"Kalau mencintaimu hanya bertepuk sebelah tangan, lebih baik sedari awal kita tak usah bertemu."
♡♡♡
Pantai Goa Cemara, 14.15
Isi pesan singkat yang kubaca sekilas dari notifikasi mengapung yang muncul di layar ponselku pukul lima pagi. Pesan pertama dari kolom chat pribadi kami dibuka tanpa sapaan maupun salam, hanya berisikan informasi tempat dan waktu yang sudah kutahu pasti fungsinya. Pengirimnya tak perlu ditanya, jelas merupakan seorang penghuni terbaru aplikasi kontak di ponselku. Oleh Nara disimpan dengan nama 'Faqeeh Teman Kampus'.
Untuk ukuran seseorang yang tiap bertemu tak pernah terlibat pembicaraan panjang, kurasa pesan itu bukan pembuka yang buruk. Meski awalnya kupikir Fakih adalah tipe yang tiap membuka percakapan akan menuliskan "Assalamu'alaikum" lebih dulu. Tapi ya sudahlah, toh memang nggak perlu basa-basi.
Aku bergegas memberitahukan informasi ini pada Nara dengan meneriakinya dari luar pintu kamar mandi. Setelah mendapat sahutan "Siap!" Aku menghubungi layanan room service untuk memesan makanan.
Pesanan datang tepat ketika Nara keluar dari kamar mandi. Kami sarapan bersama dengan menu pagi berupa nasi goreng dan segelas teh hangat.
"Ra, kemarin waktu baru sampek sini, lo bilang kan lo lagi ngurus kasus perceraian Kak Raki. Kok sekarang malah nyantai di sini, sih." Aku membuka obrolan dengan memandangi Nara yang sedang asyik mengunyah nasi goreng.
"Oh, jadi lo ngusir gue, nih, ceritanya." Matanya memicing, ia meletakkan sendok dan garpunya, kemudian berkacak pinggang.
"Ya, enggak. Maksud gue, tuh, gue takutnya lo dibilang nggak profesional. Disuruh handle kasus malah mangkir." Kulihat ekspresi wajah Nara berubah lebih muram. Ia mengusap wajah kasar, menatap kosong pada nasi gorengnya yang tersisa separuh.
"Gue nggak mangkir, Vi... Cuma butuh waktu bentar buat nenangin diri, karena setelah ini gue pasti makin sering ketemu dia." Ia menggigit bibir bawahnya. Aku meyakini bahwa emosinya saat ini pasti sedang campur aduk.
Tentang dia, Raki Candra, kakak tingkat beda jurusan yang dua tahun lebih tua dari kami. Kak Raki merupakan mahasiswa semester 5 jurusan Teknik Informatika, saat aku dan Nara masih jadi maba. Ia merupakan seorang ketua panitia pada masa Ospek kami. Saat itu merupakan kali pertama aku mengenal Kak Raki. Namun, tidak demikian bagi Nara.
Aku dan Nara semakin dekat setelah kejadian kami dihukum bersama di hari ketiga Ospek. Sejak saat itu kami memutuskan untuk berteman. Meski berasal dari jurusan yang berbeda, kami selalu menyempatkan waktu untuk bertemu setiap ada masa lapang. Minimal dua kali seminggu, di hari jum'at dan sabtu. Kami menghabiskan waktu bersama dari pagi hingga ke petang. Entah sekadar main ke rumah masing-masing atau hangout keluar.
Pernah suatu waktu, Nara menginap di rumahku. Saat itu kami sedang menonton film 'Pride And Prejudice' di dalam kamarku. Ponsel Nara yang diletakkan di sampingku menyala beberapa detik, sementara Nara baru saja beranjak ke kamar mandi. Aku tak sengaja mencuri pandang ke arah ponselnya dan menemukan wajah seorang pria di sana. Gambarnya tak begitu jelas karena hanya sekelebat aku melihatnya. Kepalang penasaran, aku tap dua kali layar ponsel Nara hingga terpampanglah sosok yang wajahnya dijadikan wallpaper oleh Nara.
Keningku mengerut berusaha mengingat wajah yang tampak nggak asing pada indra penglihatanku. Ah, ya, Kak Raki lah yang ada di sana. Saat Nara kembali rebah di sampingku dengan posisi kepala bersandar di headboard ranjang, aku menginformasikan bahwa barusan handphone-nya menyala. Nara kelihatan panik dan langsung mengecek ponselnya.
Setelah ia menaruh ponselnya di atas nakas samping kasur, aku memutar kepala ke arahnya. Beberapa kali aku mencecarkan pertanyaan mengenai Kak Raki, bukan maksudku mengulik privasinya. Namun, beberapa kali ia mendatangi sambil menangis yang ketika kutanyai perkaranya, ia selalu mengelak. Saat aku bertanya hubungannya dengan Kak Raki, awalnya ia menyangkal, namun pada akhirnya ia terbuka padaku.
...
Nara masih berusia 14 tahun, duduk di bangku kelas 2 SMP. Saat itu kakak laki-laki Nara, Kak Armin, berusia 16 tahun dan baru saja masuk SMA. Di suatu waktu, Kak Armin pernah mengajak salah seorang temannya untuk main ke rumahnya. Dan -teman Kak Armin- itu adalah Raki. Begitulah singkat cerita pertemuan pertama Nara dengan Kak Raki.
Siswa SMA bertubuh jangkung, rambut hitam legam, pemilik senyum semanis gulali. Setidaknya begitulah cara Nara mendeskripsikan sosoknya. Awalnya Nara merasa biasa saja dengan kehadiran laki-laki itu di rumahnya. Hampir setiap hari abangnya mengajak Kak Raki main PS di kediamannya. Jika tak sengaja mereka berpapasan, Nara melempar senyum seadanya pada Kak Raki yang memberinya senyum ramah.
Hingga suatu saat, Kak Raki memujinya 'cantik' kala ia berada dalam balutan gaun merah muda di pesta ulang tahunnya yang ke-17. Nara, untuk pertama kalinya merasakan sensasi tak biasa yang menggetarkan hatinya. Rasa yang masih awam untuk bisa diterjemahkan olehnya. Sejak saat itu, tiap kali bertemu Kak Raki, ia merasakan debaran jantungnya beberapa kali lebih cepat dari normalnya.
Nara akan buru-buru membenahi penampilannya setelah mendengar nama Raki disebut-sebut akan datang ke rumahnya. Saat Nara sadar bahwa ia menyukai Kak Raki, ia bertekad untuk mengungkapkan perasaannya pada lelaki itu. Menurutnya, Kak Raki terverifikasi positif juga menaruh rasa untuknya. Nara menyimpulkannya berdasarkan perilaku Kak Raki yang begitu memanjakannya.
Kak Raki sering membelikan barang-barang kebutuhannya, seperti tas, sepatu, baju, bahkan tak jarang mengajaknya makan bersama di restoran-restoran mahal. Kak Raki juga seringkali melakukan kontak fisik seperti menggandeng tangannya di muka umum, mengacak rambutnya, hingga mengelus dan mencium pipinya.
Dari segala tindakan yang ditunjukkan Kak Raki, tentu Nara tak ragu lagi jika perasaannya tak mungkin hanya bertepuk sebelah tangan. Dengan tekad bulat, tepat di hari kelulusannya dari jenjang SMA, Nara mengungkapkan perasaannya pada Kak Raki.
"Terima kasih sudah menyukaiku, Nara. Tapi maaf, aku nggak bisa membalas perasaanmu. Aku... sudah bertunangan. Tahun depan aku akan menikah dengan tunanganku."
Menurut cerita Nara, saat itu ia hanya diam membisu dengan badan yang kaku. Bingung harus berekspresi seperti apa. Ia sempat berpikir untuk tertawa karena mengira pria di depannya itu tengah berbohong. Namun, saat ia menekuri jari manis Kak Raki, ia sadar bahwa dirinya tidak sedang dibohongi.
"Terus maksud perlakuan Kakak kepadaku selama ini, apa? Sengaja mau baperin aku? Kamu selalu bikin aku merasa sedang di atas awan saat kita jalan berdua, Kak. Aku nggak ngerti sama semua ini. Kamu seolah ngasih aku harapan bahwa kamu memiliki perasaan yang sama seperti aku."
Nara tak kuasa membendung air matanya, napasnya tersengal. Ketika Kak Raki mendekat padanya dan berusaha menyentuh lengannya, Nara segera menepis. Tangannya mengepal, ia membawa kepalan itu bertubi-tubi menghantam dada Kak Raki. Bibirnya tak berhenti berucap ujaran kebenciannya pada pria yang kini telah berhasil menangkup jari-jarinya.
"Aku benar-benar minta maaf kalau tindakanku selama ini bikin kamu salah paham. Semua yang kulakukan semata-mata karena aku menganggapmu adikku sendiri, Ra. Aku minta maaf. Aku sama sekali nggak bermaksud nyakitin kamu."
Setelah mendengar ucapan Kak Raki, Nara menarik paksa tangannya yang masih terkepal dalam genggaman Kak Raki. Kemudian pergi dari tempat itu tanpa sepatah kata pun terucap dari bibirnya. Hanya derai air mata yang masih setia menghiasi wajahnya.
________________________________________
Vote, share, and say something in the comment. Don't be a silent reader, please!😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Nomad's Last Sojourn
Romance"Jika kamu berkenan, izinkanlah bahuku yang tak seberapa kokoh ini berusaha menopang kesedihanmu." Apakah aku harus mempercayai ucapannya? Dari nadanya, jelas tidak terdengar seperti sebatas janji, melainkan sebuah kepastian. Namun setelah mengetah...