11.Terjebak✨

147 11 0
                                    

Selamat membaca

PART 11

Terjebak




Hari telah menunjukkan mulai petang tapi laporan yang Dinda kerjakan belum selesai, gimana mau selesai dari tadi salah mulu. Bener ya si Farrell minta dicabein nyerocos mulutnya. Ini salah itu salah semua salah yang bener itu gimana?

Sabar Dinda, dari tadi tangan Dinda pegal untuk mengetik terus. Ia belum terbiasa mengetik tapi malah kena hukuman kayak gini. Akhirnya laporan yang Dinda kerjakan selesai juga, benar atau tidak itu nanti yang terpenting dirinya bisa pulang sungguh ia telah lelah. Pengen ketemu kasur.

"Pak, ini laporannya sudah saya kerjakan. Kalau ada salah besok aja ya pak benerinnya." Tawar Dinda. Melihat jam tangan sudah menunjukkan pukul tujuh malam.

"Baik, lain kali jangan diulangi lagi kesalahanmu. Disini kamu lagi PKL, jadi gak usah aneh-aneh." Suara tegas menggema menampakkan kewibawaannya.

"Siap pak." Mengangguk pelan.

"Kalau begitu saya pamit duluan ya pak." Masih menunduk, Dinda segera pamit untuk pulang kerumah."

Tak ada jawaban Dinda nyelonong gitu aja. Tak menyadari bahwa itu adalah interaksi terakhir tak ada keakraban. Mungkin itulah yang seharusnya terjadi, Dinda memang menutup untuk berteman dengan lawan jenis. Pengagum rahasia aja ia sudah lelah, mulai sekarang Dinda harus berusaha bekerja yang terbaik.

Siapa tahu nanti ia bisa diterima kerja disini. Jarak rumah Dinda dengan perusahaan hanya 4 kilometer jadi ia memutuskan untuk berjalan kaki saja. Memesan ojek pun ia ragu hari sudah malam, malas juga kalau keluar duit.

Makanan dikosnya pun mulai menipis, mungkin ia bisa berhemat. Tapakan langkah kaki menyusuri jalanan yang lumayan ramai, lalu lalang kendaraan mulai memadati kota Jakarta. Melihat itu Dinda semakin merasa ia sendirian. Ia sudah mencoba untuk bergaul,mungkin bukan ahlinya.

Sejak kematian kedua orang tuanya ia suka menyendiri. Tak ingin cari perhatian, untuk apa. Orang yang ia sayang sudah gak ada.

Syukurlah Dinda pulang kerumah dengan selamat. Kakinya serasa pegal berjalan cukup jauh, berberes dan mandi kemudian ia ingin memesak. Melihat bahan yang tersedia hanya mie dan telur ia hanya memasak telur saja. Mie nya untuk besok pagi, nasinya juga tinggal sedikit.

Setelah telur matang ia segera makan dengan nasi yang sedikit, mungkin ini alasan Dinda enggak gemuk. Makan aja sedikit tapi gak apalah ia sudah bisa makan.

Ting

Ponsel Dinda berbunyi segera ia buka dan ternyata dari Abel.

Abel

Gimana hari pertama PKL?

Dinda

Ya gitu

Abel

Lo tahu gak masa hari pertama bener-bener pegel badan gue. Kerjaan seabrek dikasih dari pagi sampe sore. Hish ini gue lagi ke tukang urut.

Dinda tertawa pelan, ada-ada saja si Abel ini.

Dinda

Sabar cuman tiga bulan

Abel

Huft tiga bulan itu dah lamaaa banget. Bisa-bisa encok gue kalo kerjaannya tiap hari kayak gini udah gitu kerrjanya 6 hari."

Dinda

Nikmatin aja. Dah malem ya gue mau tidur. Selamat berpijat.

Abel

WOkeey, good night

Read


Dinda melanjutkan makan dengan hikmat. Gak ada yang special dari semua hari, monoton. Ia berusaha merubah tapi seakan Tuhan belum mengijinkannya. Hidupnya yah gini-gini aja. Sebelum tidur ia selalu memandangi foto keluarganya, berharap apa yang ia lalui adalah mimpi. Sungguh ia hanya ingin berkumpul dengan keluarganya.

Tak lama ia tertidur dengan foto yang ia tarus diatas dadanya mendekapnya seolah itu adalah orang tuanya yang kini ia rindukan.

Hari demi hari selalu Dinda jalani dengan baik, sejauh ini sudah tidak ada masalah sejak saat itu Dinda lebih memikirkan tindakan agar tidak ceroboh. Wanda dan temannya sudah tidak menganggunya mungkin sibuk dengan pekerjaan yang mereka jalani.

Saat hari minggu ia bekerja di Café yellow, seharian penuh ia bekerja untuk menyambung hidup tidak mungkin kan ia digaji saat PKL. Diterima aja udah bersyukur,

"Din, anterin ini ke meja nomor 18." Dinda mengangguk dan mengambil nampan







🐬🐬🐬

Maap ya sedikit🙈

DINDA DAN KISAHNYA {On Going}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang