Prolog

436 16 0
                                    

      Disini, sebuah bangunan tunggal berdiri ditengah hutan, satu-satunya bangunan yang didirikan ditengah hutan, jauh dari permukiman apalagi kerajaan. Bentuknya tak jauh berbeda dengan rumah-rumah penduduk biasa.

Dengan ksatria-ksatria berbadan besar yang sudah dipastikan para Alpha, berjejer mengelilingi bangunan itu. Berdiri tegap dengan senjata pedang yang masih tersimpan rapi disarung masing-masing. mereka memunggungi bangunan itu, menampilkan wajah seramnya seolah tiada satupun yang dapat menyentuh bangunan itu sebelum merelakan nyawa mereka pada pedang haus darah itu.

Semua itu tak luput dari pandangan seorang pemuda yang tengah berjongkok menyamakan tingginya pada semak belukar lebat disekitarnya, dengan begitu kehadirannya tak diketahui oleh para ksatria penjaga bangunan itu, meskipun beberapa kali pergerakanya membuat semak-semak itu bergoyang namun para ksatria penjaga bangunan itu tak ada yang menyadarinya, siapa peduli mungkin hanya babi hutan. Begitulah mungkin pikir mereka. Dengan bekal satu quiver penuh anak panah dipunggungnya sambil menggenggam erat busur besar.

Menutup satu matanya untuk memperhatikan barisan ksatria penjaga bangunan itu dari sela-sela semak belukar lebat didepannya.  Dengan gerakan yang sangat perlahan ia membawa salah satu tangannya yang kosong kebelakang punggungnya sendiri, hendak merogoh sesuatu disana.

Hanya ada quiver penuh dengan anak panah dibelakang punggungnya, mungkinkah ia akan mulai mengeluarkannya.

Ia mengeluarkanya,

sebuah apel berwana merah gelap, yang ia ambil dari pohon apel didalam hutan bagian barat ketika ia tengah berjalan menuju kemari, sebenarnya ia sudah cukup lama mengincar apel itu bahkan sejak masih berwarna hijau, namun ia lebih memilih menunggu hingga apel itu benar-benar matang sempurna agar ia dapat merasakan manis apel yang ia tak dapat temukan dipasar.

Dapat diyakini apel itu sekarang matang dengan sangat sempurna, sesuai dengan ekspektasi nya. ia mulai memakanya perlahan dengan pandangan matanya yang tak pernah beranjak dari para ksatria penjaga bangunan itu, dibalik tatapan tajamnya otaknya ikut andil menyusun strategi, di sela mana ia dapat melesatkan anak panahnya nanti.

Jika untuk sebuah apel saja ia harus menunggu hingga matang sempurna, maka tak jauh berbeda dengan menyusun strategi, harus dengan sempurna pula. ia tak ingin anak panahnya salah sasaran atau terbuang dengan cuma-cuma.

Tak terasa apel ditanganya mulai menpakan biji-biji dalamnya, bagaimana tidak ia terus menggerogoti apel itu meskipun mulutnya masih penuh.

"warnamu saja yang cantik, tapi dagingmu begitu sedikit" ia kembali memalingkan wajahnya dari sisa apel yang disebutnya daging sedikit, padahal jika dibandingkan dengan apel-apel yang dijual dipasar ukurannya tak berbeda jauh, malah yang ini lebih besar.

Menarik napasnya dalam, ia melempar apel itu tepat pada dahan pohon pinus yang tak jauh disamping  bangunan itu, atas keahlian melemparnya apel itu memantul dari pohon pinus hingga mengenai wajah salah satu si penjaga bangunan.

Dan itu berhasil menarik seluruh perhatian para penjaga bangunan, sontak seluruh penjaga bangunan itu mengarahkan pandangan mereka pada arah datangnya gigitan apel itu berasal dengan ancang-ancang mengeluarkan senjata, namun yang mereka lihat hanyalah pepohonan pinus yang menjulang tinggi.

Salah satu penjaga memberikan gestur memerintah untuk mendekat dan memeriksa ada apa dibalik pepohonan pinus itu,  melihat salah seorang penjaga berjalan perlahan mendekati pohon pinus yang mereka anggap mencurigakan, penjaga yang lain ikut memperhatikan tanpa melupakan ancang-ancang mengeluarkan senjata mereka.

Ketika seluruh perhatian para penjaga tertuju pada pepohonan pinus disamping mereka, hujaman anak panah datang dari balik semak belukar yang berada tepat dihadapan mereka. Tak ada satupun yang menyadarinya hingga seluruh penjaga merasakan benda runcing yang menembus tubuh mereka.

Satu persatu tubuh besar itu tergulai lemas tak berdaya ditanah, meninggalkan raga-raga tak bernyawa.

Sang pelaku menyeringai bangga atas keahlian memanahnya yang diatas rata-rata. Ia mulai menampakan tubuhnya dari semak belukar gatal yang membuat kulitnya mulai memerah. Berjalan mendekati bangunan yang sedari tadi tak sabar ia masuki, memangnya apa isi didalamnya sehingga para Alpha bodoh itu bersedia menjadikan tubuh mereka sebagi tameng untuk melindungi bangunan itu.

Namun satu-satunya penjaga yang masih tersisa mengintip dari balik pohon pinus, benar seorang penjaga yang diperintahkan memeriksa kejanggalan pohon pinus disamping bangunan itu. Begitu bodohnya menuruti dan melakukannya, namun belum sempat ia menemukan sosok pelemar sisa apel menjijikan itu, ia mendengar sedikit keributan dari bangunan yang ia jaga, ia membolakan matanya begitu melihat kawan-kawannya yang sudah terkapar dilantai dengan anak panah yang ada pada dada masing-masing.

Tunggu, dimana orang tadi? Seseorang yang sangat mencurigakan yang menghujani kawan-kawannya dengan anak panah hingga tanpa sisa, kemudian muncul dari balik semak belukar didepan bangunan yang sedari tadi mereka jaga. Tidakkah mereka merasa bodoh?

Merasa pandangannya tidak juga  menemukan yang ia cari, ia segera berjalan mendekat. Namun belum sampai dua langkah ia dikejutkan dengan satu tepukan pada pundaknya, ia sontak menoleh kebelakang dan dapat ia lihat, sosok asing yang daritadi ia cari berada dihadapannya, didepan matanya.

"Hola" sapanya sebelum menghunuskan anak panahnya menggunakan tangan kosong pada dada kiri penjaga bangunan bodoh itu. Tepat di jantung.

Perlahan tubuh besar dihadapannya mulai terhuyung kebelakang.

Merasa tak ada lagi ancaman-ancaman yang tersisa ia meninggalkan para mayat penjaga itu dan segera berlari memasuki bangunan mencurigakan yang sudah tak berpenjaga lagi.

Perlahan tapi pasti ia membawa langkahnya memasuki bangunan itu, ada sebuah ruangan lagi didalamnya dan ia tampak tak ragu berjalan mendekatinya, menarik napasnya panjang ia mendobrak pintu ruangan itu dengan satu kakinya.

"Apa yang..." Ujar sosok didalam ruangan itu dengan wajah terkejut yang tak bisa disembunyikan lagi, seorang pria parubaya.

sontak sosok pria parubaya itu berdiri dari duduknya meraih senjata apapun yang berada didekatnya, mengambil posisi menyerang sambil mengeluarkan senjata pedangnya namun belum menodong, hanya dikeluarkan dari sarungnya.

Melihat jarak pria parubaya dengan pedang panjang itu terlalu dekat dengannya, si pemuda pelaku pelempar gigitan apel itu sedikit bergidik ngeri dan waspada. Ingat hanya sedikit.

Begitu ia lengah sedikit saja, bukan tak mungkin pedang itu akan menghunus tubuhnya. Sedangkan ia yang berbekal busur dan anak panah, cukup mustahil dapat melawan dengan jarak sedekat ini, karena anak panah adalah senjata paling ampuh digunakan dari jarak jauh.

Mengingatkan itu ia sedikit memundurkan tubuhnya,

"Siapa kau?" Tanya si pria parubaya ketika melihat wajah asing pemuda didepannya, ia yakin betul pemuda didepannya ini bukanlah salah satu pengawalnya. Ditambah lagi dengan tubuh cukup ramping itu, sangat tidak masuk dalam persyaratan seleksi menjadi seorang pengawalnya.

NalectraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang