Bantu cek kalau ada typo, ya, guys. ARIGATOOO!!
《》
"Kadang aku sibuk mempertanyakan, kemana perginya semua gundahku saat berada di dekatmu?"
♡♡♡
"Gimana?" Dengan tampang bingung, Eren mencondongkan tubuhnya ke arah Aksa. Bermaksud memperjelas pendengarannya yang mungkin salah menangkap suara.
"Gimana, apanya?" Aksa turut kebingungan. Tak sadar bahwa ucapannya barusan telah menggetarkan perasaan manusia yang duduk di seberangnya.
"Barusan Dokter ngomong apa?"
Aksa terkesiap, menghindari sorot penasaran Eren selama beberapa saat, sebelum akhirnya kembali menatap lebih intens. "Jangan sering minum kopi, nanti lambungmu bermasalah." Aksa menjawab enteng, padahal tahu pasti bukan bagian itu yang butuh diperjelas.
"Setelahnya, Dok," Aksa terdiam, seolah menimbang sesuatu. Namun, tatapan mereka enggan melepaskan satu sama lain.
"Di luar jam kerja saya, panggil Aksa aja." Jawaban yang menyimpang jauh dari pertanyaan. Aksa mengalihkan pembicaraan alih-alih mengulang perkataan yang tadi.
Di sisi lain, Eren menekan rasa penasarannya. Jelas sekali pengalihan Aksa menandakan bahwa pria itu menolak untuk mengulang kembali ucapannya. Eren tak mau salah mengartikannya sebagai kekhawatiran. Bagaimana pun, Aksa dan dirinya hanyalah orang asing yang dipertemukan secara tak sengaja. Apakah orang asing makan bersama? No big deal. Setelah pulang ke rumah masing-masing, hidup pun berjalan masing-masing.
"Nggak bisa. Dokter kan lebih tua," gadis itu menarik diri, kembali memposisikan tubuhnya agar duduk tegap.
"Memang usiamu berapa?"
"22, Dokter?" Tanpa berusaha menutup-nutupi, Eren to the point saja.
"26." Aksa menggigit pipi bagian dalamnya, pikirannya mengambil alih. "Panggil "Mas" aja, kalo gitu."
Eren mendelik, namun setelahnya justru berkata "Oke." Eren sebetulnya tak suka dan merasa sedikit aneh saat membayangkan bibirnya memanggil 'Mas' pada Aksa, namun sungguh ia sedang tak bernafsu membantah.
Kalau boleh jujur, pikirannya masih terganggu dengan perkataan Aksa yang tadi. Namun saat mengamati mimik wajah Aksa yang biasa saja, sepertinya pria itu mengucapkannya spontan. Tak ada maksud lain dari kata-katanya. Mungkin formalitas semata. Seperti seorang dokter yang memperingatkan pasiennya agar menghindari hal-hal yang menyebabkan datangnya penyakit. Eren harus mulai berhenti overthinking tentang itu.
"Coba!" Celetukkan Aksa membuat dahi Eren berkerut. Kemudian sebelah alisnya terangkat, seolah bertanya "Coba apanya?" Sinyal tanya itu ditangkap jelas oleh Aksa, sehingga pria itu langsung menjawab dengan sedikit penekanan, "Coba panggil "Mas" ke saya."
Seharusnya mudah saja kan bagi Eren untuk bilang 'Mas Aksa', tapi kini ia malah gagu. Memanggil Aksa dengan embel-embel 'Mas' seperti sebuah masalah besar yang harus dihindari. Pipinya mendadak memanas, menampakkan rona kemerahan di kulit putihnya. Perasaan aneh yang sebelumnya tak pernah ada. Eren menepis praduga, memastikan bahwa rasa itu muncul karena minimnya interaksi antara ia dan makhluk yang disebut laki-laki.
Eren terbilang jarang sekali berinteraksi dengan laki-laki, kecuali menyangkut hal penting seperti dengan sekretaris dan supirnya. Sejak dulu orang tuanya selalu membatasi pergaulannya dengan laki-laki. Namun meski tidak dibatasi pun, Eren tau batasannya sendiri. Ia bahkan tak tertarik menjalin hubungan asmara saat sekitarnya sedang sibuk akan hal itu. Eren merupakan sosok yang workaholik, setidaknya sebelum peristiwa naas yang menimpa keluarganya terjadi. Meski ia tak menyukai pekerjaannya, namun Eren merupakan sosok yang bertanggung jawab dan berprinsip. Ia bersikap totalitas pada apa yang dikerjakannya agar mampu memberikan hasil terbaik.
Salah satu keuntungan terlahir menjadi seorang Boden adalah tak banyak pria yang berani mendekatinya. Jangan salah, Eren bukannya tak menarik atau tipe introvert yang pemalu dan hobi menunduk kalau jalan, justru sebaliknya. Meski minim bicara, Eren tetaplah terlampau outstanding, sehingga para lelaki dibuat insecure duluan sebelum berani mendekatinya. Tapi bukan berarti belum pernah ada sama sekali yang mencari peluang mendekatinya. Beberapa anak kolega bisnis ayahnya kerap kali mencoba peruntungan menaklukkan hatinya, namun mereka selalu gagal. Eren sama sekali tak tertarik berhubungan selain demi profesionalitas semata.
Dan sekarang, sekadar berucap 'Mas Aksa' harusnya bukan apa-apa. Namun, ia berusaha mewajarkan jika nantinya ia mengalami tremor pita suara. Ya, pasti karena jarang bicara dengan cowok. Pasti! Pasti itu alasannya.
"Iya, mm.. ma.. Mas," sepertinya bukan hanya bergetar, lebih parah dari itu, bicaranya justru terdengar gagap dan tersendat. Memalukan sekali. Harusnya sekarang ia sembunyi di bawah meja.
"Yang bener, Eren! Mas apa? Kok malah gagap, gitu," si cowok malah seperti tak peka sama sekali kalau Eren sedang gugup. Sangat -garis bawahi, sangat gugup-. Atau Aksa sebenarnya menyadari kegugupan Eren dan malah semakin gencar mempermainkannya dengan sengaja.
Dan tadi pria itu memanggilnya apa? Eren? Astaga! Bencana apa lagi yang menimpa hati Eren. Seumur hidupnya, ia tak pernah memperkenalkan diri di depan umum dengan nama itu. Orang luar mengenalnya sebagai Levi, Leviana Boden. Dari mana pria ini tahu nama kecilnya? Mimpi apa gue bisa ketemu ni cowok! Tatapan jenaka Aksa semakin meyakinkan Eren kalau saat ini ia sedang dipermainkan. Cowok itu jelas sengaja!
"Mas Aksa! Udah! Udahan makannya, tolong antar saya pulang." Setelah pergolakan batinnya, akhirnya kata itu terucap secepat kilat. Meski saat bicara, Eren tak memandang langsung ke arah lelaki itu. Tapi yang jelas, kini ledakan tawa Aksa terdengar jelas. Eren mencebik saja, tak lupa dua tangannya bersilangan di depan dada.
"Ngambek?" Tanya Aksa di sela tawanya yang mulai surut.
"Nggak!" Eren ternyata masih kekeh tak mau menatap Aksa. Menjuruskan pandangan ke arah dua mangkuk kosong di atas meja.
"Oke sorry-sorry, tadi kelepasan. Abisnya ekspresimu lucu." Aksa menyugar rambut berponinya yang mirip dengan Christopher Briney, kemudian mengusap kasar wajahnya agar sisa kikikannya segera berhenti. Eren tentu menikmati adegan tersebut sambil menggigit bibir bawah, mana mungkin ia menyia-nyiakan pemandangan gratis seindah itu.
"Mm.. Mas.. Anu, Mas tau dari mana nama kecil saya?"
Kini Aksa benar-benar sudah berhenti tertawa. Dengan tenang, ia berucap. "Waktu asistenmu datang bawain tas ke RS. Aku denger, dia panggil kamu begitu."
"Panggil Levi, aja. 'Eren' itu cuma boleh dipake di rumah sama orang-orang terdekat aja. Orang awam panggilnya Levi."
Air muka Aksa berubah, entah mengapa terdesak rasa kesal saat Eren mempertegas posisi mereka sebagai orang asing. Lagi pula, ini pertama kalinya Aksa menyebut nama Eren. Bibirnya kontan menyukai nama panggilan kecil gadis itu. Ia tak berniat mengubah. Kalau pun ada yang perlu diubah, mungkin bukan cara memanggilnya. Tapi status mereka, dari awam menjadi lebih dekat. Bukankah lebih make sense?
"Nggak bisa, udah terlanjur panggil 'Eren'. Kalo memang nama itu cuma buat orang terdekat, solusinya ya cuma satu. Kita pdkt aja!"
________________________________________
Vote, share, and say something in the comment. Don't be a silent reader, please!😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Nomad's Last Sojourn
Romance"Jika kamu berkenan, izinkanlah bahuku yang tak seberapa kokoh ini berusaha menopang kesedihanmu." Apakah aku harus mempercayai ucapannya? Dari nadanya, jelas tidak terdengar seperti sebatas janji, melainkan sebuah kepastian. Namun setelah mengetah...