Siluet seseorang berbadan besar itu berada di belakangku, aku bisa melihat bayangan pria itu walaupun keadaan rumah kami gelap. Secepat kilat aku berbalik dan menodongnya dengan pedang milik papa mertuaku. Kulihat pria dengan membawa senjata panjor itu tak bergerak saat pedang ini berjarak beberapa senti dari tubuhnya.
Pria itu masih seperti dulu, memakai celana angkong, kaos dalaman merah putih yang di luarnya diberi baju tanpa kancing warna hitam.. memakai udeng batik khas madura dan memakai sabuk sakera warna hijau. Dia menggerang khas seperti biasanya sambil mengelus kumis tebalnya.
"Miskari"
Dia masih diam menatapku, kuturunkan pedang yang kubawa lalu aku masukan pedang itu pada sarungnya. Aku tatap lagi pria yang didepanku ini masih diam memperhatikanku. Aku terduduk lemas dihadapannya. Sampai tiba-tiba terdengar dobrakan pintu yang membuat Miskari langsung berbalik menghadap pintu rumah.
Ada sekitar 30 orang, atau lebih aku tak begitu menghitung. Pria itu beramai-ramai masuk rumahku sambil membawa senjata api, ada yang membawa bambu runcing, dan membawa obor masuk dalam rumah sambil meneriaki namaku dan suamiku.
"Kasminah"
"Woi Kasminah, dimana kau sembunyi"
Mereka berhenti saat melihatku terduduk lemas dibelakang Miskari. Aku perhatikan satu-satu muka para pria dihadapanku ini, ada yang diam tegang, ada yang senyum mengejek, ada juga yang tertawa berbahak-bahak mengolok-olokku sebagai simpanan suamiku.
"Kasminah, ini hari terakhirmu. Berdoalah tobat pada Tuhanmu karna selama ini kau telah menjadi lonte buat orang Belanda itu"
Ada yang bersorak bahagia, ada yang melempariku dengan batu yang membuat miskari menggeram khas seperti orang sakera biasanya.
"Hei Miskari, kenapa kau berdiri disitu dan seolah-olah ingin melindungi orang yang sudah bersekutu dengan orang Belanda itu? Atau jangan-jangan kau juga sudah bersekutu dengannya"
"Berapa harganya wanita murah ini?"
Kata Paimo sambil tertawa terbahak-bahak yang diikuti semua rombongan disana.Aku tak apa jika harga diriku di lecehkan seperti ini, sungguh. Mentalku sudah kebal semenjak 15 tahun lalu saat akan menikah dengan Jansoen. Sudah biasa dibilang Londo ireng, Lonte, Gundik dan sebagainya. Asal jangan sakiti keluargaku, asal jangan ambil anak-anak dan suamiku. Itu saja.
"Bicaramu sudah kurang ajar"
"Mau apa kalian kesini?"
Kali ini kulihat sosok miskari yang sudah marah dengan sosok provokator di depannya itu. Terlihat dari raut wajahnya yang kini sudah memerah."Kami hanya ingin membunuh keluarga kaum putih yang ada di kampung kami, kami ingin melihat penghianat itu mati tersiksa ditangan kami."
"Pernah salah apa mereka pada kalian?"
Tanya Miskari kembali."Mereka merebut tanah kelahiran kami, menguasai tanah kami untuk perkebunan. Kalau tidak ada orang londo itu kami yang akan jadi tuang tanahnya bukan mereka"
"Apakah bisa kalian bisa menjadi pekebun tanpa ilmu dari orang londo? Kalian mengenal tanaman tebu dari siapa? Siapa yang mengajari kalian cara mengolah tanah? Sistem irigasi? Siapa yang mengajari kalian berhitung, membaca?"
"Tidak semua orang Belanda jahat, mereka sama manusia seperti kalian. Pernahkah keluarga Kasminah melakukan pembunuhan keji seperti yang kalian lakukan pada keluarganya? Kau apakan anak kecil yang masih belum tau apa-apa itu sehingga dia meninggal tanpa busana dan badan penuh sayatan?"
"Ah berisik sekali kamu Miskari, mati saja kau"
Peperangan tak bisa dihindari lagi sekarang, dari sebanyak orang-orang itu menyerang membuatku sedikit kuwalahan, sedangkan Miskari menebas semua yang menyerangnya dengan pancor yang selama ini dia bawa kemana-mana.
Miskari adalah istri dari Romella atau Kalla, sahabat baikku ketika kami bekerja di perkebunan tuan Anjal. Miskari terkenal ditakuni para Londo dan Nippont karna kekuatannya. Dia memiliki senjata pancor yang panjangnya dua meter dan berbadan besar.
Dari sekitar 30 orang yang menyerang kami, Miskari menyisakan 1 orang yang tidak dia bunuh untuk bilang ke pak lurah agar dia tidak macam-macam lagi terhadapku dan keluargaku. Orang itu terus memohon ampun pada Miskari sambil memegang tangan Miskari.
"Ampun paman, maafkan saya. Saya berjanji tidak akan mengulangi. Maaf"
Katanya memelas yang hanya dibalas deheman oleh Miskari."Janji kamu saya pegang. Kalau kamu masih mengganggu keluarga Kasminah saya akan mencarimu dan menebas kepalamu. Paham kamu?"
"Paham paman, saya janji saya akan pergi habis ini. Saya tidak akan mengganggu lagi"
"Tugasmu belum selesai, kamu pergi ke petinggi (sebutan kepala desa) bilang jangan ganggu Kasminah lagi atau mereka semua akan mati"
"Baik paman, akan saya sampaikan"
Sambil lari terbirit-birit pria itu keluar dari halaman rumah kami. Miskari dibantu dengan orangnya menguburkan para korban perkelahian tadi. Bau anyir memenuhi rumah kami. Sesak dada ini sebetulnya, takut akan dosa yang kami lakukan, tapi bagaimana lagi selain berlindung pada Miskari agar aku dan keluargaku selamat.
Sedangkan aku dibantu Rohana dan suami, pembantu setiaku mengubur keluargaku di samping rumah. Makam yang tadinya ada dua milik Luchan dan Maria, kini bertambah tiga orang lagi.
"Maafkan aku papa, menantumu ini kurang ajar sekali menguburmu dengan cara seperti ini"
Ucapku menangis dipusaran makamnya."Tanpa peti jenazah, tanpa doa-doa dan tanpa memandikan terlebih dahulu. Maafkan menantumu ini pa, ma tidak menguburmu dengan cara terhormat dihadapan Tuhanmu. InsyaAllah nanti akan ku perbarui rumah terakhirmu ini lebih bagus jika keadaannya sudah baik."
"Maafkan menantumu ini papa, mama, dan kakak"
Bagaimana aku bisa menceritakan semua kejadian ini pada suamiku? Bagaimana aku menjawab jika dia bertanya tentang mama dan papanya? Aku tak berani menemui dia saat ini.
Aku membasuh badanku yang bau anyir karena darah. Tubuh dan pakaianku penuh noda berwarna merah, aku benar-benar menyedihkan saat ini. Kulepas konde rambutku, kuguyur tubuhku dengan air di kamar mandi untuk menghilangkan darah yang sudah mengering pada tubuhku.
Semoga ini yang terakhir Tuhan keluarga kami mendapatkan teror seperti ini. Ketika aku berdoa dalam hati meminta teror ini berakhir, tapi aku malah mendengar anakku berteriak di depan sana, dengan cepat aku memakai bajuku dan melihatnya.
Hatiku hancur, dadaku bergemuruh, saat suamiku diseret sekelompok tentara rakyat sambil membawa senjata api. Aku berteriak histeris dan memukuli semua tentara tersebut. Sumpah serapah tidak sengaja aku keluarkan, tetapi suamiku tetap dipaksa dan diseret dengan ketiga anakku.
"Temui aku dibalai desa jika kamu menginginkan mereka selamat"
Katanya sambil tertawa bahagia.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Nyai Kasminah
Historical FictionMenceritakan sebuah kisah Nyai Kasminah yang hidup pada masa Kolonial Belanda. Tidak hanya tentang kisah cinta dan kehidupannya, tapi juga tentang daerah, dan ekonomi masa pemerintahan Hindia-Belanda.