PROLOGUE

319 20 8
                                    

Angin menderu di pegunungan Pyrenees, seiring kapas-kapas putih melayang, bertebaran memenuhi udara di bawah langit malam sebelum jatuh ke tanah, membentuk timbunan salju tebal. Suara tangis bayi terdengar samar di sela riuhnya deru. Tujuh serigala terlihat berlari menembus badai tanpa ragu.

Sebuah kabin tua di antara kepungan pohon pinus memutih bergetar, berjuang tetap berdiri di antara amukan badai. Di dalamnya, seorang wanita berambut cokelat sebahu tampak tergolek lemah di atas ranjang sambil merintih.

Suara lolong terdengar sayup-sayup. Wanita itu menatap cemas pada bayi dalam balutan selimut tebal yang tengah berada di gendongan seseorang.

"Mereka sepertinya telah menemukan kita .... Reina, tolong ... selamatkan anakku. Kayla Gelael Alejandro, itu ... namanya. Bawa ia pergi ...."

Reina menatap cemas dengan mata cokelatnya. "Lalu bagaimana dengan kau, Carmen? Aku tidak bisa meninggalkanmu."

"Nyawa anakku lebih penting, Reina .... Para serigala itu pasti akan menyerahkan Kayla kepada kelompok itu ... yang sudah jelas akan membunuh Kayla, sama seperti yang mereka lakukan ... pada Gelael .... Mereka juga telah menghancurkan pack kita, hanya kita yang tersisa. Kumohon ... selamatkan putriku ...."

Suara lolongan terdengar bersahutan. Para serigala makin melaju kencang. Mereka terlihat beringas menembus kegelapan dan lebatnya hutan.

"Lekas, Reina. Pergilah .... Aku akan menghadang mereka selama mungkin ... agar kau bisa punya cukup waktu ... untuk kabur dari sini ...."

"Kau saja yang pergi! Bawa bayimu! Aku akan menghadang mereka!"

Carmen menggeleng lemah. "Aku tak akan kuat lari membawa bayiku, Reina .... Kaulah yang bisa menyelamatkannya ...."

Suara lolongan terdengar sayup-sayup di antara badai. Reina pun mengertakkan rahang. Ia segera menaruh bayi ke samping Carmen. Wanita itu kemudian berubah wujud. Seekor serigala berukuran sedang berbulu cokelat berdiri kini di dekat tepi ranjang.

Carmen menguatkan diri untuk bangkit, meraih, dan menaruh bayi yang kini terdiam dalam selimut tebal di atas punggung serigala itu, lalu menyobek dan melilitkan kain seprai sebisa dan secepat mungkin untuk menyatukan serta mengikat mereka erat-erat, memastikan sang putri tak akan terjatuh dalam guncangan nanti. Ia melangkah terhuyung ke arah jendela kayu, kemudian membukanya. "Sekarang ... pergilah! Apa pun yang kau dengar nanti, jangan pernah berbalik lagi!"

Tanpa menunggu lagi, Reina segera melompat, menerjang keluar melalui jendela yang terbuka. Ia berlari secepat mungkin membawa sang bayi, menerobos badai salju, dan lebatnya pinus. Terdengar teriakan, jeritan, bentakan, bercampur lolongan serigala dari arah kabin. Dia menguatkan hati, terus mempercepat lari tanpa menoleh lagi.

Reina mendengar lolongan disusul derap kaki para serigala sayup-sayup di belakangnya. Ia pun mengerti, Carmen mungkin sudah tak bisa menahan mereka lebih lama. Dia memacu langkah semakin melaju tanpa berpikir apa-apa.

Meski tak tahu ke arah mana dia harus pergi, Reina bertekad sebisa mungkin menjauh sejauh-jauhnya dari para serigala tanpa meninggalkan jejak. Ia terus menembus hutan, hingga tiba di sebuah aliran sungai kecil yang dangkal, dengan sebagian besar tertutup salju.

Tanpa ragu, dia menerobos salju dan aliran air sebatas perut serigalanya, penuh kehati-hatian demi keamanan si bayi. Begitu tiba di tepi, ia kembali berlari cepat menembus hutan lebat tanpa henti.

Tiba-tiba sesuatu seakan menancap di salah satu kakinya. Hal itu membuat ia terjatuh seraya mendengking kesakitan. Sang bayi pun turut terlempar ke tanah.

Reina berubah wujud kembali ke bentuk manusia tanpa busana. Ia mengambil kain seprai yang ikatannya telah sobek, tak jauh tergeletak di tanah, lalu melilitkan sebisa mungkin ke tubuh, sekedar menutupi dada dan pangkal paha.

Dia mencoba melepaskan perangkap dengan susah payah, mengabaikan rasa lelah di tubuh, juga nyeri di kaki kiri. Namun, ia tak berhasil. Wanita itu pun merangkak, bahkan setengah menyeret tubuhnya sendiri, menuju sang bayi.

Kedua tangan Reina meraih dan memeluk Kayla dalam dekapan. Salju masih berjatuhan menimpa wajah dan tubuhnya, juga si bayi. Menguatkan hati, ia kembali mencoba bangkit dan memaksa diri melanjutkan langkah ke sembarang arah meski terpincang-pincang.

Indera pendengarannya yang tajam melebihi manusia normal menangkap suara langkah kaki seseorang dari arah samping. Ia pun berpaling sambil berusaha mengeratkan dekapan pada si bayi.

Sesosok lelaki terlihat berjalan sambil membawa sebuah senapan. Langkahnya terhenti saat melihat Reina. Mereka pun saling menatap kemudian.

"Astaga." Ia menatap cemas ke arah kaki Reina. "Bisakah aku menolongmu? Kau terkena jebakanku. Itu bayimu?"

Reina menelan ludah dengan susah payah saat menghirup aroma si lelaki. Ia pikir tak akan pernah bertemu sang mate. Namun, siapa pernah mengira, lelaki itu ada di hadapannya sekarang.

Seorang manusia normal.

Ia segera mengusir kekecewaan di hati. "Tolong aku! Bawa aku ke tempat aman! Ada yang mengejarku dan ingin mengambil bayiku! Lekas!"

Si lelaki kebingungan. Ia memandang ke arah sekitar. "Siapa? Kenapa mereka memburumu dan ingin mengambil bayimu?"

"Nanti kujelaskan! Selamatkan aku dan bayiku dulu! Kau berutang padaku atas jebakan laknat di kakiku!" Reina tersengal sambil memelototi lelaki itu.

Merasa bersalah dan juga kuatir, si lelaki pun segera mendekat. Ia membebaskan kaki Reina dari jebakan. Dia kemudian melangkah lebih dekat ke sisi kiri, meraih lengan Reina, dan menaruh ke bahu kanannya. "Ayo, kubantu berjalan. Kabinku tak jauh dari sini, di dekat danau. Teman pemburuku kebetulan menginap di sana. Ia mengerti cara mengobati luka kena perangkap. Kau akan aman."

Sambil memeluk Kayla di tangan kanan, ia pun berjalan dengan bantuan sang mate yang masih asing baginya. Tak terdengar tanda-tanda pengejaran. Reina bisa sedikit bernapas lega perlahan. Setidaknya kini dia telah memiliki tujuan.

*** 

ZORION ACADEMY (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang