1

53.3K 3K 50
                                    

Mata bulat berwarna biru itu perlahan terbuka, menatap langit langit kamar yang berwarna emas berukiran, lampu besar berbentuk bulat ditengah menambah kesan mewah. Masih dalam keadaan telentang, tangannya bergerak meraba kasur. Kepalanya menoleh kesamping kiri, menatap jendela besar yang masih tertutup tabir. Lalu menoleh ke kanan, dia dapat melihat bahwa ada meja rias disana. semua barang tertata dengan rapi seolah tak pernah digunakan.

Dia mencoba untuk duduk dengan menguap sekali, menggaruk kepalanya dan terdengar bunyi decapan dari bibirnya. Sedetik kemudian, mata biru itu membola lalu menggeleng ribut, menatap kesana kemari hingga menatap kasur yang ditempatinya saat ini.

"I-ini ... bukan kamarku!"

Wajahnya seketika menajadi panik, tanpa menggunakan alas kaki gadis itu berjalan kearah pintu. Memutar knop, namun pintu tidak mau terbuka. dengan sedikit keras dia menendang pintu itu yang seketika menimbulkan rasa nyeri pada ujung kakinya. Dalam benaknya, dia mulai berfikir apakah ini hanya mimpi atau dia sedang diculik oleh orang kaya yang akan menjualnya.

Matanya bergulir, netra biru itu tampak berkaca-kaca. Kerutan cemas tercetak jelas diwajah cantiknya. Mencoba mencerna dengan baik apa yang sebenarnya terjadi, tubuhnya mendadak kaku saat matanya menatap kearah cermin. Dirinya berbeda, wajahnya, bahkan bola matanya juga berbeda.

"Mustahil"

"B-bagaimana? Bagaimana bisa aku berubah?!"

Menggigit kuku jempol sambil mondar mandir "Transmigrasi?!" Ucapnya berhenti bergerak.

"Tubuh siapa yang aku tempati?"

Menatap cermin dengan lekat, ah lebih tepatnya memandang tubuhnya sendiri kemudian menjambak rambutnya dengan kuat "Tapi kenapa aku tidak diberi ingatan apapun?!"

"Oke, tenang Cesha ..."dia mencoba untuk mengatur nafasnya secara perlahan.

Cesha Axecylhie Vezya, itu namanya. Gadis berusia 22 tahun yang baru saja menadapatkan gelar sarjana, entah mengalami kesialan atau keberuntungan sekarang karena jiwanya tidak lagi berada pada tubuh aslinya. Sedikit ada perasaan senang karena sekarang dia tidak akan diganggu oleh pria yang penuh obsesi dan juga perempuan gila yang memiliki perasaan terhadapnya, dunianya yang dulu begitu mengerikan karena berisi orang-orang yang tidak waras. dia menghembuskan nafas lega, setidaknya dengan masuk kedalam tubuh ini dia bisa terhindar dari manusia aneh, fikirnya.

Suara pintu terbuka mampu mengalihkan perhatiannya, Cesha membalikkan tubuhnya dengan wajah terkejut, dengan pelan dia memundurkan langkahnya hingga kedua tangannya bertumpu pada meja rias. Menatap sosok pria yang sedang berdiri dihadapannya dengan waspada.

"Ada apa dengan tatapanmu itu?"

"Sudah kubilang, aku tidak akan menyentuhmu sedikitpun meskipun kita adalah pasangan suami istri"

Tubuh Cesha mendadak kaku, matanya berkedut. Suami? Jadi tubuh yang dia tempati adalah seorang istri?! Apa katanya tadi, tidak akan menyentuhnya? Lalu apa gunanya menikah. Ternyata perkiraannya salah, di dunia ini juga berisi manusia aneh. sepertinya, bibit kesabaran dalam dirinya harus diberi pupuk agar tumbuh dengan subur.

"Siapa namamu?"

Cesha dapat melihat bahwa raut muka pria itu berubah, ia merasa merinding dengan tatapan itu. Pria itu mengepalkan tangannya kuat, bahkan netra elang itu kini kian menajam seolah siap untuk menusuk kedua bola mata yang dia miliki.

"Berhenti bermain-main, Zyfara!"

Jadi nama dari tubuh yang dia tempati adalah Zyfara, baiklah mulai sekarang Cesha adalah Zyfara.

"A-aku hanya bertanya" cicitnya pelan, namun siapa sangka bahwa pria tampan itu dapat mendengarnya.

"Eric Rexio"

"Apa alasannya kita menikah?"

"Zyfara.Aarch.Xeysa!" Eric menyebut nama Zyfara dengan penuh penekanan.

Menurutnya gadis gila didepannya ini sangat aneh dan suka sekali memancing emosi. Meskipun statusnya adalah suami dari Zyfara, tapi dia tidak pernah dan tidak akan pernah menganggap Zyfara sebagai istrinya. Dia sangat membenci Zyfara yang dengan sesuka hati menggunakan kekuasaan keluarganya untuk bisa menjadikan dirinya sebagai suami.

"Aku tidak akan mengunci kamar ini lagi, jangan membuat masalah saat aku tidak ada!" Setelah mengucapkan kalimat itu, Eric pergi dari kamar Zyfara dengan wajah datarnya. Namun tak lama sebuah senyuman kecil terbit saat mengingat seseorang.

Sedangkan di dalam kamar, Zyfara menghela nafas. Ternyata, di hidupnya dulu maupun sekarang sama saja. Isinya manusia yang tidak waras, setelah tau sedikit informasi Zyfara lebih lega. Matanya menangkap sebuah ponsel, dengan segera ia mengambil benda pipih itu lalu mengotak atiknya. Mendeteksi wajahnya sebagi pengunci, untungnya jiwa asli dari tubuh yang dia tempati tidak memberikan kunci ponsel yang sulit.

"Zyfara Aarch Xeysa?"

"Menjadi istri tanpa disentuh, artinya aku masih gadis? Apa aku bisa mencari suami lain? Hmm akan kucoba" gumamnya dengan senyuman tak terbaca.

Eric sendiri menjalankan mobilnya hingga memasuki sebuah rumah yang lumayan besar, terlihat satpam yang berjaga menyapa pria itu dengan amat ramah seolah keduanya memang sering bertemu. Setelah berhasil memarkirkan mobilnya, dia pun segera turun. Netranya menatap seorang gadis yang sedang duduk di teras sambil membaca sebuah buku ditemani oleh secangkir kopi, senyuman kecil terbit begitu saja tanpa bisa dicegah.

Sementara Niskala yang menjadi objek pun mendongak menatap Eric dengan wajah yang berseri. Dia segera menutup novelnya, meletakkan buku itu diatas meja kemudian bangkit menghampiri Eric yang tak jauh dari tempatnya.

"Kenapa pagi-pagi sekali? Apa ada masalah dengan istrimu?"

Eric menghembuskan nafas pelan "Dia aneh"

Niskala menatap bingung "Aneh?"

"Dia menanyakan namaku"

"Aku tidak mengerti"

Keduanya berjalan memasuki rumah itu dan duduk di ruang tamu. tak lupa, Niskala memanggil asisten rumah tangga dirumanya untuk mengambilkan minum dengan suara lembut dan penuh kesopanan yang mampu membuat Eric terpesona.

"Kau baik, sangat berbeda dengan istriku" ucap Eric tanpa sungkan dan memberikan tatapan penuh kekaguman pada gadis yang saat ini ada dihadapannya.

"Apa yang kau katakan, istrimu juga baik"

"Aku serius, jika saja bisa maka aku lebih memilih untuk menikahimu Niskala"

Niskala terkejut, lalu tertawa renyah "Kau ini ada ada saja! Bahagiakan saja istrimu, bukankah dia sangat mencintaimu?"

"Kau pernah mendengar sebuah kalimat 'Lebih baik dicintai daripada mencintai'?" lanjutnya menatap Eric dengan tatapan serius. Eric menjawab dengan gelengan kepala, namun dia berusaha untuk mencerna kalimat itu.

Niskala tertawa pelan "Kita sahabat, sampai kapanpun akan seperti itu"

Eric terdiam sejenak, lalu bertanya "Kau tidak ingin menikah?"

"Aku-"

"Permisi nona, ini minumannya!"

Niskala tersenyum seraya menganggukan kepala "Terimakasih, bibi"

"Sama-sama nona, kalau begitu saya permisi"

Niskala menganggukan kepala, kemudian menatap Eric yang sedang menatapnya dengan dalam.

"Ada apa? Minumlah, lalu pergi ke kantormu. Aku tidak mau jika istrimu datang kesini dan memarahiku"

"Aku akan memperingatkannya!"

"Eric, bukankah tindakanmu salah? Kau memiliki seorang istri tetapi malah datang kerumahku"

Eric mengetatkan rahangnya "Kau tau betul bahwa aku terpaksa menikah dengannya!" Ujarnya menahan amarah.

Niskala termangu sejenak, sebelum mengeluarkan kalimat yang membuat Eric tersentak.

"Dia mencintaimu, aku rasa tak ada salahnya untuk membuka hati"

TBC*

21 Juli 2022
928 kata

Protagonist's WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang