"Saking sayangnya pada sahabatku, aku sampai lupa kalau terkadang dia brengsek juga jadi kawan!"
♡♡♡
"Kalian ngobrolin apa? Seru, nih, kayaknya," jiwa kepo Nara emang nggak ada dua. Dia tiba-tiba hadir di tengah-tengah obrolanku dan Fakih yang baru segelintir.
Sebenarnya aku agak kesal, Nara datang di saat yang nggak tepat. Padahal aku sudah sangat menunggu jawaban Fakih. Takutnya sampai sekarang dia masih menyimpan dendam padaku. Dasarnya aku yang gampang overthinking ini, jadi takut dia mengirim pasukan pembunuh berantai untuk menghabisiku.
"Nggak ada yang seru. Balik, yuk!" Aku berseru, sesaat sebelum kursi di sampingku ditarik dan kembali ditempati oleh Irham.
"Lah, kok balik? Fakih sama Irham aja, belum selesai makannya, Vi," aku harus bersabar menghadapi tindakan Nara yang kadang sangat mengundang pukulan. Kalau sudah menemukan teman mengobrol yang asyik, dia pasti jadi sulit diajak mangkir. Keberadaanku pun jadi nggak penting sama sekali.
"Kita belum sholat, Ra. Udah jam satu." Aku mengingatkan Nara mengenai ibadah wajib yang belum kami laksanakan. Aku senang dengan fakta ini, setidaknya dia nggak punya alasan lagi untuk menolak pergi.
"Kalian balik dulu, aja. Aku sama Irham nggak masalah, kok." Kalau saja image yang biasa kupertontonkan bukan sebagai 'pendiam', pasti sekarang aku sudah meneriaki Nara, "tuh, dengerin!" Tapi yang bisa kulakukan cuma diam, menunggu jawaban "iya" dari mulut Nara yang sekarang mengerucut 2cm.
"Ya udah, gini aja, deh. Tadi lo bilang kalo lo hobi fotografi sambil jelajah tempat-tempat wisata gitu, kan? Nah, gue sama Levi, tuh sekarang lagi masa healing. Gimana kalo kita jelajah bareng?"
Aku langsung melempar tatapan, "gila lo?!", pada Nara yang cengar-cengir kesenangan atas idenya sendiri. Kulihat di sampingnya, Fakih tampak menimbang-nimbang usulan itu. Belum sempat Fakih buka suara, Irham lebih dulu menginterupsi. "Aku setuju, tuh! Biar rame. Berdua doang ama Fakih, banyakan diemnya, tuh anak."
Mendengar persetujuan Irham, Nara pun bersorak girang. Namun di sela-sela bising suara Nara, aku masih bisa mendengar decakan kecil dari bibir pria di sampingnya. Kupikir dia berniat menolak, tapi rupanya aku salah. Decakan sebalnya berbanding terbalik dengan kalimat persetujuan yang kemudian ia ungkapkan.
"Sip. Kalo gitu kita contact-an, aja. Coba sini nomormu," Irham merogoh sakunya, namun nihil dia tak mendapati ponselnya di sana. "Simpen di HP-mu dulu aja ya, Ki. HP-ku kayaknya ketinggalan di mobil."
Fakih mendengus, dia mengeluarkan ponselnya dari saku, kemudian menyodorkannya pada Nara. "Eh, iya. Gue lupa kalo HP gue mati, lowbat. Tadi aja gue ngobrol ama bos belum selesai udah keburu koid. Pake punya lo dulu aja, Vi!" Kontan aku melotot. Gila aja! Aku kok jadi kayak babunya gini, sih! Liat aja nanti sampai hotel. Siap-siap tidur di luar, kamu, Ra.
Mau nggak mau, aku terpaksa menyodorkan ponselku. Nara menyimpan nomorku pada ponsel Fakih, begitu pun sebaliknya. "Nah, besok lokasinya lo kirim aja ke Levi. Kalo bisa berangkat pagi aja, biar bisa lama."
Fakih menyahuti dengan 'Oke'nya, sementara Irham mengacungkan dua jempol. Nara sudah ngacir keluar lebih dulu, saat -demi kesopanan- aku berucap, "aku duluan, ya," pada dua orang cowok yang masih duduk anteng di tempatnya. Mereka mengangguk canggung sambil mengamati pergerakanku yang beranjak dari kursi.
...
"Gue boleh nggak, sih, nurunin lo di jalanan? Asli, hari ini lo bikin ubun-ubun gue mau meledak banget, Ra," geramku setelah setengah perjalanan pulang ke hotel telah kami lewati dalam sunyi. Nara asyik melihat-lihat jepretan hasil foto di kameranya. Entah dia nggak sadar atau sok nggak peduli pada wajahku yang sejak tadi suram akibat kelakuannya.
"Loh, loh! Kenapa? Salah gue apaan?" Nara menolehkan wajahnya padaku, timbul kernyitan di dahinya. Aku sendiri enggan menatap balik, takut khilaf mendorongnya paksa keluar dari mobil.
"Lo sok kenal banget, sih. Ya kali baru ketemu udah ngajak jalan bareng. Gila lo!"
"Emang kenal kali. Yang ada lo, tuh, yang aneh. Temen sejurusan kok nggak saling sapa, gitu. Parah lo!" Dia memelototiku, memang dasarnya pandai twisting dan bermain kata. Selalu berhasil menempatkanku di posisi bersalah, sementara dia yang benar.
Biar kujabarkan singkat cerita bagaimana Nara bisa kenal dengan Fakih. Setelah kejadian aku mendorong seorang mahasiswa hingga celaka beruntun, di sanalah pertama kali aku mengenal Fakih. Sosok yang terjerembab dalam posisi tengkurap di ujung tangga. Semua mahasiswa mengerubunginya, membalikkan tubuh Fakih hingga telentang. Ia pingsan, dahinya sobek dan mengeluarkan darah cukup banyak. Saat itu aku panik, meminta tolong pada siapa saja untuk bersedia membantu membopong tubuh Fakih ke dalam mobilku.
Begitu tubuh Fakih telah dibaringkan di dalam mobilku, aku segera tancap gas ke rumah sakit terdekat dengan kampus. Sesampainya di rumah sakit, beberapa perawat membawa Fakih memasuki IGD. Aku duduk di ruang tunggu dengan tubuh berkeringat dingin. Aku tak bisa tenang, tanganku tak henti-hentinya gemetar. Aku menekan nomor Nara dan menghubunginya. Mengabaikan apakah ia sedang berada di dalam kelas atau tidak.
Beruntungnya Nara mengangkat panggilanku, aku memintanya mendatangiku di rumah sakit. Suaranya terdengar panik, ia mengira aku yang tertimpa musibah. Nara langsung mengakhiri panggilan, dan tak berapa lama ia sudah berdiri di hadapanku. Aku menceritakan detail kejadian pada Nara yang justru terbahak menanggapinya. Aku memandang tak percaya, padahal aku sedang berada di posisi segawat ini dan ia malah tertawa kencang di sampingku.
Di tengah kekesalanku yang melebur dengan tawa Nara yang perlahan surut, seorang dokter keluar dari IGD tempat Fakih dirawat. Dokter bilang luka sobekan di dahi Fakih telah selesai dijahit, bahkan Fakih sudah bangun dari pingsan sejak beberapa saat lalu. Dokter menambahkan bahwa tak ada luka dalam serius yang diderita Fakih, sehingga ia bisa langsung pulang hari itu juga.
Setelah melalui beberapa kali tarikan napas panjang, aku memberanikan diri untuk masuk ke dalam kamar tempat Fakih dirawat. Aku segera mengucap maaf dan memintanya untuk tak segan meminta pertanggungjawaban dariku jika dirasa masih ada bagian tubuhnya yang sakit dan perlu diperiksa lebih lanjut. Fakih mengangguk saja, memunculkan inisiatif di kepalaku untuk memperkenalkan diri dan menanyakan namanya.
Saat itu Nara turut memperkenalkan dirinya yang juga disambut baik oleh Fakih. Pada akhirnya, keduanya justru sibuk berbincang seolah sudah lama saling kenal. Keberadaanku di sana jadi terabaikan, namun aku bersyukur karena Nara berhasil mencairkan suasana. Itulah keuntungan berteman dengan ekstrovert seperti Nara, mudah berbaur dan suka bergaul.
Sejak kejadian itu, tak ada kedekatan berarti antara aku dan Fakih. Tiap tak sengaja bertemu di jalan atau di kelas, kami sekedar saling mengangguk pada satu sama lain. Hanya di beberapa hari tepat setelah kejadian saja, tiap bertemu aku masih sering menanyakan kondisinya.
Sekarang seharusnya sudah tak perlu heran lagi, mengapa Nara lebih dekat dengan Fakih dari pada aku, kan? Case closed!
________________________________________
Vote, share, and say something in the comment. Don't be a silent reader, please!😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Nomad's Last Sojourn
Romance"Jika kamu berkenan, izinkanlah bahuku yang tak seberapa kokoh ini berusaha menopang kesedihanmu." Apakah aku harus mempercayai ucapannya? Dari nadanya, jelas tidak terdengar seperti sebatas janji, melainkan sebuah kepastian. Namun setelah mengetah...