Bantu cek kalau ada typo, ya, guys. ARIGATOOO!!
《》
"Kukira tulus, ternyata modus."
♡♡♡
"Kenapa selama di sini, nggak pernah ada yang nanyain masalah administrasi ke saya, ya?" Perawat yang tengah membantunya berbenah sekadar menggeleng sambil berkata,
"Maaf, kalau soal itu saya juga kurang tau. Mungkin lebih jelas kalau tanya langsung ke bagian administrasi langsung, Mbak."
"Oke. Makasih ya, udah bantu beres-beres," perawat itu mengangguk sebelum meninggalkan ruangan. Demi menjawab kebingungannya, Eren menyetujui saran perawat tersebut. Ia berniat menanyakan langsung pada bagian administrasi rumah sakit mengenai biaya pengobatannya.
Setelah dirasa tak ada barang yang tertinggal, Eren bergegas membawa langkahnya keluar dari ruang bekas perawatannya. Baru saja ia berbalik setelah memastikan pintu bangsal yang telah ditempatinya selama lima hari itu tertutup sempurna, Aksa sudah berada di belakangnya. Entah sejak kapan manik mata kecokelatan serupa warna biji kopi itu telah mengamati gerak-geriknya.
"Udah selesai beres-beresnya? Nggak ada yang ketinggalan? Mau pulang sekarang?" Lelaki itu bicara santai, tak sadar bahwa jantung lawan bicaranya kebat-kebit tak menentu, -mungkin karena kaget?-
"Iya, nih. Mau pulang sekarang." Perempuan yang masih berdiri kaku di depan pintu memaksakan senyum kikuknya.
"Saya antar. Shift saya udah selesai, sekalian pulang." Waktu menunjukkan pukul empat, berarti hari ini dokter tampan itu bertugas di shift pagi. Tapi setau perempuan yang jauh dari kata menyukai hal-hal medis, shift pagi seharusnya sudah berakhir sejak dua jam yang lalu. Apa dia nunggu aku, ya? Tanpa sadar ia menggeleng kuat kepalanya. Apa, sih! Pasti ada kerjaan lain yang belum beres. Buat apa juga nunggu aku! Nggak usah geer, dasar aku!
"Kamu kenapa? Hm? Kepalamu sakit? Pusing, ya? Atau masih ada yang nyeri di bagian lain?"
Entah sejak kapan kedua telapak tangan pria yang Eren perkirakan sekitar 30 cm lebih tinggi darinya itu sudah bersarang di atas bahu. Hangat, sarat akan kekhawatiran. Namun, hal ini justru berdampak buruk bagi jantung Eren yang berdenyut semakin kencang. Sungguh tak bisa dibiarkan lebih lama, pikirnya.
"Eh.. Anu.. Nggak papa, kok. Nggak ada yang sakit, Dokter santai aja." Sesegera mungkin tangannya menarik lepas sentuhan sang dokter rupawan.
"Yakin? Terus tadi ngapain geleng-geleng?" Meski gadis itu telah memberi penjelasan bahwa ia baik-baik saja, sorot mata Aksa masih menunjukkan kerisauan. Setidaknya begitulah menurut Eren. Atau memang ia sudah terlampau geer.
"Enggak, tadi cuma tiba-tiba kepikiran sesuatu. Nggak penting." Ia menampakkan senyum kecil, sekadar menghilangkan tengsin dan kegugupan yang sepertinya hanya Eren sendiri yang rasakan. Karena sejak tadi Aksa tak terlihat canggung sama sekali.
"Ya udah, ayo. Saya antar pulang. Kemarikan tas kamu."
Beberapa saat uluran tangan Aksa tak diberi sambutan olehnya, hanya sibuk dipandangi. "Nggak usah, Dok. Saya telepon asisten saya aja."
Aksa mengernyit tak senang. Lelaki itu menarik kembali uluran tangannya, memasukkannya ke dalam saku bawah snelli. "Gitu, ya? Oke." Bukannya pergi setelah mengatakan itu, Aksa masih berdiri tegak di hadapan Eren. Bedanya, sekarang ia justru selangkah mendekat pada tubuh gadis blasteran Jerman yang kini terhimpit antara tubuh tegapnya dan pintu.
"Enaknya tangan saya bawa tas kamu.. atau bawa kamunya sekalian, ya?" Eren mendelik. Tak pernah menyangka pria yang kini wajahnya hanya berjarak satu hasta darinya bisa menanyakan hal semacam itu dengan wajah datar, sedatar papan tulis. "Mau banget ya, digendong sama saya?" Fuck you, Akhtar Aksa!
"Jangan cuma gara-gara kemarin saya minta ditemani, terus sekarang Dokter merasa di antara kita ada hal lebih. Nggak, ya!" Geramnya, berusaha mendorong dada Aksa agar menjauh. Walau berakhir sia-sia karena tubuh Aksa sama sekali tak berpindah dari posisi awal.
"Siapa juga yang ngarep lebih sama kamu? Saya cuma berniat baik."
"Niat baik, kok maksa!" Eren mendengus. Bibirnya merengut sebal.
"Dari awal kamu kalo nggak dipaksa emang susah. Suruh makan susah, tidur susah, sekarang mau pulang aja juga susah banget. Apa memang mau tidur di bangsal aja?" Sungguh kekeraskepalaan Eren membuat Aksa jengah.
"Saya mau pulang. Tapi kan saya udah bilang bakalan minta asisten buat jemput. Jadi nggak perlu diantar Dokter." Api amarah Eren mulai tersulut.
Decakan bibir Aksa terdengar keras, disusul garukan kasar pada leher belakangnya. "Bayar utangmu!"
"Apa? Utang apa? Saya nggak pernah merasa pinjam uang sama Dokter." Tangan yang semula bersedekap, kembali diturunkan. Matanya menyipit penuh selidik, sekaligus agak panik. Impossible bagi seorang Leviana Airain Boden memiliki hutang.
"Saya yang bayar administrasi kamu. Jadi sekarang bayar. Traktir saya makan!" Ucapan itu terdengar lantang, namun wajahnya kini tak memandang sosok yang secara gamblang menatap kesal ke arahnya.
"Barusan saya mau ke administrasi buat bayar. Saya ini nggak kekurangan uang, ya! Saya mampu bayar sendiri biaya perawatan saya. Saya juga nggak minta Dokter buat bayarin kan? Sini bill-nya, saya ganti sekarang!" Eren sebal bukan main. Pasalnya ia tak pernah meminta agar dibiayai, ia mampu. Bahkan lebih dari sekadar mampu. Dan sekarang ia justru dituduh berhutang. Yang benar saja! Hutang tak pernah menjadi bagian dari dirinya. It's not her thing at all.
"Nggak perlu diganti. Saya nggak butuh! Saya cuma mau ditemani makan, sekalian saya antar kamu pulang sekarang. Gantian! Kemarin saya udah nemenin kamu makan, sekarang saya mau kamu temani saya makan." Eren masih tak berhenti memberi tatapan maut, sementara Aksa mulai memberanikan diri menoleh ke arahnya. "Kalo kamu nggak mau ya udah. Nemenin kamu kemarin saya nggak ikhlas sebenarnya. Buang-buang waktu berharga saya. Saya anggap itu hutang. Umur nggak ada yang tau, kalo hutang nggak dilunasi saat masih hidu..."
"Iyaaa! Iya udah, ayo! Ayo makan sekarang, Dokter Aksa!" Gigi Eren bergemeletuk. Gadis yang seumur hidupnya tak pernah berhutang itu akhirnya mengalah. Meski sebetulnya bukan masalah juga makan siang -eh, siapa yang makan siang pukul empat sore- dengan dokter tampan itu.
Dokter tampan yang menurut Eren menyebalkan itu tersenyum penuh kemenangan, "Dari tadi tinggal bilang "iya" aja susah banget. Siniin tasnya."
________________________________________
Vote, share, and say something in the comment. Don't be a silent reader, please!😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Nomad's Last Sojourn
Romansa"Jika kamu berkenan, izinkanlah bahuku yang tak seberapa kokoh ini berusaha menopang kesedihanmu." Apakah aku harus mempercayai ucapannya? Dari nadanya, jelas tidak terdengar seperti sebatas janji, melainkan sebuah kepastian. Namun setelah mengetah...