Bantu cek kalau ada typo, ya, guys. ARIGATOOO!!
《》
"Cold outside yet so warm inside."
♡♡♡
Dengan amarah yang masih membumbung tinggi, Eren mengemudikan mobilnya tak tentu arah, masih enggan kembali ke apartemen. Suara-suara pergunjingan itu kembali terngiang di kepalanya. Tatapan Eren menjadi kosong, seluruh atensi gadis itu berpusat pada isi otaknya yang sejak tadi berisik oleh setiap emosi tak terungkap. Perasaannya campur aduk. Genggamannya pada roda kemudi mengerat bersamaan dengan pijakan pada pedal gasnya semakin dalam.
Dalam keadaan berkendara dengan kecepatan tinggi, Eren sengaja menerobos lampu merah. Kemudian matanya terbelalak ketika ia melihat seorang wanita yang menggandeng balita berjalan ke tengah jalan untuk menyeberang. Jarak yang terlampau dekat membuatnya menyadari bahwa meski ia mengerem saat itu juga, kedua orang di hadapannya tak akan terhindar dari hantaman mobilnya. Tanpa ragu lagi, Eren membanting stir ke kiri. Posisi mobilnya kini berputar arah, sehingga sisi kanan Maserati-lah yang bersinggungan langsung dengan pagar beton. Kaca depan mobil hancur, beberapa dari pecahannya menggesek dan menusuk pelipis serta pipi gadis itu. Eren kehilangan kesadaran setelah netranya yang mengabur mendapati ibu dan balitanya selamat.
Saat kesadarannya pulih, ia mendapati dirinya sudah berada di dalam ambulans dengan seorang pria jangkung tengah duduk di sampingnya. Pria itu mengenakan snelli putih lengan panjang, stetoskop terkalung di lehernya. Sementara tangannya sibuk mencoba memasangkan kanula pada kedua lubang hidung Eren yang terbaring di brankar.
"Ada yang sakit?" Tanya pria itu setelah berhasil memasangkan kanula dan menyadari bahwa Eren sudah siuman.
Eren mencoba menggerakkan tangan untuk menyentuh pelipisnya yang berdenyut nyeri. Namun nyatanya ia tak bertenaga sama sekali, bahkan saat ia mencoba bicara saja pipinya yang turut bergerak terasa begitu perih.
"Nggak usah banyak gerak kalau sakit. Udah tidur aja," cara bicara pria itu terdengar sangat ketus, namun Eren menurut. Ia memejamkan matanya sejenak, namun rasa kantuk tiba-tiba datang dan membuatnya jatuh tertidur.
...
Eren terbangun, hal pertama yang ia sadari adalah fakta bahwa saat ini ia tak lagi berada di dalam ambulans melainkan di sebuah ruangan berwarna putih yang ia tahu pasti adalah bangsal rumah sakit. Kepalanya masih terasa pening, saat ia berusaha bangkit untuk duduk bersandar. Akan tetapi, ia merasa nyeri di tubuhnya tak separah saat di ambulans tadi. Ia mulai bisa menggerakkan sudut bibirnya meski masih terasa ngilu dan kaku. Ia yakin, wajahnya kini pasti dipenuhi luka dan goresan kaca. Masih dalam ringisan kecilnya, seorang pria yang ia tahu adalah orang yang sama yang duduk di sampingnya saat di dalam ambulans memasuki ruangannya bersama seorang perawat.
"Mau senderan?" Belum sempat terjawab, pria itu lebih dulu berjalan cepat ke arahnya dan menaruh telapak tangan kiri di tengkuk bagian belakangnya dan telapak tangan kanannya menumpu lipatan lengan dan bahunya. Membetulkan posisi bantal agar gadis itu bisa bersandar dengan nyaman.
"Thanks." Pria itu mengangguk, kemudian memeriksa detak jantungnya dengan stetoskop. "Apa Anda tau kondisi mobil saya? Terus sekarang mobil saya di mana? Udah dibawa ke bengkel, belum?" Ia kembali berdesis ngilu akibat luka di pipinya ikut tertarik saat ia bicara.
Pria itu berdecak. "Kondisimu seperti ini dan kamu masih sempat mikirin mobilmu? You must be joking." Dokter nyebelin! Cara pria itu bicara tidak seperti seorang dokter pada pasiennya. Sangat tidak sopan! Arah mata Eren kemudian tertuju pada ID card yang menggantung di saku kiri snelli sang dokter. "dr. Akhtar Aksa"
"Saya serius." Tangan yang semula bersiap memasangkan tensimeter pada lengan atas tangan kanannya, kini terhenti. "Saya serius soal pertanyaan saya barusan. Apa dokter Aksa tau, kondisi mobil saya saat ini?" Tanpa gentar sedikit pun, Eren menatap langsung tepat pada manik mata Aksa. Aksa yang namanya dipanggil terlihat sedikit terkejut, hingga ia sadar bahwa ID card-nya menggantung di saku.
"Mana saya tau? Saya dokter, bukan montir." Aksa melanjutkan pekerjaannya yang tertunda, memposisikan manset di bawah lengan atas Eren, merekatkannya dengan kencang dan mulai memompa hingga manset mengembang. Bibirnya berucap, "Makanya, lain kali kalo lagi emosi, nggak usah sok-sokan nyetir. Apalagi kebut-kebutan," sarat akan peringatan.
Eren membelalakkan mata, tersinggung dengan ucapan Aksa. "Siapa juga yang lagi emosi? Sok tau!" Akibat terpancing emosi, Eren hampir berteriak. Namun, rasa perih mengagetkannya. Ia membuang pandangan ke kiri tepat setelah Aksa mengeratkan manset pada lengannya.
"Diam! Jangan bicara lagi! Lukamu belum kering. Beruntung kamu selamat dan nggak ada luka dalam maupun benturan. Coba kalo, nggak?"
"Harusnya nggak usah. Itu lebih baik." Eren menutup matanya, seolah menegaskan bahwa ia butuh ruang sendiri dan tak ingin diganggu. Aksa yang seolah mengerti maksudnya pun, segera berbalik dan mengajak perawat untuk keluar dari ruangan bernuansa putih tersebut.
________________________________________
Vote, share, and say something in the comment. Don't be a silent reader, please!😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Nomad's Last Sojourn
Romance"Jika kamu berkenan, izinkanlah bahuku yang tak seberapa kokoh ini berusaha menopang kesedihanmu." Apakah aku harus mempercayai ucapannya? Dari nadanya, jelas tidak terdengar seperti sebatas janji, melainkan sebuah kepastian. Namun setelah mengetah...