10

78 2 0
                                    

Klarissa memalingkan wajahnya sebentar. Merasa sedikit malu, tapi sayangnya disaat itu saja. Dirinya lantas kembali berkata padanya.

"Tapi kan aku udah minta maaf. Masa kamu enggak mau maafin aku sih? Bahkan ke Kiki juga, Kiki aja enggak merasa bermasalah dengan hal ini. Masa kamu sendiri merasa bermasalah sih?" tanya Klarissa.

"Karena Kiki enggak ada di posisi saya, dia enggak dimarahi siapapun, pusat perhatian siapapun dan bukan seorang pria yang cukup terkenal seperti saya. Jangan asal ucap hanya karena kamu tahu sedikit tentang hidup saya." ucap Dylan.

"Y-ya maaf. Masa sih aku enggak dimaafin Lan? Kamu apa enggak tega sama aku yang udah dateng jauh-jauh kesini cuma untuk nemuin kamu?" tanya Klarissa memelas.

"Ya kamu mau ngapain nemuin saya? Memang tidak ada pria lain yang akan menjadi incaran kamu selanjutnya?" tandas Dylan.

"Kok kamu ngomong gitu sih? Incaran apa maksudnya? Yang aku cinta kan kamu Lan!" ucap Klarissa.

Dylan memilih terdiam ketika itu. Kiki maupun Putra saling melihat satu sama lain. Entah kenapa mereka mencoba memahami masalah pribadi Dylan yang seharusnya tidak mereka selami lebih dalam.

Seandainya saja ada pintu doraemon mereka pasti akan membiarkan diri mereka pergi dari sana, tidak mendengar apapun.

"Lan, kasih kek aku kesempatan lagi. Aku ngelakuin hal itu semua kemarin ya karena aku cemburu. Bukan karena sengaja, pansos atau ingin membuat orang lain ilfeel sama kamu." ucap Klarissa. Dylan masih terdiam.

"Kita balikan lagi ya Lan?" bujuk Klarissa.

"Maaf, enggak bisa." ucap Dylan yang langsung keluar dari dalam lift ketika pintu lift terbuka dan sampai di lantai tujuan.

Klarissa tentu tidak ingin ditinggal begitu saja, ia berlari mengikutinya.

"Dylan!" pekiknya, ia mengejarnya hingga dikala ia berhasil mengejarnya, Klarissa menarik tangan Dylan dan membuatnya berhenti.

"Dylan, besok orang tuaku akan berkunjung ke rumahmu untuk membahas pertunangan kita." ucap Klarissa. Dylan mengernyit tajam.

"Apa-apaan ini? Kita sudah putus! Kenapa kamu malah memakai cara curang?!" tandas Dylan.

"Aku enggak nyuruh mereka, cuma emang itu bentuk keinginan kedua orang tuaku sendiri." ucap Klarissa.

"Bohong!" tandas Dylan, pekikan suaranya yang terdengar jelas pun membuat Dietrich dibelakang sana menegur.

"Dylan!" Dietrich tampak marah karena perlakuan kasar Dylan barusan. "Kamu enggak seharusnya ngomong kayak gitu sama Klarissa. Lagian bukan kepada dia kamu seharusnya marah, karena yang mengundang kedua orang tua Klarissa adalah papa." ucap Dietrich.

Dylan tersentak. "A-apa? Papa?! Kok papa gitu sih pah? Kalau yang tunangan papa ya masih mending, tapi ini kan Dylan yang tunangan! Kenapa papa selalu ikut campur urusan pribadi Dylan! Termasuk gadis itu, yang udah papa musnahin dari hidup Dylan!" tandas sang anak, Dierich dengan sangat cepat segera menampar pipi Dylan.

Tentu saja semua pihak termasuk karyawan yang berada disana langsung tersontak, kaget bukan kepalang, seakan menjadikan pemandangan itu sebagai tontonan drama di pagi hari.

Dylan tentu merasakan sendiri betapa menyakitkannya ia ditampar didepan publik dan setiap pasang mata pagi itu. Hal itu tak pelak membuatnya jadi semakin benci, dan benci dengan ayahnya tersebut.

"Jaga bicara kamu! Ini tuh didepan publik! Kamu mau bikin papa malu?!" tandas Dietrich, melengos dan langsung pergi sesegera mungkin menuju ruang kerjanya meninggalkan mereka berdua sedang Putra dan Kiki ikut mengekorinya.

Klarissa merasa sedikit tidak enak dengan Dietrich saat itu. Ia tersenyum sepintas pada sang calon mertua. Dietrich pun tersenyum tipis.

"Maafkan anak saya ya, nanti biar saya beri pelajaran dia agar bisa lebih menghargai kamu lagi." ucap Dietrich.

Klarissa merasa cukup senang ketika itu, setidaknya kehadiran Dietrich disana yang sepenuhnya mendukung hubungannya dengan Dylan membuat dirinya jadi lebih percaya diri.

"Iya om enggak apa-apa, saya juga bisa mengerti kok perasaan Dylan maupun om. Saya juga yakin Dylan yang sebenarnya pasti enggak kayak gini sikapnya." ucap Klarissa.

Dietrich tersenyum. "Kamu memang anak yang baik Klarissa, tidak salah jika om menjodohkan kamu dengan anak om." ucap Dietrich, karena perkataan itu pun Klarissa jadi semakin besar kepala setelahnya.

Jam istirahat kembali tiba. Dylan masih sibuk mengerjakan tugasnya, Kiki ijin pamit untuk makan siang. Ia mengetuk pintu ruang kerjanya.

"Selamat siang tuan, saya mau pamit ijin makan siang bersama Putra." ucap Kiki.

"Enggak, enggak. Kamu dan Putra harus temani saya makan siang. Rencana saya mau makan siang sama pacar saya kemarin itu. Kalian nanti tunggu diluar restoran aja, saya takut kejadian kemarin-kemarin terjadi lagi. Parno saya sejak kejadian aneh-aneh kemarin." ucap Dylan.

"O-oh, baik tuan." ucap Kiki seraya pergi dari sana.

Di restoran.

Dylan duduk berhadapan dengan Natasha, wanita berambut panjang lurus yang mengenakan kemeja putih dibalut cardigan biru.

Orang-orang disekitarnya bahkan memusatkan perhatian pada mereka yang terlihat layaknya seorang publik figur. Bahkan salah satu dari mereka ada yang menyadari kalau lelaki itu adalah Dylan, sang pewaris dari keluarga Rolland.

Mereka saling berbincang beberapa hal ketika itu, pandang-pandangan, canggung dan malu-malu kucing.
Berbeda halnya dengan Kiki dan Putra yang berjaga didepan pintu restoran.

"Ett dah gue udah senang diajak pergi ke restoran, ternyata cuma disuruh jagain pintu. Enggak jagain lilin sekalian." ucap Putra. Kiki tertawa ringan.

"Tahan aja si, nanti juga keluar tuannya. Kalo enggak kamu pergi ke warung gih sekarang." usul Kiki.

"Kagak ah, beli apaan gue ke warung? Basreng? Kerupuk jengkol? Permen susu?" tanya Putra heran.

"Ya minimal buat ngeganjel perut dulu. Nanti makan benerannya sesudah tuan selesai." ucap Kiki.

"Males ah. Nanti pas gue jajan ke warung, lo disuruh masuk terus suruh makan lagi. Gue ditinggal." ucap Putra.

"Takut banget sih, enggak lah. Tuan juga enggak bakal setega itu." ucap Kiki.

"Ki.. Menurut lo tuan cocok gak sama Mbak Natasha itu?" tanya Putra.

"Cocok sih, emang kenapa?" Kiki balik tanya.

"Kalo kata gue sih sama-sama perfeksionis orangnya, intelek, suka mewah-mewah, sama-sama orang kaya terus sama-sama jaim. Apa bisa ya cocok mereka berdua?" tanya Putra heran.

"Emang gitu ya? Aku enggak ngeh sih, kamu tahu dari mana?" tanya Kiki.

"Yaelah lo kayak enggak tahu gue aja, jiwa pengamat gue itu sangat tajem lo tau? Bahkan tajemnya sampe bisa motongin wortel."

"Itu jiwa pengamat atau piso?" tanya Kiki heran.

"Piso sih." tawa Putra, Kiki menginjak kakinya, lelaki itu pun meringis.

"Ya tapi emang kenapa punya sifat yang sama persis gitu? Bukannya bagus? Bukannya itu tandanya kalau mereka jodoh?" tanya Kiki.

"Justru kalo yang sama persis begitu gampang bosennya. Kalo mbak Natasha jadinya sama gue kan kayak unik gitu. Hubungan yang otentik, penuh estetik. Kalo hubungan tuan muda sama mbak Natasha itu terlalu biasa, monoton gitu jadinya" ucap Putra.

Kiki menatapnya datar.

"Itu mah kepengen kamu aja kali. Segala otentik estetik dibawa. Udah kaya karya seni aja." ucap Kiki.

Kiki langsung kaget saat melihat Natasha keluar dalam keadaan marah dari dalam restoran, berjalan cepat melewati mereka. Putra berteriak.

"Mbak! Kok dia pergi sih Ki? Mukanya juga jutek begitu." ucap Putra.

Dylan keluar dari restoran dan berkata pada mereka sembari jalan. "Ayo pergi." ucap Dylan. Putra dan Kiki pun tersentak.

"Hah? Tuan? Kok?" tanya Putra bingung.

Bukan Selera, Tuan Muda (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang