menjadi Kepala Desa.
"Saya punya dua pilihan untukmu Kasminah"
Ucapnya diselingi tawa menggema seisi rungan."Mereka bisa selamat dan dipulangkan ke negara asalnya atau mati sama seperti orang Belanda lainnya"
"Ada satu syarat untuk mereka tetap hidup, berikan saya jatah tubuhmu satu malam dan kebunmu 4 hektar. Saya akan memastikan mereka selamat"
"Menjijikan sekali permintaanmu itu Tukijan"
Emosiku mulai memuncak."Ya terserah, anak dan suamimu ada ditanganku.
Katanya masih sambil tertawa."Waktumu sampai besok, jangan lupa temui aku di ruamhku dengan dandang yang cantik. Pasti anak dan suamimu selamat."
Flashback Off
Aku basuh wajahku dengan air agar terlihat segar, kemudian menyisir rambut dan mensanggulnya seperti biasa. Mengganti pakaian dan menyelipkan sebuah keris di jarikku. Hari ini aku tidak akan lemah seperti hari-hari sebelumnya. Aku akan menyelamatkan anak dan suamiku.
"Aku harus lebih pintar dari Tukijan sekarang"
"Nyai, mau pergi kemana?"
"Aku ada perlu, kamu tolong jaga rumah. Kunci semua pintu yang ada dan tutup jendela selama aku pergi"
Kataku menerawang jauh, memikirkan segala kemungkinan yang mungkin akan terjadi."Iya tapi nyai akan pergi kemana? Ngapunten nyai, tapi saat ini diluar terlalu bahaya untuk kita"
Katanya menunduk sambil terisak."Udah tidak apa-apa. Jangan bukakan pintu untuk siapapun. Kecuali anak-anak dan suamiku nanti. Setelahnya tutup, kunci seperti pesanku tadi."
"Baik Nyai"
Ditengah rembulan yang sunyi, aku jalan melewati kampungku yang memang terkenal sepi ini. Hanya suara jangrik dan cahaya bulan yang menemani jalanku kali ini ke rumah tukijan di dekat sumber dan punden. Sepanjang jalan aku melihat rumah besar dan megah yang dulunya ditempati kaum bangsa putih atau londo itu kini gelap dan mencekam.
Orang-orang itu kini mungkin sudah tewas karna kekejaman serangan masa bersiap tersebut. Entah apa yang membuat mereka sebruntal itu, mereka bisa melakukan hal keji pada manusia yang tak bersalahpun.
Aku ketok pintu yang terbuat dari kayu tersebut, setelah aku berjalan cukup jauh. Tidak lama kemudian keluar Tukijan dari dalam rumah tersenyum menjijikan. Melihatku dari atas sampai bawah dengan senyum senang seperti anak kecil yang baru saja mendapat permen. Bajingan sekali memang orang didepanku ini.
"Kasminah, silahkan masuk cantik"
Katanya sambil menyeringai."Silahkan duduk, anggap saja rumah sendiri walaupun tak sebagus rumahmu yang dibuatkan orang londo itu"
"Tidak usah basa-basi Tukijan, sekarang dimana mereka? Aku akan melakukan apa yang kau minta jika aku sudah memastikan mereka benar-benar selamat."
Tertawanya kencang menanggapi percakapan kita malam itu. Duh Gusti sabar, jika tidak karna keselamatan suami dan anak-anakku tidak akan aku lakukan perbuatan jijik tersebut. Aku lihat dirinya yang mulai mereda disela tawanya dengan tatapan menusuk.
"Santai saja Kasminah, aku akan mengurusnya nanti"
"Tidak, aku ingin sekarang"
Kataku sambil menggrebak meja didepanku. Dia terlihat kaget dan sedikit takut dengan tingkahku yang kini mulai berdiri dari dudukku. Jarikku sudah aku remas dan jingjing karna faktor emosiku yang begitu besar.
Dia mengeluarkan suamiku dari rumah sekapannya dan aku antarkan mereka ke stasiun. Malam itu aku peluk suamiku dengan perasaan sangat sedih dan perih tau aku akan melepasnya. Dia terlihat menangis tersedu-sedu dan beberapa kali menciumku.
"Aku tak apa jika harus mati asal bisa terus bersamamu disini Kasminah"
Katanya terbata-bata saat kita menunggu keberangkatan mereka."Tidak suamiku, pergilah. Kamu harus tetap selamat. Sesampai di Belanda sana, kau harus bisa membawa dan menjemput anakmu disini"
"Selamat tinggal Kasminah"
"Selamat tinggal suami londoku, aku mencintaimu"
"Aku mencintaimu lebih"
Katanya sambil menangis pilu.Aku tatap kepergianan traim atau kereta yang membawanya ke Surabaya dengan berdesak-desakan tersebut. Setelah sampai di Surabaya mereka akan menaiki kapal menuju Belanda dengan waktu berbula-bulan dengan hati yang merana. Pasti tidaklah tenang dan tersiksa dengan menahan perasaan seperti itu. Hari ini aku harus ikhlas melepasnya pergi pulang ke negara asalnya.
"Sampai jumpa suamiku. Semoga Gusti Allah masih bisa mempertemukan kita."
Ucapku bersamaan dengan kereta itu membawanya pergi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Nyai Kasminah
Historical FictionMenceritakan sebuah kisah Nyai Kasminah yang hidup pada masa Kolonial Belanda. Tidak hanya tentang kisah cinta dan kehidupannya, tapi juga tentang daerah, dan ekonomi masa pemerintahan Hindia-Belanda.