6. DIONYSUS

26 3 0
                                    





BIASAKAN VOTE KOMEN DULU SEBELUM MEMBACA !!!






















   "Noona* sungguhan?!" Yerim dibuat menganga dengan mata yang membola, persis seperti boneka Chukky. Tapi yang ini versi manis. Viona hanya mengangkat dagu bangga, seolah-olah baru saja memenangkan olimpiade matematika tersulit di dunia, walau tidak mungkin. Gadis violet itu mengangguk kembali meyakinkan.

"Apa dosen itu memakai ramuan pemikat? Sehingga seniorku yang anti cinta ini dibuat menggila." Tukasnya sedikit kasar. Kemudian Yerim mengaduh kesakitan setelah mendapatkan satu jitakan di atas kepala. Siapa lagi pelakunya jika bukan Viona. "Tidak, tapi aku sempat berpikir seperti itu, sih." Gumamnya. "Memangnya apa bagusnya dia? Bahkan Kim Taehyung lebih menarik."

Viona hanya memutar bola matanya malas, jengah dengan hal yang selalu Yerim ceritakan setiap harinya. Asal tau saja, telinganya panas karena bosan mendengar ocehan tentang idola di negeri kelahirannya itu. Kalau tidak salah namanya K-pop? Dia tidak begitu tau. Setiap hari menceritakan ketujuh pria tampan kesayangannya, terkadang bernyanyi lagu-lagu mereka hampir membuat dia seperti orang gila di kelas. Tidak aneh baginya, sih. Viona sudah terbiasa dengan sikap anehnya itu. Bahkan sudah siap menjadi pawang jika saja gadis itu kembali menggila.

"Seleraku berbeda denganmu, seleraku pria yang seperti dia." Ujarnya membenahi. "Tapi selebihnya hanya jadi angan-angan saja untuk memilikinya, mengingat dia sempat menjadi musuhku. Sampai sekarang pun dia menyebalkan." Gerutu Viona, tak sadar menggenggam erat sebuah pensil di tangannya. Saat kembali mengingat wajah tampan yang membuat ia sedikit kesal. Yerim hanya mengulum bibir, tak tau harus merespon apa untuk hubungan permusuhan lama yang sepertinya menumbuhkan sedikit gelenyar aneh yang disebut dengan 'ketertarikan'.

Yerim tak menyangka, bahwa kisah seperti ini biasanya hanya ada di dalam novel. Tapi ini, ia harus berterimakasih pada orang yang membuat jalan percintaan senior kesayangannya jadi seperti ini. penuh lika-liku tapi berakhir so sweet. Mungkin.

"Ya, sudah. Aku pulang dulu. Jangan lupa untuk membawakanku bekal lagi." Imbuhnya sebelum beranjak pulang. Yerim lagi-lagi membuat pose hormat.

Jika kalian pikir Viona memaksa Yerim untuk membuat bekal untuknya, kalian salah. Nyatanya memang gadis itu sendiri yang selalu membawakannya bekal. Tau saja ia tak pernah sarapan.

oOo

"Ibu, aku pulang."

Viona melepas sepatunya, menghampiri Ibu yang biasanya ada di ruang TV. Biasanya siang ini pasti Ibunya menonton televisi, pikirnya.

Tapi dugaan itu harus ia kubur dalam-dalam, karena pasalnya Ibunya sedang mengobrol dengan pemuda yang memikat hatinya di sekolah tadi. Zionardo Eden.

Viona mendelik ke arah Julia, meminta jawaban di waktu itu juga. Walau ia tau jika Zion kemari pasti ingin bertamu dan menyapa teman lama Ibunya itu. Tapi tetap saja, ini janggal. Ia merasakan akan terjadi sesuatu yang tak sedap kali ini. Pasti.

"Viona, ingat dia?" Bukan kecupan selamat datang yang dia dapat, tapi justru pertanyaan retoris. Hampir membuat Viona mendesah malas. Gadis itu hanya mengagguk, berjalan naik ke atas tangga kamar, enggan melirik sekalipun ke arah Zion yang ia rasa sedang menunjukka atensinya lewat raut menyebalkan yang ia perlihatkan. Bersumpah saja, semoga dia tak melemparkan bantal sofa ke wajah tampan itu.

Tapi sebelum benar-benar melangkah ke ujung tangga, ujaran Julia berhasil membuat tubuh Viona membeku di atas tangga. Membuat dadanya bergemuruh ribut, enggan membayangkan kejadian berikutnya di kamar nanti.

"Ganti bajulah, Zion akan menjadi guru lesmu, kalian akan belajar di kamar."

oOo

Di sini dia sekarang. Duduk bersimpuh di atas karpet dengan berbagai macam buku pelajaran di atas meja. Berhadapan dengan malaikat pencabut nyawa yang menyamar menjadi sosok dengan rupa Dewa Hermes. Pemuda itu hanya tersenyum miring, seolah meremehkan daya kerja otak Viona. "Apa yang kau tertawakan, hah?!" Bentaknya tak terima. Zion hanya terkekeh lagi, kali ini lebih menyebalkan dari sebelum-sebelumnya. Menyugar rambut depannya yang lepek karena keringat ke atas, mampu menyilaukan mata Viona seketika. "Tidak ada, rasanya aku sedang melakukan les privat pada seorang bocah SD." Sebelum mendapatkan amukan dari Viona, Zion mengubah topik pembicaraan dengan cepat. "Tempat ini tidak ada yang berubah." Celetuk Zion sembari menatapi semua sisi kamar Viona.

Cat tembok berwarna violet, dan barang-barang dengan warna serupa. Zion tak akan pernah bisa melupakan ini.

"Haha, mana ada. Kau kan waktu itu masih kecil, memangnya bisa mengingat semua, huh?" Bantahnya. Zion hanya tersenyum jenaka, makin memperlihatkan aura tampan yang menyebalkan. "Aku punya ingatan yang cukup bagus, tau. Buktinya, aku sekarang menjadi dosen sekaligus guru les untukmu." Balasnya remeh sembari tertawa jenaka. Seolah memang pembicaraan mereka hanyalah lelucon belaka. Viona makin menggeram kesal, tak suka jika sudah kalah telak oleh junior tampan menyebalkan yang ada di hadapannya ini.

Andai ia lebih pintar, walau mustahil karena setiap mata pelajaran saja dia selalu membolos. Tapi jika semisal dosen yang mengisi kelasnya setiap hari si Zion ini, beda cerita lagi. Mungkin seisi kampus akan gempar karena tau berita jika gadis berumur tua yang sering membolos kini masuk tanpa membolos setiap hari hanya karena dosen muda tampan. Mungkin juga tambahan berita seorang pedofil yang menyukai dosen mudanya sendiri. Ia jadi tertawa geli jika harus membayangkannya.

"Jangan tertawa, kerjakan soal yang kuberi sebagai evaluasi." Titahnya tegas. Hei, kemana panggilan 'Kak' seperti tadi pagi? Apakah Zion melupakan tata krama antara yang lebih muda ke yang lebih tua? Jika iya, percuma saja wajah tampan, jika bahkan sopan santun dan tata krama saja nilainya minus. Tapi seolah membaca pikiran Viona, Zion sontak menyahut, "Karena jika aku lagi-lagi memanggil dengan embel-embel 'kakak' seperti tadi pagi, aku pastikan kau akan semena-mena, karena menganggap aku sebagai orang yang lebih muda darimu. Ingat ini," Zion menjeda kalimatnya. Lagi-lagi berbisik di dekat telinga Viona.

"Selama aku ada di dekatmu, aku akan selalu berkuasa."

Mutlak sudah, dia tak akan pernah bisa kabur dari jeratan paras yang memabukkan itu. Seperti menahannya, membelenggu agar bisa melihat wajah tampannya setiap hari. Hingga setidaknya membuat ia tak berdaya dan tunduk di bawah kekuasaan seorang Zionardo Eden. Jika ada julukan nama Dewa untuk Zionardo ini, dia akan menamainya Dewa Dionysus. Dewa pesta, Dewa yang bahkan membuat ia mabuk dengan segala lagak kerennya, juga visual tampan bagai pahatan patung karya dari seorang pemahat professional terbaik di dunia.

Ini tak mudah, dia harus ... sehingga setidaknya lepas dari tatapan yang begitu menghipnotisnya sampai dibuat mabuk kepayang. Tapi apa ia bisa?


LOVE AND REVENGE [Telah Dibukukan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang