22. Hancur ✨

125 7 1
                                    

PART 22
Hancur

Dinda pergi memilih jalan aman, ia akan fokus untuk mengurus anaknya. Tidak akan pernah berharap dengan siapapun. Terkadang orang yang dia harapkan itu menyakitkan jika menghianatimu.

Sudahlah lupakan.

Syukurlah ia sudah diterima bekerja di tempat perusahaan menjaadi office girl. Dulu saat sekolah ia berharap bisa menjadi sekretaris, berkutat dengan komputer. Pergi sana sini hanya untuk menemani pimpinan. Tapi terkadang manusia hanya bisa merencanakan dan Tuhanlah yang menentukan.

Dinda juga menjual ponselnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sebelum ia mendapatkan gaji pertama bekerja ditempat tersebut.
Ia bahagia melihat wajah putranya yang tertidur sambil meminum asi dari sumbernya. Euforia yang ia rasakan terkadang membuat lupa masalah yang ia hadapi.

Ia segera tidur dan meletakkan anaknya disampingnya, ia belum punya uang untuk membeli box tempat bayi. Tapi setidaknya anaknya nyaman jika tidur bersamanya.

-

Sial
Hari pertama Dinda masuk kerja ia ketiduran, semalaman Darrell menangis tak mau lepas dari miminya. Alhasil dia tidak bisa tidur, karena kalau dibuka kan ada angin angin gitu jadi dingin.
Awal masuk kerja Dinda dimarahin dengan atasannya karena terlambat. Setelah itu ia bekerja membersihkan yang disuruh dan membuat kopi untuk semua orang.

Saat sedang membuat kopi tiba-tiba ada yang mengagetkan. Dinda tau siapa itu cowok yang berada di café. Padahal Dinda kerja disini untuk menghindar kenapa dia bisa disini sih.

“Lo! Ngapain disini.” Ujar Dinda ketus.

“Terserah gue dong ini kan kantor gue.” Jawab Guntur jahil.

Deg

“Kantor lo.” Ujar Dinda terbata-bata.
Dinda kan mau menghindar kenapa bisa jadi dekat sih. Ini masih satu hari kan bisa tidak jika dia melarikan diri dari sana dan mencabut berkasnya. Tapi nanti kalau mau mencari kerja kan susah. Apalagi baru hari pertama langsung keluar gitu aja apa yang harus jawab di lamaran pekerjaan selanjutnya.

“Lo gak bisa ngehindarin gue.” Bisik Guntur, seolah tau pikiran Dinda.

“Bikinin kopi gue yang pahit aja ya cantik soalnya kalau liat kamu udah manis nanti malah diabetes.” Setelah mengatakan itu Guntur pergi meninggalkan Dinda yang mukanya seolah pasrah.

“Ya sudahlah jalanin aja dulu.” Dinda membutuhkan healing sekarang otaknya mendadak depreshot.
Setelah itu ia meminta bantuan kepada senior OB disana untuk mengantarkan kopi ke ruang CEO.

Nanti kalau ia yang mengantar bisa-bisa banyak cemoohan dari kantor dikira anak baru sudah berani macam-macam.


Dinda berharap bisa lepas dari manusia satu ini, dikantin khusus untuk pegawai sekarang ada CEO yang sedang membaur duduk bersama Dinda banyak tatapan sinis yang mengarah pada Dinda.

“Bisa enggak, kamu pergi dari sini.” Untuk menjaga kesopanan ia menggunakan bahasa yang lembut sambil berbisik.

“Enggak gimana dong.” Balas Guntur dengan tatapan jahil.

“Pliss, ini banyak orang kamu bisa duduk ditempat lain.” Dinda sudah menyerah.

“Jadi kalau di rumah lo boleh nih?”

“Iya” Dinda mengiyakan agar Guntur segera pergi dari sana.

“Asik, nanti gue mau ke rumah lo titik gak boleh nolak!” Dinda hanya bisa mengangguk terpaksa.

Niatnya resign untuk menghindari dia malah jadi ketemu setiap hari. Mau keluar tapi lumayan gajinya lebih besar daripada di Café dulu. Semoga saja mental Dinda aman.

Saat sudah waktunya untuk pulang, Dinda segera pulang cepat demi menghindari Guntur. Ia menunggu bisa di halte berharap ada angkot yang lewat. Tak lama kemudian mobil mewah berhenti dan muncul Guntur dengan outfit kantornya.

DINDA DAN KISAHNYA {On Going}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang