21. Turpitude

4.1K 335 16
                                    

•••

"Eh, Mbak Sia mau kemana?" Ana tiba-tiba mencegat Sia yang hendak turun tangga.

"Aku mau baca buku di taman belakang, Mbak." Sia mengangkat buku dengan cover warna birunya. "Omong-omong, Mama sama Papa belum pulang?"

"Belum, Mbak. Nanti mungkin, sebentar lagi," jawab Ana.

"Ya, udah. Nanti kalau Mama nyariin, bilang aja aku lagi di taman, ya, Mbak."

"Siap, Mbak!"

Sia pun berlalu meninggalkan Ana yang rencananya akan membersihkan walk-in closet di kamar Lily. Asisten rumah tangga itu mengelap tiap-tiap tas bermerek milik majikannya sambil bersenandung riang.

Tiba-tiba ponsel Ana berdering. Rupanya sang majikan yang menelepon. Cepat-cepat dia angkat panggilan itu. "Halo, Bu?"

"Halo, Ana. Kamu di rumah, 'kan? Sia lagi apa sekarang?"

Kening Ana berkerut mendengar nada cemas dari suara majikannya. "Lagi di taman belakang, Bu. Katanya Mbak Sia mau baca buku."

"Oke, sekarang kamu jagain dia. Jangan tinggalin dia sendirian apapun kondisinya. Pastikan aja Sia aman selama saya belum pulang." Lily terdengar meneguk ludahnya. "Dan, satu lagi. Pastikan nggak ada orang yang masuk ke rumah. Kalau ada tamu, bilang aja saya nggak ada. Jangan biarin mereka masuk. Paham?"

Meski merasa penasaran, Ana menahan diri bertanya lebih lanjut apa alasan Lily begitu cemas sampai seperti ini. "Paham, Bu. Tapi, Ibu kapan pulangnya?"

"Ini saya lagi jalan pulang. Udah, pokoknya sekarang kamu temenin Sia. Tinggalin pekerjaan kamu sekarang!"

Belum sempat Ana menjawab, Lily terlebih dahulu menutup teleponnya. Mau tak mau sekarang dia harus menemani Sia sesuai perintah Lily.

Ketika hendak ke taman belakang, seseorang membunyikan bel rumah. Seperti kata majikannya, Ana akan mengatakan pada sang tamu bahwa Lily tidak ada.

Ternyata orang yang dibalik pintu adalah Vero. Pemuda itu memasang senyum ramah. "Sore Mbak, saya mau ketemu, Sia. Apa boleh?"

"Anu... Mas, tadi Ibu Lily telepon saya katanya tamu dilarang masuk dulu, Mas. Maaf, ya. Mungkin lain kali dulu ketemu Mbak Sia-nya."

"Oh, gitu kata Tante Lily?" Senyum Vero tak terlihat pudar. "Pasti Tante Lily lupa bilang buat ngizinin saya masuk, ya? Saya udah izin kok tadi. Dan udah dibolehin sama Tante Lily. Jadi, saya boleh masuk, 'kan?"

Sejenak Ana ragu akan ucapan pemuda jangkung itu. "Beneran, Mas?" tanyanya.

Vero mengangguk santai. "Apa perlu saya telepon Tante Lily terus bilang pembantu rumah tangganya lancang banget larang saya masuk?"

"Eh, jangan, Mas." Ana ingat pemuda itu adalah teman Sia. Dulu Gara juga pernah mengizinkannya masuk. Alhasil, perempuan polos itu pikir bahwa Vero memang sudah diizinkan masuk.

"Ya udah, Mas. Mbak Sia-nya di taman belakang. Ayo, saya juga mau ke sana."

Sementara itu di tempat lain, Lily tengah duduk cemas di mobil yang dijalankan sopirnya. Gara yang mengetahui kecemasan sang istri pun mengelus tangan Lily lembut. "Tenang aja. Sia aman, kok."

Lily menggeleng. "Aku takut, Gara. Kita nggak tahu Vero dimana. Gimana kalau kecurigaan Brian itu bener?"

"Nggak lah. Kan tadi kamu juga udah telepon Ana. Sia pasti aman. Jangan terlalu dipikirin gitu."

Meski begitu, tetap saja Lily tak dapat membuang kecemasannya. Wanita 38 tahun itu bahkan meminta sang sopir untuk menjalankan mobil dengan kecepatan tinggi. Lily seolah tak peduli keselamatannya sendiri.

A Time For JoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang