4. Fuss

3.5K 278 1
                                    

•••

Saat tengah break time, bukannya pergi ke kantin untuk membeli makan, Sia justru duduk diam di bangkunya. Dia tidak memedulikan semua temannya yang beramai-ramai pergi meninggalkan kelas.

Sia masih memikirkan kejadian kemarin. Rasa kesalnya sebenarnya juga belum reda. Papa dan mamanya itu suka membuat Sia salah paham sendiri. Dia kan tidak suka jika benar akan mempunyai adik. Oh, gadis itu tidak bisa membayangkan semenjengkelkan apa hidupnya nanti.

Beruntung Lily hanya kelelahan. Dan tadi pagi wanita itu juga sudah pergi ke butik lagi. Benar-benar tidak bisa meninggalkan pekerjaannya barang satu hari saja. Padahal Sia khawatir ibunya akan kembali pingsan.

Putri semata wayang Gara dan Lily ini juga sudah menyadari bahwa dirinya lahir pada saat orang tuanya itu belum siap membangun rumah tangga. Sia memaklumi jika terkadang mereka membuat kesalahan. Perbedaan usia Sia dan Gara Lily saja tidak terlampau jauh.

Helena neneknya, juga pernah memberi wejangan pada gadis itu. "Mama sama Papa kamu itu dewasa karena keadaan. They must have some faults, tapi Oma pasti bangga kalo Sia bisa ngerti semua itu."

"Hey, kok ngelamun? Kenapa?" Vero datang sambil meletakkan beberapa buku yang dia pinjam dari Learning Resource Center (LRC) atau library sekolah mereka.

Begitu tersadar, Sia tersenyum tipis. "Nggak, lagi kepikiran materi pelajaran aja."

Sejujurnya, Sia jarang berbohong pada Vero. Akan tetapi, untuk masalah yang kemarin, agaknya Sia berniat merahasiakannya saja. Dia kemarin beralibi bahwa orang tuanya mendadak ada urusan, dan Sia harus ikut juga.

"Oke." Vero mengetuk-ngetuk telunjuknya ke meja. "Eh, sebenarnya tadi Rafael ngundang kamu ke acara ulang tahunnya."

Sia mengerjap. Rafael? Sia mengenalnya, tapi hanya sebatas kenal nama saja. Mereka tidak pernah berbincang. Yang Sia tahu, Rafael adalah sahabat akrab Vero. Lelaki itu anak dari pemilik rumah sakit swasta besar yang lumayan jauh dari kediaman Sia.

"Hah? Kok aku juga diundang?"

Vero terpekur sebentar, lalu menjelaskan alasan Rafael mengundang gadis itu. "Kamu kan sahabat aku. Temenku juga temenmu, dong."

"Eum, kapan acaranya?"

"Tomorrow night," jelas lelaki berambut hitam pekat tersebut. "Gimana? Kamu mau dateng, 'kan?"

Ah, rupanya malam hari. Selama 18 tahun hidup Sia, dirinya tidak pernah keluar malam-malam apalagi sampai tengah malam hanya untuk bersenang-senang. Sia yakin acara ulang tahun itu pasti akan berakhir paling lambat dini hari.

"Tapi aku nggak pernah keluar malem, Ver. Kamu kan tahu," keluh Sia.

"Tahu, kok." Vero memperbaiki posisi duduknya. "Kamu nggak usah khawatir, ada aku di sana. Kamu bakal aku jagain. Tenang aja."

Walaupun Vero menjaganya, tetap saja ada keraguan dalam diri Sia. "Dimana sih tempatnya? Di sekolah?"

Yang diajak bicara malah terkekeh. "Bukanlah. Di RedTop diskotik, kalau kamu dateng nanti aku jemput, deh."

Apalagi ini? Keluar malam saja Sia tidak pernah, apalagi mengunjungi diskotik. Dia bukan anak yang suka keluar malam.

"Dis-diskotik?"

Kali ini Vero tertawa. "Nggak usah takut gitu, diskotik nggak melulu isinya orang mabuk, kok. Lagian kita udah nggak minor loh."

Sia tahu itu. Dia bukan anak dibawah umur lagi. Tapi diskotik? Tempat yang terdengar menyeramkan bagi gadis polos itu sendiri.

A Time For JoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang