15

132 13 2
                                    

Al memukul setirnya dengan kasar. Sedari tadi ia tidak berhenti mengumpat entah sudah terhitung berapa kali ia memgumpati kejadian yang beberapa saat lalu ia saksikan. Ia sungguh menyesali keputusannya hari ini untuk datang ke kantor sahabatnya, siapa lagi kalau bukan Eci.

Ia sengaja tidak mengabari gadis itu terlebih dulu toh biasanya juga seperti itu. Ia datang saat waktu makan siang karena memang sengaja ingin mengajak Eci makan siang bersama sekalian. Begitu sampai di kantor Eci ia bergegas menuju ke ruangannya dan seperti biasa ia memilih langsung masuk karena ia yakin jika pintu ruangan Eci pasti tidak terkunci seperti kebiasaan gadis itu.

"Ci kamu di dalem kan?" Tanyanya bersamaan dengan ia membuka pintu.

Buru-buru ia mengutuki dirinya sendiri sekaligus mengutuki pemandangan yang ia lihat. Tubuhnya terasa kaku tiba-tiba. Bagaimana tidak, di sofa ia melihat pemandangan yang sungguh tak senonoh dimana pelaku nya adalah orang yang ia kenal. Bima sedang memangku Eci dengan keadaan bibir yang saling memagut penuh hasrat. Rasanya Al seperti ingin mencabik cabik seseorang.

Merasa terkejut karena kedatangannya, dua manusia yang sedang bercumbu itu langsung terperanjat dan buru-buru Eci berpindah untuk duduk di sofa. Ia paham mereka sama-sama sudah dewasa. Ia pun pernah melakukannya bahkan lebih dari itu bersama mantan-mantannya terdahulu. Tapi  ia kali ini sungguh kepalanya terasa sesak ketika melihat dengan mata kepalanya sendiri sahabatnya sedang melakukan hal itu.

Al mencoba menarik nafas, "Sorry ganggu kalian"

Eci dan Bima tampak membenahi diri mereka masing-masing. Sungguh keadaan mereka begitu acak-acakan.

Harusnya aku Ci, bukan dia.

Mengingatnya membuatnya kembali memukul setir. "Anjing" gumamnya.

Ia sengaja datang ke tempat Eci untuk memberikan undangan pernikahan dari salah satu teman SMA mereka dahulu, si Fatan. Fatan sengaja menitipkan undangan Eci kepadanya karena ia paham dengan kedekatannya dengan Eci. Ia pun juga tidak keberatan. Ia bisa sekalian bertemu dengan Eci setelah sekian lama mereka tidak berkomunikasi.

Al paham jika Eci sedang kesal padanya terkait omongan mereka di apartemennya minggu lalu. Ia pun juga kesal. Bukan tanpa alasan, ia kesal karena Eci tampak begitu yakin dengan Bima. Jadi ia membiarkan mereka saling diam-diaman saja sembari meredakan hatinya. Kenapa Eci harus menjalin hubungan dengan temannya sendiri dan kenapa pula perasaannya pada Eci makin senyata ini.

Selama ini ia begitu mengutamakan Eci daripada kepentingan dirinya. Bahkan ia lebih memilih putus dengan mantan-mantannya terdahulu karena mereka selalu mempermasalahkan kehadiran Eci diantara mereka. Mereka menuntut agar Al menjauhi Eci yang tentu saja hal itu tidak bisa ia lakukan. Ia tidak peduli bagaimana perasaan Eci padanya yang jelas ia bisa tetap dekat dengan gadis itu.

Tapi begitu kembali mengingat kejadian tadi membuat emosinya kembali tersulut. Bisa-bisanya gadis yang ia cintai sedang bercumbu di depan mata kepalanya sendiri. Setelah menyerahkan undangan milik Eci ia pun buru-buru untuk pergi karena merasa tidak betah berada disana, terserah mereka mau menganggapnya bagaimana.

***

Begitu Al pergi keluar dari ruangannya, Eci dan Bima sama-sama terdiam. Masih sedikit terkejut dengan kejadian yang baru saja terjadi. Bagaimana dengan cepat mereka memisahkan diri begitu mengetahui seseorang masuk ruangan yang mana Al juga sama terkejutnya.

"Lain kali kayaknya kamu perlu ngebiasain buat ngunci pintu Ci" ujar Bima membuka suara sembari memakai kembali kacamatanya yang tadi Eci lepas.

Eci hanya berdehem. "Iya deh kayanya"
Ia mencoba untuk bersikap santai di depan Bima, padahal sejujurnya ia merasa benar-benar terkejut, apalagi Al memergokinya.

Seribu PurnamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang