Bantu cek kalau ada typo, ya, guys. ARIGATOOO!!
《》
"Whatever the problem, It'll be solved with a cup of coffee."
♡♡♡
"Mau makan apa?" Suara bariton dari balik roda kemudi, memecah keheningan mencekam di dalam mobil BMW yang tengah menembus kepadatan lalu lintas Surabaya.
"Di mana-mana yang ngajak yang nentuin tempat, bukan malah nanya. Yang diajak mah ngikut aja." Eren menjawab sekenanya. Malas sekali menanggapi Aksa yang lama-lama makin aneh saja sifatnya.
"Saya kan menyesuaikan kamu. Barangkali setelah berhari-hari nggak bisa buka mulut, sekarang kamu pengen makan sesuatu." Lampu merah menyala, Aksa berhenti di barisan terdepan penunggu setia lampu hijau. Berhubung lampu masih merah, ia menyempatkan diri menoleh pada perempuan yang sibuk menggigiti kuku di sampingnya. "Hm, gimana?"
"Terserah Dokter, aja." Sebetulnya Eren paling kesal dan malas kalau disuruh mengulang perkataan lebih dari satu kali. Buang-buang tenaga. Dan tentu berhadapan dengan Aksa adalah salah satu cara menguras tenaga paling ampuh. Sekarang ia betulan lapar.
"Ya udah, kita ke restoran sea food aja."
"Aduh, saya nggak suka sea food, Dok." Eren merengek. Ia memang tak suka sea food sejak dulu, terlebih setelah tahu dirinya alergi udang. Rasanya dia jadi tak berselera mencicip hidangan laut yang lain juga.
"Ya udah makanya buruan, mau makan apa?" Terlibat perdebatan sengit yang sebenarnya begitu sepele, keduanya sampai tak sadar bahwa lampu sudah hijau, hingga terdengar bunyi klakson bersahutan dari belakang kendaraan yang mereka tumpangi.
Eren menepuk pundak Aksa cukup keras, tepukan peringatan sekaligus penyaluran amarah. "Dok! Udah ijo, tuh, lampunya. Menunya dipikir nanti aja, deh, sambil jalan."
"Saya nggak akan jalan kalo kamu belum nentuin pilihan." Aksa terlihat tenang meski bisingnya klakson tak henti-hantinya meraung.
"Egois banget, sih! Kasian orang-orang yang di belakang, tuh, pada nungguin. Jangan bercanda, ah, Dok!" Raut panik Eren terlihat begitu menghibur bagi Aksa, hingga senyum miring pun semena-mena terbit di bibirnya.
Aksa mengedikkan bahu, nampak tak acuh. Pandangannya kembali lurus ke depan, kedua tangan dilipat di belakang kepala. Posisi yang benar-benar menguji kesabaran Eren. "Keputusan ada di kamu."
"Oke, ya udah! Mau makan ramen aja! Buruan jalan!" Gestur tangannya membentuk kepalan erat. Jika ia tak ingat jasa Aksa, mungkin kepalan itu sudah mendarat di pipi mulus pemilik wajah tampan yang sedang menampilkan cengiran meledek di sebelahnya.
"Kalo kamu jawab dari tadi, kita nggak akan bikin macet."
...
"Mau pesen apa?" Tanya Aksa mengudara setelah mereka mengambil tempat di salah satu meja restoran Jepang Halal.
"Tadi kan udah bilang. Saya mau makan ramen, Dokter Aksa."
Aksa mengulum senyum menatap wajah masam Eren yang terlihat lelah menghadapi dirinya. "Barangkali berubah pikiran atau mau pesan yang lain. Memangnya nggak butuh minum?"
"Saya mau latte es, aja."
Eren menaruh kedua tangan dengan jemari yang saling bertaut di atas meja. Berusaha fokus menikmati view restoran yang bernuansa modern. Mati-matian mengedarkan pandang ke mana saja, asal tak menatap lelaki mode di luar jam kerja yang duduk di seberangnya. Sebelum turun dari mobil, lelaki itu membuat Eren menjerit heboh dengan membuka kemeja yang ternyata di baliknya terdapat kaos polo berwarna hitam.
Jadilah pria itu kini terlihat santai dengan kaos polo hitam dan celana bahan abu-abu gelap. Eren pernah dengar seseorang berkata bahwa siapa pun yang mengenakan pakaian hitam, maka tingkat kecantikan atau ketampanannya akan meningkat. Eren enggan mengakui, tapi hal itu benar adanya jika diterapkan pada Aksa. Mata gue yang nurut dong, nggak usah curi-curi pandang. Malu-maluin, lo! Kayak nggak pernah liat cowok ganteng aja!
"Kamu beneran udah nggak ada yang sakit?" Aksa kembali memastikan, ia ragu gadis di hadapannya itu baik-baik saja. Pasalnya setelah ia menyebutkan pesanannya pada pelayan resto, ia mendapati Eren memaksakan mata agar tertutup hingga timbul kerutan pada dahi si gadis. Aksa menyimpulkan bahwa Eren sedang menahan sakit di tubuhnya.
"Eh, nggak papa. Serius." Eren berkilah, mengacungkan telunjuk dan jari tengah bersamaan. "Lagian udah berapa kali, sih, nanyain itu terus. Dibilang nggak papa, juga."
"Ya, abisnya gerak-gerik kamu sejak tadi kayak nahan sakit." Aksa memicing, memastikan Eren tidak sedang menipunya.
"Dokter khawatir sama saya?" Eren menggigit bibir bawahnya, menyesal sudah mengatakan hal yang seketika membuat atmosfer mendingin.
"Terserah apa asumsimu." Eren sedikit bersyukur, ternyata pertanyaannya tak ditanggapi dengan serius oleh Aksa. Tapi entah mengapa wajahnya menjadi suram, apa mungkin Eren mengharap jawaban lain?
Beberapa saat tertelan kesunyian dengan keduanya yang sibuk mengedarkan pandang ke mana pun asal tak saling menatap, pesanan mereka dihidangkan. Setelahnya, mereka masih sibuk saling mendiamkan, suara yang terdengar hanya mangkuk dan sumpit saling beradu. Sampai akhirnya, suara Aksa kembali menyusup dalam sunyi saat bibir Eren hampir menyentuh sedotan.
"Emangnya enak, makan ramen minumnya latte?" Entah memang banyak orang yang makan ramen lalu setelahnya minum kopi atau bagaimana, namun yang jelas Aksa baru kali ini melihatnya. Ia sendiri memesan ramen dan jus jeruk. Setelah makan ramen, dahaga di tenggorokan tentu bisa diatasi dengan segarnya jus jeruk yang sedikit asam. Tapi latte? Aksa tak pernah berpikir untuk meminumnya setelah menyantap ramen.
"Enak aja, sih. Tergantung selera. Lagipula, menurut saya, segala masalah bisa diatasi dengan kopi." Aksa tetap mengawasi gerakan Eren saat gadis itu melanjutkan sesi menyeruput latte yang barusan terjeda oleh pertanyaannya.
Aksa menopang dagu dengan tangan kanannya, pandangannya fokus pada Eren yang seketika berhenti makan karena merasa terganggu oleh tatapannya. "Ngapain liatin saya? Lanjut makan, Dokter. Mubadzir itu kalo nggak dihabisin."
Eren agak terkejut saat Aksa langsung menyentuh kembali sumpitnya dan lanjut makan tanpa mendebat. Sekarang justru Eren yang melongo, Aksa melahap mie dan menyeruput kuahnya langsung dari mangkuk hingga tandas tak bersisa.
"Kok malah jadi kamu yang liatin saya. Awas naksir, lho." Eren semakin jengkel saat mendapati senyum miring di wajah Aksa setelah mengucapkan kalimat tersebut dengan begitu percaya diri. Ia lanjut menyantap ramennya dengan bibir mengerucut. "Jangan keseringan ngopi, nggak baik buat lambung. Saya nggak mau kamu sakit lagi."
________________________________________
Vote, share, and say something in the comment. Don't be a silent reader, please!😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Nomad's Last Sojourn
Romance"Jika kamu berkenan, izinkanlah bahuku yang tak seberapa kokoh ini berusaha menopang kesedihanmu." Apakah aku harus mempercayai ucapannya? Dari nadanya, jelas tidak terdengar seperti sebatas janji, melainkan sebuah kepastian. Namun setelah mengetah...