Bantu cek kalau ada typo, ya, guys. ARIGATOOO!!
《》
"Kamu tidak bisa membungkam tuntutan dunia atas dirimu, tapi kamu punya kendali penuh untuk menutup telinga dan hidup sesuai keinginanmu."
♡♡♡
Ada yang tidak beres dengan hatinya. Eren yakin itu. Ia jelas-jelas merupakan korban kepiawaian seorang dokter buaya dalam merayu mangsa agar masuk ke mulutnya tanpa paksa. Mulut yang gampang sekali bicara manis, tanpa berbelas kasih pada perasaan Eren yang makin tak menentu.
Terbesit rasa bersalah dalam dadanya, kala ia mengingat tujuan awal berada di Surabaya. Maksud hatinya sekadar ingin melupakan kesedihan dan mengusir sepi, bukannya sampai melupakan mendiang keluarganya. Namun semenjak pertemuannya dengan Aksa, ia jarang sekali memikirkan tentang mendiang keluarga. Bahkan ia seolah dibuat lupa akan duka yang menjadi alasan utama ia berada di kota ini.
Terlambat dicegah, Aksa telah berhasil menguasai sebagian besar atensinya. Oleh sebab itu, sebelum semuanya semakin jauh, ia harus berhenti. Pergi. Menjauh dari kota ini, dari Aksa. Mencari ketenangan di tempat lain. Stick to the plan, travel around the world. Aksa tak sepenting itu untuk bisa menggoyahkan rencana awalnya.
Kini, ia memandangi lemari di apartemennya yang kembali melompong karena barang-barangnya sudah dikemas ke dalam koper. Entah ke mana tujuan Eren selanjutnya, yang jelas keberangkatannya harus disegerakan. Ia tak mau lagi berurusan dengan makhluk yang bernama Akhtar Aksa, lagi. Manusia paling berbahaya yang pernah ia temui.
Tepat pukul delapan pagi, Eren menyeret kopernya ke dalam mobil. Beruntunglah kemarin mobilnya sudah selesai di perbaiki. Kini, gadis yang berpakaian serba hitam itu melaju tanpa arah. Ia baru akan berhenti saat tangannya sudah kebas mengendalikan roda kemudi. Eren tak pernah bepergian jauh seorang diri sebelum ini. Jarak terjauh yang biasa di tempuhnya paling hanya sekitar 30 menit, Jakarta-Tangerang. Meski begitu, Eren sangat suka mengemudi. Ia menikmati sensasi berkendara diiringi alunan musik pop dan pemandangan padatnya jalan dari balik kaca.
Waktu menunjukkan pukul 14:00, tak terasa ia sudah berkendara selama kurang lebih enam jam. Tangannya sudah mulai kesemutan, dan begitulah awal mula penyebab tubuhnya kini telah rebah di atas kasur sebuah hotel bintang 5, Yogyakarta.
Matanya perlahan tertutup. Namun bukannya tertidur, pikirannya justru melayang kembali pada saat-saat sebelum dirinya dan Aksa meninggalkan restoran kemarin. Ajakan gamblang Aksa untuk pdkt yang tentu membuatnya begitu syok sengaja tidak direspon. Eren dengan segala akal bulusnya berpura-pura merasa pusing, hingga Aksa panik dan hendak membawanya kembali ke rumah sakit. Niat Aksa buru-buru ditepis oleh Eren, gadis itu meminta diantarkan pulang ke apartemen saja.
Selama perjalanan pun, Aksa tak lagi mencecarkan pertanyaan seputar pdkt yang belum menemukan titik terang. Mungkin ajakan pdkt Aksa tadi memang sekadar gurauan semata. Seharusnya tak perlu diambil hati sampai dipikirkan berlarut-larut. Tapi apa mau dikata, sampai sekarang ia masih belum bisa mengenyahkan pikirannya dari hal itu. Bahkan Eren kini mulai bertanya-tanya, akankah Aksa berkeinginan menemuinya lagi setelah urusan keduanya bisa dibilang sudah usai? Eren bukan lagi pasien Aksa, dan Aksa juga sudah tak berkewajiban atas kesembuhannya.
Setelah beberapa kali memiringkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri, rasa kantuk belum juga menjemputnya. Eren merasa bosan, ia butuh seseorang untuk bicara. Ia teringat Nara, teman masa kuliahnya. Pertama kali ia bertemu Nara yaitu pada hari kedua masa ospek. Saat itu Eren lupa mengenakan ikat pinggang sehingga ia diminta maju ke depan, semua orang mengenal Eren. Tentu mereka mengenalinya akibat sang ayah yang sering berseliweran di depan layar televisi. Namun peraturan tetaplah peraturan, Eren diminta menyanyikan hymne dan mars kampus. Eren tahu betul bahwa saat itu akan menjadi hari paling memalukan dalam hidupnya, karena ia menyadari betapa buruk kemampuan dirinya dalam bernyanyi. Mau tak mau ia tetap harus menerima konsekuensi atas kelalaiannya sendiri, telapak tangannya yang menggenggam mic sudah basah dan gemetar.
Saat untaian kata demi kata ia alunkan, para mahasiswa mulai sibuk menahan gelak tawa yang meronta ingin lepas. Mereka begitu sungkan ingin menertawakan putri seorang Boden. Padahal jika mereka tertawa pun, Eren tak akan marah atau tersinggung. Ia tahu, ia pantas ditertawakan. Suara dan nadanya melenceng jauh dari seharusnya, fals, melengking tak karuan. Detik-detik menuju nada tinggi, semua orang mati-matian menyembunyikan tawa. Beberapa dari mereka mencubit diri sendiri agar gelakannya tak menguar. Namun di sanalah Nara, di barisan ujung kiri paling depan. Dengan lantangnya Nara terbahak, bahkan suara bernyanyi Eren kalah keras. Pada akhirnya, mereka semua beralih menatap Nara.
Panitia ospek segera meminta Nara berdiri dan ikut maju ke depan. Nara dan Eren merupakan tokoh utama di hari itu. Semua mata tertuju pada keduanya, yang satu menahan malu, satunya lagi meredam sisa-sisa gejolak tawa yang belum sempat diledakkan.
"Kamu ketawa, kenapa? Ada yang lucu?" Salah satu panitia yang dikenal paling garang mendelik pada Nara. Hidungnya kembang kempis, kentara sekali sedang berusaha keras untuk stick to the character.
"Abis suaranya jelek banget, Kak. Lagu hymne yang seharusnya dinyanyiin penuh penghayatan, malah jadi kayak opening Spongebob." Seluruh mahasiswa akhirnya tertawa, keberanian Nara me-roasting Eren patut diacungi jempol, pikir mereka.
"Jadi kamu ngerasa suaramu lebih bagus, apa gimana?" Panitia dengan name tag Nando kembali bertanya, nadanya menantang, berusaha memancing Nara agar unjuk kemampuan.
"Oh, ya jelas. Bagusan saya ke mana-mana," sahut Nara, jumawa.
"Kalo gitu, coba. Kita semua mau denger."
________________________________________
Vote, share, and say something in the comment. Don't be a silent reader, please!😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Nomad's Last Sojourn
Romansa"Jika kamu berkenan, izinkanlah bahuku yang tak seberapa kokoh ini berusaha menopang kesedihanmu." Apakah aku harus mempercayai ucapannya? Dari nadanya, jelas tidak terdengar seperti sebatas janji, melainkan sebuah kepastian. Namun setelah mengetah...