Bantu cek kalau ada typo, ya, guys. ARIGATOOO!!
《》
"Kamu sibuk memperhatikan kebahagiaan orang lain sebab merasa setiap orang berhak bahagia, hingga terkadang lupa bahwa dirimu adalah salah satunya."
♡♡♡
"Halo, Ra." Sapanya pada sosok di seberang yang langsung mengangkat telepon pada panggilan pertama.
"Halo, Vi! Levi! Ini beneran Levi, kan?" Pekikan Nara membuat Eren menjauhkan telinga dari ponselnya.
"Iya, ini gue, Ra. Nggak usah teriak-teriak, dong." Nara diam saja. Dari tempatnya, Eren bisa mendengar suara grasak-grusuk seperti pergesekan antar permukaan benda. "Lo lagi ngapain, Ra?"
"Nggak usah nanya-nanya lo! Gue masih kesel sama lo, tau nggak? Kalo mau pergi, tuh, bilang-bilang. Gue telfonin lo juga bukan sekali dua kali, ya, Vi. Dan lo ga ada inisiatif angkat panggilan gue sama sekali. Lo bahkan nggak mau sekedar nge-chat gue buat ngabarin kondisi lo." Nara terdiam sejenak, mengambil napas dalam. Susah payah menelan ludahnya sendiri saat menahan isakannya.
Isakan kecil yang berusaha disembunyikan sahabatnya itu, ternyata masih sanggup tertangkap gendang telinga Eren. Eren hanya bisa diam, menyadari bahwa niatnya menjauhkan diri dari orang-orang yang ia sayangi ternyata justru menyakiti mereka. Eren akui, ia egois. Mencoba mencari kebahagiaannya sendiri, hingga lupa betapa banyak orang yang khawatir dan bersedih dibuatnya.
"Gue baru tau soal keluarga lo, seminggu setelah pemakaman. Waktu itu gue baru pulang dari Singapur. Tadinya gue mau ngabarin berita baik sekaligus berterima kasih sama lo, karena operasi nyokap gue berhasil, Vi. Tapi pas sampe Indonesia, gue dikabarin soal kejadian itu. Gue nggak tau harus gimana, Vi. Gue telfonin lo berkali-kali tapi nggak nyaut. Bahkan gue datengin rumah lo, tapi Bu Darma bilang lo pergi dan dia nggak tau lo pergi ke mana." Air mata Nara rupanya tak mampu dibendung lagi. Ia sesenggukan hingga napasnya tersengal, mengingat betapa khawatirnya ia pada Eren kala itu.
Nara berniat mendatangi Eren dengan membawa berita baik mengenai keberhasilan operasi kanker kelenjar getah bening ibunya, namun teman baiknya itu justru tengah dirundung duka. Segala cara ia tempuh untuk dapat menjangkau Eren, namun Eren seolah tak memberi celah untuk ditemukan. Nara kalang kabut, merasa bersalah tak berada di sisi Eren pada saat-saat terberat dalam hidup sahabatnya itu.
"Gue taunya telat banget, ya, Vi. Bahkan pas di Singapur, gue kayak nggak inget lo. Gue nggak coba telfon atau ngabarin lo. Gue ngerasa jadi orang paling bego dan egois gara-gara nggak ada di samping lo di saat lo terpuruk. Lo pasti sedih dan berduka banget, kan, Vi? Lo pasti sering banget nangis, kan? Lo pasti butuh pelukan, kan, Vi?" Dengan suara yang mulai tersendat-sendat, Nara tetap melanjutkan bicaranya. Panjang lebar, tak menyisakan luang bagi Eren untuk menanggapi. Eren sendiri juga tak sadar sejak kapan derai air mulai berjatuhan dari sudut matanya.
"Gue inget banget, dulu lo pusing mikir skripsi sampe nangis-nangis. Terus ndusel-ndusel gue yang sama-sama mumet, minta dipeluk." Nara menyeka air matanya, memberi kekehan kecil di ujung kalimat. "Gue mau marah sama lo yang tiba-tiba ngilang nggak ngabarin gue. Tapi gue nggak bisa, Vi. Gue juga nggak berhak bilang lo egois, di saat gue sendiri egois. Gue juga nggak ngabarin lo pas di Singapur. Gue harusnya ada di samping lo waktu itu. Meluk lo... kayak dulu... I'm sorry, Vi.... Tapi tolong kasih tau gue, sekarang lo di mana? Gue pengen peluk lo, Vi."
Bukan balasan yang didapat Nara, namun justru tangis Eren yang makin membludak. Nara yang mendapati sahabatnya terisak, turut meluapkan seluruh air matanya. Kini yang terdengar oleh mereka sebatas suara sedu yang saling bersahutan. Hingga lima menit berlalu, belum ada yang membuka suara. Sibuk menormalkan napas masing-masing, agar sanggup berbicara dengan lancar.
"Bukan salah lo, Ra. Jelas kesembuhan nyokap lo yang utama. Kalo gue ada di posisi lo, gue juga pasti ngelakuin hal yang sama, kok. Lagian sekarang gue udah belajar buat ikhlas. Gue tau Tuhan sayang mendiang keluarga gue, makanya Dia ambil mereka duluan." Eren tersenyum, berharap Nara mampu melihat senyuman itu, agar bisa berhenti menangis karenanya. Eren bersalah, sudah melibatkan banyak orang dalam dukanya.
"Gue bakal stop nyalahin diri sendiri, kalo lo kasih tau gue sekarang, lo ada di mana, Vi?" Eren tahu kebiasaan Nara yang tak bisa didebat. Setiap kata yang keluar dari mulut Nara, meski diucapkan dengan nada yang biasa saja. Namun terdapat penekanan yang jelas harus dikabulkan.
"Gue... di Jogja. Nggak tau, deh, kalo besok." Eren menyentuh hidungnya, menyusut sisa-sisa ingus akibat menangis tadi.
"Maksudnya gimana?" Nara mengernyit, jelas tak paham maksud perkataan Eren yang penuh teka-teki.
"Setelah cabut dari rumah, gue pindah-pindah. Kemarin abis dari Surabaya. Terus gue bosen, pergi lagi nggak tau ke mana, pas capek nyetir, gue istirahat. Dan ternyata udah sampek Jogja. Ya, jadi sekarang gue stay di Jogja, gara-gara capek nyetir aja."
"Gila lo! Udah di situ aja! Nggak usah cabut ke mana-mana dulu. Besok gue samperin, shareloc, buruan."
"Nggak usah, Ra. Gue ng..."
"Gue tutup telfonnya, mau packing. Sampek nanti malem lo nggak kirim alamatnya, nggak usah lo anggep gue temen lagi! Bye!"
"Tapi, Ra... Ra... Halo... Astaga, dimatiin." Sesuai dugaan awal, Nara pasti akan begini. Senyum Eren terkembang, sebenarnya ia tentu sangat senang akan rencana Nara menyusulnya. Hanya saja, ia takut merepotkan Nara. Ia tak pernah memiliki teman sebaik Nara selama hidupnya, sebelum bertemu Nara.
________________________________________
Vote, share, and say something in the comment. Don't be a silent reader, please!😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Nomad's Last Sojourn
Romance"Jika kamu berkenan, izinkanlah bahuku yang tak seberapa kokoh ini berusaha menopang kesedihanmu." Apakah aku harus mempercayai ucapannya? Dari nadanya, jelas tidak terdengar seperti sebatas janji, melainkan sebuah kepastian. Namun setelah mengetah...