3. Cruel World

16 1 1
                                    

Bantu cek kalau ada typo, ya, guys. ARIGATOOO!!

"They'll never know what it's like, 'till they walk in your shoes."

♡♡♡

Ini bukan kali pertama Eren menginjakkan kaki di Kota Pahlawan. Dulu saat usianya masih 14 tahun, ia pernah dibawa serta oleh ayahnya untuk menghadiri pertemuan bisnis di kota ini. Waktu berlalu begitu cepat, tak disangka saat ini usianya sudah lebih dari kepala dua. Setelah sekian lama, kini ia kembali bertandang ke Kota Surabaya -seorang diri-.

Tak banyak perubahan yang ditangkap sorot mata kecokelatan Eren saat memandangi suasana kota yang baru dikunjunginya kembali setelah delapan tahun lamanya. Ia melajukan kendaraannya dengan kecepatan rendah, kepalanya sibuk menoleh ke kanan dan ke kiri. Merekam segala hal yang dilihatnya dalam memori, berharap dapat menimbun kenangan bersama mendiang keluarganya agar kerinduan tak semakin bertumpuk.

Sekitar satu jam Eren sibuk berkeliling tak tentu arah menjelajahi kota, akhirnya Maserati Ghibli 2017 berwarna hitam miliknya terparkir di salah satu kedai kopi yang terlihat mencolok dan menarik perhatiannya untuk bertandang sejenak. Dari luar, kedai kopi itu tampak sangat terang namun juga teduh di saat bersamaan. Ia turun dari mobil kesayangannya yang telah terparkir sempurna di depan kedai.

Mobil tersebut merupakan hadiah sweet seventeen dari ayahnya. Meski sudah dipakai selama lima tahun, Eren tak berniat untuk menjual atau pun berganti mobil yang baru. Ia sangat menyukai mobil itu, baik dari style mau pun fiturnya. Dan yang paling penting, mobil itu adalah salah satu kenangan terindah dari mendiang ayahnya.

"Selamat datang di kedai kopi kami. Apa yang ingin Anda pesan?" Seorang barista tersenyum ramah saat menyambut Eren dari balik meja bar.

"Hazelnut Latte, please."

"Any order?" Barista yang semula memberi senyum sapaan, kini menatapnya dengan senyum lebih ramah.

"No, thanks," barista lelaki itu kemudian mengangguk dan mulai menyiapkan pesanannya.

Sembari menunggu, matanya tak tinggal diam untuk memandangi suasana kedai. Desain klasik dengan lampu pijar kecil berwarna jingga mengitari tepi langit-langit kedai, namun di tengah ruangan tergantung sebuah chandelier yang lumayan besar sehingga terlihat paling menonjol. Meja dan kursi terbuat dari kayu solid yang diplitur kecokelatan dan mengkilap. Lantainya pun terbuat dari kayu, begitu pula hiasan dinding yang terpajang di sana. Semuanya terdominasi warna cokelat dan putih yang memanjakan mata. Sepertinya ia akan sering berkunjung ke sini selama masih menetap di Surabaya.

"Silakan, kopi Anda sudah siap," Eren terkesiap dan langsung merogoh sakunya untuk mengeluarkan sejumlah uang. Eren memang hampir tidak pernah membawa dompet atau mini bag untuk menyimpan barangnya saat bepergian. Ia lebih suka memasukkan kartu, uang, mau pun ponselnya ke dalam saku. Itulah sebabnya, hampir seluruh pakainnya wajib memiliki saku. "Selamat menikmati, semoga Anda nyaman dan menyukai pelayanan kami." Eren hanya mengangguk, kemudian menduduki salah satu kursi yang memang disediakan untuk satu orang.

"Itu yang lagi viral bukan, sih? Kalau nggak salah, anaknya pengusaha kaya yang pesawatnya jatuh." Suara itu terdengar dari balik punggungnya, namun Eren enggan berbalik untuk sekadar menandai wajah itu. Such a waste of time.

"Iya, bener. Siapa, sih, namanya itu? Boden-boden, gitu lah."

"Leviana Boden bukan, sih? Anak pertamanya."

"Bener! Wah, nggak nyangka bisa satu ruangan sama orang tajir melintir." Eren tak bisa menerka ada berapa orang yang tengah berbincang tentangnya, yang jelas suara berisik mereka terdengar saling bersahutan.

"Yang tajir bapaknya kali, An!"

"Ya, tapi kan udah pada meninggal semua keluarganya. Hartanya ya jelas dia doang lah yang nikmatin. Gimana, sih, lu pada!" Tanpa disadari, tangannya terkepal mendengar ucapan itu. Entah kenapa terdengar seolah Eren menginginkan kemalangan ini terjadi. Seakan Eren senang seluruh keluarganya tiada, sehingga ia bisa menikmati kemewahan harta ayahnya seorang diri.

"Bener juga lo! Pasti dia seneng banget, tuh, dapet rejeki nomplok. Kalau gue jadi doi, pasti gue udah beli satu mall penuh atas nama gue. Terus beli mobil baru, rumah baru, keliling dunia. Pasti seru banget jadi dia, hartanya ga abis tujuh turunan." Eren spontan menggebrak meja. Baru saja ia menyesap setengah dari minumannya, tapi sekarang ia sudah tak berselera sama sekali.

Eren berbalik, kini ia mampu melihat jelas wajah-wajah orang yang sejak tadi sibuk bergunjing tentangnya. Ia memberi tatapan dingin ke arah mereka, kemudian berusaha berjalan santai dan tenang menuju ke meja yang dipenuhi iblis itu.

"Udah pernah ngerasain di posisi gue? Kalau gue bisa milih, mending waktu itu gue juga ada di pesawat. Lebih baik gue juga ikut mati sama mereka, and i don't give a fuck about the money shit! Ditinggal sendiri, kesepian, di dunia yang keji ini dengan limpahan harta nggak bikin gue bahagia. Apalagi kalau seluruh dunia isinya cuma orang-orang kayak lo pada!" Eren merogoh saku kirinya, mengeluarkan sebuah kartu berwarna hitam. Kemudian, ia menyentakkan kartu tersebut di atas meja yang menopang hidangan tiga orang perempuan di hadapannya.

"Nih, ambil aja! Puas-puasin belanja! Gue lupa isinya berapa, tapi gue yakin bisa buat nyumpel mulut sampah lo pada. Pinnya tanggal lahir almarhumah nyokap gue, bisa kalian liat sendiri di internet!" Eren melenggang keluar kedai menuju mobilnya.


________________________________________

Maaf telat upload, lupa ini selasa😁🙏

Vote, share, and say something in the comment. Don't be a silent reader, please!😊

Nomad's Last SojournTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang