14. Fakih Azhar

3 1 1
                                    

Bantu cek kalau ada typo, ya, guys. ARIGATOOO!!

《》

"Setelah pertemuan ini, aku sadar. Dunia memang sempit!"

♡♡♡

"Lo Fakih, kan?" Yang disebut-sebut sebagai 'Fakih' justru sekadar mengerjap, belum memberi tanggapan.

Pria yang sedang menggenggam kamera itu seakan 'bodo amat' melihat dua gadis di hadapannya sedang berdebat karena ulahnya. Tapi kalau dibilang ulahnya pun, sejak tadi dia hanya sibuk memotret sekitar saja. Kemudian, dua gadis itulah yang tiba-tiba menodongnya.

"Aduh, Ra. Udah, dong. Lo pasti salah orang. Buruan cabut aja, yuk. Sebagai temen lo, gue ikutan malu kalo gini." Eren meraih pergelangan Nara, berusaha menarik sahabatnya itu untuk segera menjauh.

Eren benar-benar sudah tidak punya muka menghadapi pria itu. Meski bukan dia yang berulah, tapi rasa malu turut menjalari ubun-ubunnya. Yang ditarik awalnya sudah ikut berjalan, namun suara pria itu menginterupsi lebih dulu sebelum mereka beranjak lebih dari dua jengkal.

"Maaf, kalau saya nggak salah ingat, kamu Nara, ya?" Sekarang Nara tahu, rupanya lelaki berkacamata itu sejak tadi diam saja karena sedang berusaha mengingat dirinya.

Setelah pria yang dipanggil 'Fakih' itu terdeteksi mengingatnya, Nara mengembangkan senyum. Buru-buru ia merenggut lepas pergelangannya dari genggaman Eren, kemudian kembali mendekat ke arah lelaki yang masih terlihat canggung padanya.

"Tepat sekali! Akhirnya lo inget gue. Eh, kalo yang ini masih inget, nggak?" Telunjuk Nara mengarah pada Eren yang masih belum berinisiatif mendekat.

"Leviana?" Suara pria itu jelas mengandung keraguan, apalagi kernyitan di dahinya yang semakin mempertegas jika ia tengah berusaha keras, mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengingat sosok yang ditunjuk Nara.

Nara manggut-manggut, tak lupa memberi dua jempol atas tebakan lelaki yang masih belum membenarkan jika ia merupakan seseorang yang diketahui Nara bernama 'Fakih'.

"Jadi, lo beneran Fakih, kan?" Sekarang giliran lelaki itu yang mengangguk, memberi pembenaran. "Makin cakep aja, lo. Gue jadi pangling. Tapi pas liat bekas jahitan di jidat lo, gue yakin, deh, kalo lo Fakih."

Nara menyikut lengan Eren saat menyadari kawannya itu sudah berdiri sejajar di sampingnya. "Bener, kan, dia Fakih? BTW, gue lebih malu kalo nggak inget sama temen sendiri, sih, dari pada salah panggil orang." Wajah meledek Nara begitu remas-able di mata Eren saat ini. Namun Eren tak menanggapi cemoohan Nara, fokus memandangi bekas jahitan di kening lelaki itu.

Sekarang Eren mengingat pria itu. Fakih Azhar. Teman satu prodinya dulu. Jangan salahkan Eren jika barusan ia tak mengenali Fakih. Pasalnya, pria itu sudah banyak berubah —dari segi fisik—. Wajahnya kini ditumbuhi kumis, rambutnya dicukur ala-ala Korea. Eren ingat sekali, bahwa dulu Fakih gondrong. Lelaki itu selalu mengucir rambut gondrongnya tiap ke kampus. Padahal baru sekitar setahun tak bertemu, tapi Eren rasa perubahan Fakih cukup signifikan.

Tapi bukankah keterlaluan jika Eren sampai tak mengenali Fakih? Sesuatu yang wajar jika Nara melupakan sosok Fakih, karena memang mereka jarang bertemu akibat berbeda prodi. Namun, nyatanya justru Nara yang lebih dulu me-notice keberadaan Fakih dibanding Eren.

Masalahnya, Eren tak pernah mengamati secara detail wajah orang asing yang ditemuinya di tempat umum. Selain karena tak sopan, ia merasa hal semacam itu hanya buang-buang waktu. Tetapi setelah Eren memperhatikan wajah Fakih dengan seksama, ia tersadar jika bekas jahitan di dahinya itu memang lumayan kentara.

Pikiran Eren terlempar jauh pada kejadian beberapa tahun lalu, saat ia masih menjadi mahasiswa semester 1 jurusan manajemen. Ia akui bahwa ia merupakan sosok yang cuek, tak pernah juga merasa memiliki previlege atas nama ayahnya. Namun, jangan sesekali mengusik Eren. Ia benci sekali ketenangannya diganggu. Dan tak bisa dipungkiri, jika tanda yang terpampang nyata pada dahi lelaki yang hingga kini masih canggung saat menatapnya itu adalah buah dari terusiknya ketenangan Eren. Fakih sendiri hanyalah korban dari kemurkaan Eren yang salah tempat. Itulah sebabnya Eren juga sedikit canggung saat ini. Ia masih merasa bersalah atas kejadian itu.

Pada waktu itu lift kampus sedang macet, kemudian seluruh mahasiswa diimbau untuk menaiki tangga. Semua mahasiswa berbondong-bondong mencapai tangga lebih dulu. Berdesakan hingga tak ada ruang antar tubuh yang tersisa. Eren sengaja memposisikan diri di pinggir dekat railing. Awalnya suasana damai-damai saja. Meski sempit, tapi semua orang tertib dan tak saling senggol sana-sini.

Hingga akhirnya Eren merasakan pijakan kuat di atas kakinya. Saat menoleh ke samping, ia mendapati seorang mahasiswa perempuan yang tak ia kenal menginjak kakinya tanpa rasa bersalah. Orang itu seperti tidak merasakan keberadaan kaki Eren di bawah sepatunya. Perempuan itu justru sibuk berbincang dengan keras bersama segerombol temannya. Eren yang geram sekaligus menahan sakit berusaha untuk bicara baik-baik padanya. Namun sekali dua kali panggilan Eren tak mendapat sahutan.

Di sinilah insiden bermula. Eren yang kehilangan kesabaran, langsung menghentakkan kaki lepas dari pijakan mahasiswa yang kini sok terkejut itu. Tak hanya sampai di situ, melihat perempuan yang barusan menginjak sepatunya hanya terkejut dan menoleh sebentar, kemudian berpaling lagi untuk kembali mengobrol dengan sekawanannya, sama sekali tak ada niat untuk minta maaf semakin menyulut kemarahan Eren. Dengan sekuat tenaga Eren mendorong perempuan itu sampai oleng dan rubuh pada tubuh lain di belakangnya. Begitu seterusnya, hingga lantai paling bawah. Dan di sanalah —sialnya— Fakih berada.

________________________________________

Vote, share, and say something in the comment. Don't be a silent reader, please!😊

Nomad's Last SojournTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang