Selama survey lokasi di rumah Bima dengan pegawainya, Eci lebih banyak diam dan terkesan jaga jarak dengan pria itu. Jujur saja ia masih malu karna tindakannya tadi. Untung saja Anjani segera sampai sehingga ia bisa mengalihkan perhatian dan topik obrolan.
Anjani asyik menulis catatan di notes kecilnya, pegawainya yang lain sedang memotret lokasi, untuk di jadikan acuan mendekor ruangan nantinya.
Setelahnya, mereka kembali duduk lagi ke ruang tamu. Dan Eci mengutuk dalam hati karna Bima duduk di sampingnya.Anjani mulai menjelaskan gambaran yang ia dapat, lalu mengembangkannya dengan ide-ide yang mungkin akan ia terapkan untuk mendekor dan menyusun acara nantinya. "Jadi seperti itu sih Mbak, Mas, gambarannya. Mungkin kalau ada yang kurang pas, saya bisa ganti"
"Cukup bagus, tapi aku juga tergantung sama yang punya acara juga. Gimana Bim? Kamu oke nggak sama planningnya Anjani? Kalau ada bagian-bagian yang kurang sreg, kita bisa diskusiin"
"Sejauh ini aku cukup sejalan sih. Konsep besarnya gitu aja nggak papa, oh iya, ini kan cuma ngundang keluarga aja, jadi aku pengin kalau kesannya lebih privat gitu, Mbak" jelas Bima pada Anjani yang langsung ditulis di catatannya.
Tak lama, diskusi mereka selesai untuk hari ini. Selebihnya akan di balas seiring mempersiapkan acaranya yang memang sudah kurang seminggu lagi. Mereka berpamitan kepada pemilik rumah, yang Bima juga mengantarkan hingga ke depan. Pria itu berjalan menjajari Eci, lalu berbicara pelan, "Aku anter aja" tawarnya sekali lagi.
Bima memang sudah mewarkan untuk mengantar, tapi Eci lebih memilih untuk bersama para pegawainya saja, toh mobilnya juga masih muat jika hanya bertambah ia saja. "Aku sama yang lainnya aja Bim, nggakpapa"
Pria itu menghembuskan nafas kasar, "Yaudah deh. Hati-hati. Tapi waktu hari H kamu harus dateng, Ci"
"Iya iya. Aku pasti dateng kok"
***
Al menyandarkan kepalanya di kursi kerjanya. Sudah pukul sepuluh malam tapi ia masih ada di bengkel, padahal bengkelnya sudah tutup sejak satu jam yang lalu. Setidaknya ia lega karna sudah berhasil bicara dengan pegawainya itu, yang melakukan pelanggaran. Al rasa, skors selama satu bulan cukup untuk memberi sanksi. Ia tak cukup tega untuk memecat pria itu karna pria itu sudah bekerja dengannya sejak bengkel ini berdiri, toh selama ini kinerjanya juga baik.
Sebenarnya ia ingin pulang ke Jakarta, ke rumah orangtuanya. Sudah dua minggu ia tak pulang kesana. Hanya saja kegiatannya disini masih banyak yang harus ia selesaikan. Jadi mau tak mau ia harus menundanya lebih dulu. Kadang, jika ia belum sempat pulang, mama dan adiknya akan menginap disini dengan di antar ayahnya.
"Halo, sibuk nggak Ci?" Sapanya begitu panggilan diangkat di dering pertama.
"Sibuk mau tidur tau. Ngapain sih Al ganggu ajadeh" gerutu Eci yang membuatnya tertawa sambil bersiap-siap untuk pulang. Ia mengunci ruangannya karna ya, memang banyak berkas berkas penting disana.
"Yah jangan tidur dulu lah. Mau martabak nggak?"
Kini suara dengusan yang terdengar, "Udah, kalau mau kesini ya kesini aja. Pakai nanya mau martabak atau enggak, udah cepet kesini aku tunggu martabaknya"
Setengah jam kemudian Al sampai di rumah Eci. Gadis itu sedang membuka pintu gerbang dengan piyama, khas orang yang memang akan tidur. Al turun dari motornya tanpa melepas jaket yang ia pakai, lalu duduk disamping Eci diteras rumah. Ternyata gadis itu sudah menyiapkan kopi untuknya, ia tersenyum dalam hati. Tanpa basa basi, Eci menyerobot martabak yang ia bawa dan melahapnya begitu saja.
"Mas Opi aku skors satu bulan, menurut kamu gimana? Keterlaluan nggak?" Al mulao membuka suara.
"Nggak juga sih"
Al menyeruput kopi buatan Eci, kopi buatannya memang cenderung lebih pahit dari pada buatan yang lain. Tapi entah mengapa, Al menyukai rasanya. Khas buatan seorang Eci.
"Kamu belum pulang ya Al?"
Tampilannya memang agak kusut karna ia belum mandi sejak sore, "Belum. Lagi males pulang, pengin ke rumah bokap nyokap"
"Ya tinggal kesana aja kan gampang"
Ia melirik gadis disampingnya ini lalu berdecak, "Ngomong doang mah enak ya Ci"
Beberapa kali Eci memang ikut pulang bersamanya ke Jakarta. Dan tentu saja mamanya akan menyambut dengan senang hati, bahkan ia merasa jika yang anak kandung bukanlah dirinya melainkan Eci. Eci memang dekat dengan orangtuanya, bahkan adiknya juga menempel pada gadis itu.
"Minggu depan rencanya mau pulang, mau ikut nggak?" Tawarnya, berharap Eci mau ikut agar bisa membunuh waktu di perjalanan.
Gadis itu tampak berpikir, "Sabtu ya?" Eci tau kebiasaannya, ia memang akan pulang hari Sabtu lalu kembali ke Bandung lagi di hari esoknya, yaitu hari Minggu. Jadi ia pun mengangguk membenarkan.
Eci meneguk air putih yang juga ia bawa ke depan, "Nggak bisa ikut, udah di booking Bima"
Sedang Al refleks menoleh sambil memicing. Eci terlihat santai setelah mengucapkan itu, "Kamu di booking Bima? Kalian mau ngapain?"
"Mau ngamar" jawab Eci asal-asalan, tapi nyatanya Al menanggapinya dengan serius candaannya itu.
"Sejak kapan kamu jadi wanita bookingan?"
"Sejak kenal Bima"
"Eci! Ngapain sih kamu jadi gampangan gini sama Bima? Eci yang aku kenal nggak kayak gini ya" bantahnya.
Eci yang mendengar keseriusannya melotot, tak menyangka jika sahabat disampingnya ini menanggapi candaannya dengan serius dan emosi seperti ini. Padahal ia hanya asal-asalan bicara saja, "Kamu kenapa baper kayak gini sih Al, aku kan cum-"
"Enak aja ya kamu bilang aku baper. Kamu tuh musti dilurusin otaknya biar normal lagi. Apaan dibooking-booking segala"
"Aku kerja kali Al" akhirnya Eci menyerah saja beradu argumen dengan Al, Eci yakin ia akan kalah bicara jika Al sedang mode serius seperti ini. Saat seperti ini jugalah aura mendominasi pria itu akan muncul, sehingga membuatnya merasa kalah sebelum berperang.
"Kerja? Di booking maksud kamu?" Sinisnya.
Eci berdecak, tapi tidak berani menatap Al yang juga menatapnya, "Kan itu hari ulangtahun mamanya Bima Al, ya aku harus kesana lah. Secara ya, dia kan pakai jasa EO aku. Kamu loh yang kasih tau aku dam ngenalin kita, kok kamu sensitif gini sih. Laper?"
Al tidak menjawabnya, hanya memandang lurus ke arahnya. Lalu pria itu tiba-tiba berdiri, hingga mau tak mau membuat Eci juga ikut berdiri. Pria itu melirik jam tangannya sekilas, "Aku ngantuk, mau pulang dulu" ujarnya sambil berlalu tanpa menunggu jawaban si tuan rumah.
Eci mencoba mengikutinya di belakang, "Minggu depannya lagi deh, Al" mereka sudah sampai di motor Al, bahkan pria itu sudah menaikinya bersiap akan memakai helm.
"Nggak usah janji ataupun nawarin. Aku pulang dulu" lalu ia memakai helm nya begitu saja, dan melajukan motornya keluar dari pekarangan Eci yang membeo di tempatnya. Tak paham apa yang terjadi dengan Al, mengapa pria itu sangat sensitif seperti ini?
***
SeeU,
KAMU SEDANG MEMBACA
Seribu Purnama
Romance"Brengsek kamu Al," "Satu lagi, jangan pernah nemuin aku setelah ini" -Swastika Eci "Ci, dengerin aku, dengerin perasaanku selama ini,Ci" -Algavian Maheswara _____ Benar kata orang, satu keburukan akan menghilangkan seribu kebaikan. Tak peduli seber...