15. Levi - Perkara Dahi

3 1 3
                                    

Bantu cek kalau ada typo, ya, guys. ARIGATOOO!!

《》

"Saat duduk berdua dengan orang yang menurutku asing, diam adalah emas!"

♡♡♡

"Mesen dulu aja, sambil nunggu. Gue udah nggak tahan, laper banget,"

Rasa lapar yang melanda perut Nara sepertinya sudah tak bisa diajak berkompromi lagi. Tanpa menunggu persetujuanku, dia memanggil pelayan lebih dulu. Nara memang ajaib, saat asyik berbincang tadi, dia seperti tak merasakan lapar sama sekali. Seakan lupa kalau sebelumnya dia merengek memintaku menyegerakan langkah keluar dari monumen dan mencari makanan untuk mengganjal perut.

Aku yang awalnya nggak lapar-lapar banget, justru ikut terkuras energinya saat mendengar Nara terus berceloteh ria dengan Fakih. Belum lagi kami kedatangan sosok lain yang ternyata adalah teman Fakih, namanya Irham. Fakih bilang Irham dulu satu jurusan dengan kami, tapi entahlah, kok aku rasa nggak pernah lihat dia.

Setelah kucoba telaah lagi, mungkin bukan aku nggak pernah lihat. Ternyata memang secuek itu aku pada sekitar, aku bahkan menduga nggak akan tahu Fakih kalau bukan dari insiden dulu itu.

Begitu pesanan kami dihidangkan, Aku dan Nara tak membuang waktu lagi untuk mulai menyantapnya. Awalnya kami sempat ragu, langsung makan saja atau menunggu Fakih dan Irham. Masalahnya, sebelum mengakhiri percakapan, Nara tiba-tiba nyeletuk menawarkan untuk makan siang berempat.

Saat itu entah ada angin apa, aku dan Fakih saling tatap. Tak sampai dua detik, dia langsung memutus kontak mata kami lalu kembali ke kebiasaannya menunduk. Dulu kupikir dia memang anak yang santun dan menundukkan pandangan saat bicara dengan semua perempuan. Tapi aku sempat beberapa kali tanpa sengaja melihatnya bicara sambil menatap lawannya, tak terkecuali perempuan. Bahkan saat bicara dengan Nara tadi, dia berani dengan gamblang memasang tatapan santai.

Sebenarnya dulu beredar slentingan kalau dia cuma nggak berani menatapku. Gosip yang nggak sengaja kudengar, katanya dia takut padaku. Seperti semacam trauma kalau bertatap muka denganku. Bahkan sejak kejadian yang 'nggak disengaja' itu, semua orang jadi mikir aku ini cewek bar bar. Aku, sih, cuek saja. Lagipula nggak memengaruhi nilaiku, buktinya aku bisa lulus cumlaude. Tapi agak berlebihan nggak, sih? Aku nggak sengaja dan sudah minta maaf langsung pada Fakih. Dia pun bilang sudah memaafkan, masa diam-diam dia menyimpan dendam padaku?

Bicara soal ajakan Nara tadi, setelah memutus kontak mata denganku, Fakih menolak usulan itu. Tapi Nara memang manipulatif banget, cara ngomongnya pun susah dicari celanya kalau mau mengelak. Makanya dia jadi pengacara, cocok banget sama mulutnya yang pinter ngomong. Nara terus menerus membujuk Fakih, sampau akhirnya Fakih menyanggupi.

Saat Adzan berbunyi, Fakih dan Irham pamit dulu untuk melaksanakan sholat jum'at. Fakih yang lebih tahu Kota Jogja, memberi saran untuk makan di tempat makan yang kini kusinggahi dengan Nara.

Aku dan Nara yang sudah menahan lapar nggak bisa lagi rasanya kalau disuruh menunggu kedatangan Fakih. Kami menghabiskan makanan nggak ada sepuluh menit. Padahal biasanya bisa sampai 30 menit. Disambi main HP, ngobrol, nonton TV.

15 menit setelahnya, dua laki-laki itu masuk ke resto dan menghampiri meja kami. Wajah mereka terlihat lebih segar, Fakih nggak pakai kacamata. Wajahnya sebetulnya nggak berubah banyak. Hanya tumbuh kumis dan jawline-nya yang makin tegas. Saat aku memandanginya, Fakih mulai berjalan menunduk. Padahal saat di luar, aku lihat dari balik kaca jendela jalannya biasa saja. Pandangannya lurus ke depan. Sampai akhirnya ia mendudukkan dirinya di samping Nara, Irham di sampingku. Dari sini, baru terlihat jelas kalau ternyata wajah Fakih sedikit memerah. Mungkin kulitnya sensitif kena panas matahari.

"Maaf ya, Fakih, Irham. Kami udah makan duluan, habisnya laper banget. Kalian pesen aja." Nara memanggil kembali salah seorang pelayan restoran. Setelahnya, Irham dan Fakih mulai menyebutkan pesanan mereka.

Sambil nunggu pesanan datang, Nara kami mulai berbincang lagi. Mungkin tepatnya mereka, karena aku cuma jadi pendengar saja. Dan tentunya yang paling banyak buka suara adalah Nara. Fakih dan Irham menunjukkan raut muka yang welcome saja mendengar ocehan Nara. Entah mereka beneran senang dengar cerita Nara atau lagi nahan keinginan kabur. I don't know.

Tak berapa lama, Irham menyela. Mau ke kamar mandi. Sekarang kami tinggal bertiga, dengan Nara sebagai pendongeng, Fakih yang menanggapi tipis-tipis, dan aku yang setia jadi pendengar. Baru dua menit Irham meminta diri ke kamar mandi, ponsel Nara berdering.

"Gue angkat telfon dulu, dari kantor. Kalian ngobrol aja, dulu," ucapnya sebelum berlari kecil keluar resto.

Aku dan Fakih yang ditinggal berdua kini disergap keheningan. Tak ada yang memulai pembicaraan. Jujur, aku sama sekali nggak ada ide mau ngomong apa. Dia pun cuma nunduk aja, nggak berniat membuka obrolan denganku. Pramusaji yang mendatangi kami untuk meletakkan pesanan seperti cahaya yang datang walau sekejap. Setidaknya keheningan ini nggak terlalu terasa kikuk, walau cuma kurang dari satu menit.

Setelah pesanannya sudah di atas meja, kukira Fakih akan mulai bicara. Seenggaknya bilang, "aku makan dulu, ya," atau gimana. Ternyata dia masih kekeh menunduk. Lama-lama aku curiga kalau dia beneran trauma melihatku. Jangan-jangan dulu pun dia nggak ikhlas menerima permintaan maafku.

"Fakih," mulutku udah gatal banget ngeliat dia yang menunduk terus seperti mempelai perempuan yang sedang gugup. Lehernya apa nggak kebas?

Setelah kupanggil namanya, akhirnya dia menoleh ke arahku. Lalu bilang, "ya?" Kemudian dia menunduk lagi. "Masih sakit?"

"Gimana?" Rona kemerahan di wajahnya yang tadi sudah memudar, sekarang mulai terlihat lagi. Aku mengernyit, kok bisa, ya? Padahal nggak lagi di luar ruangan dan nggak kontak langsung dengan matahari.

Mengabaikan rona itu, aku kembali fokus pada pertanyaanku yang memang ambigu. Pantesan dia nanya balik. "Mm... itu, dahimu. Masih sakit?" Kataku sambil menunjuk area dahi dekat pelipisku sendiri.

"Nggak, kok. Lagian udah lama banget," dia ngomong gitu pun nggak natap aku. Bola matanya lari ke sana kemari.

Ekspresiku tenang dan datar, kata orang memang tiap saat begitu. Padahal nggak tau aja kalau sedang bersama orang yang dekat denganku, aku bisa mengeluarkan banyak ekspresi. Dengan santai kulontarkan pertanyaan pada Fakih. "Setelah kejadian itu, kamu dendam sama aku?"

________________________________________

Vote, share, and say something in the comment. Don't be a silent reader, please!😊

Nomad's Last SojournTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang