"Panorama sunset dan pantai memang kombinasi yang indah, tapi saat menatapmu, pemandangan lain terasa begitu hambar."
♡♡♡
"Ini adalah kali pertama gue bakal ngobrol lagi sama dia setelah sekian lama, Ra. Jujur gue nggak tau harus gimana, gue masih gamang." Aku mengamati mimik wajah Nara yang begitu gelisah. Kuku jempol yang digigiti menunjukkan adanya pergolakan batin dalam dirinya.
"Gue nggak menyangkal bahwa kalo semisal gue yang ada di posisi lo, gue pasti juga dilanda perasaan cemas, canggung, bingung, dan nggak enak yang campur aduk jadi satu. Tapi satu hal yang gue tau, Nara Kanaya, sahabat gue bukan orang yang lemah dan gampang nyerah. Lo itu sosok paling pemberani yang pernah gue temuin dalam 22 tahun hidup gue." Aku menatap lekat bola mata Nara yang kini memandangku penuh haru. Genangan air mulai berkilat di permukaan skleranya. "Lo pasti bisa lewatin ini."
Aku terhuyung kala Nara menubrukkan tubuhnya ke pelukanku. "Gue bakal balik ke Jakarta, besok."
Aku mengelus punggungnya yang bergetar. Aku tau Nara selalu sensitif jika bicara tentang cinta dan Kak Raki. Dulu aku sempat terkejut dan bingung, mengapa ia sesedu itu menangisi seorang lelaki sampai berhari-bari. Aku memang tak pernah merasakan hal yang sama seperti Nara. Mungkin jika kelak aku merasakan jatuh cinta, menangis seperti ini bukan hal yang mustahil terjadi.
...
Singkat cerita, setelah drama tangisan Nara yang meluap-luap di waktu sarapan, kami memutuskan untuk tidur hingga menjelang siang. Waktu berlalu dengan cepat dan kini kami sudah berada di pesisir pantai Goa Cemara. Masih belum menemukan jejak Fakih dan Irham. Menjajaki lembutnya pasir hitam membelai permukaan kulit kaki yang tak beralas. Di sampingku, Nara sibuk mencoba menghubungi Fakih dengan ponselku di genggamannya. Berkali-kali ia berdecak geram mendapati tak satu pun dari belasan panggilannya diterima oleh Fakih.
"Ah, akhirnya diangkat! Lo di mana, sih, Ki?" Nara bersungut-sungut dan menyerukan kekesalan kala panggilannya berhasil tersambung.
"Kami di belakangmu, Ra!"
Dengan mata menyipit akibat terpaan sinar mentari, aku menoleh ke belakang. Tampak Fakih dan Irham berlari kecil sambil melambai ke arah kami dengan napas ngos-ngosan. Rambut mereka basah oleh keringat, begitu pun wajahnya yang tampak mengkilat. Fakih dan Irham sama-sama mengenakan celana selutut dan kaos oblong lengan pendek.
Tak mengambil jeda, begitu langkah terakhir Fakih sampai di hadapan kami, Nara langsung menghadiahinya pukulan di lengan kiri. Tak begitu kencang, tapi berhasil membuat Fakih meringis sambil mengelus bekas pukulannya.
"Apa, sih, Ra. Dateng-dateng udah main tangan."
"Siapa suruh sampeknya lama! Nih, liat," dengan wajah datar, Nara mengangsurkan layar ponselku tepat di depan mata Fakih yang melotot. "Gue udah misscall 23 kali, dan di panggilan ke-24, lo baru angkat. Nyebelin banget! Seumur hidup, baru lo cowok yang tega menolak panggilan gue."
Bola mata Nara memutar, menatap sinis pada Fakih yang berdecak frustasi. "Tadi itu, gue.."
"Udahlah, Ra. Lupain aja, lagian orangnya sekarang udah di sini. Buang waktu kalo bahas ginian doang sambil emosi. Lagian mana dia tau kalo lo yang nelfon, itu kan hp gue. Wajar dia males angkat."Setelah menarik paksa ponselku dari genggaman Nara, aku berbalik, melangkah menjauh dari tiga orang yang masih berdiri melongo di tempat.
Genap dua meter kakiku melangkah, belum juga kurasakan adanya tanda-tanda pergerakan dari mereka. Dengan terpaksa, aku kembali memutar tubuhku ke arah mereka. Menghunuskan tatapan dingin seraya berseru, "malah pada bengong. Jadi jalan-jalan, nggak, sih?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Nomad's Last Sojourn
Roman d'amour"Jika kamu berkenan, izinkanlah bahuku yang tak seberapa kokoh ini berusaha menopang kesedihanmu." Apakah aku harus mempercayai ucapannya? Dari nadanya, jelas tidak terdengar seperti sebatas janji, melainkan sebuah kepastian. Namun setelah mengetah...