I. Ready For Love

2.3K 75 16
                                    

Jakarta, 14 Juli 2021

Walau sudah memasuki minggu kedua di bulan Juli, hujan ternyata masih sering turun ke bumi. Sudah 3 hari ini, cipratan air hujan tak pernah absen membasahi jendela besar toko Alda. Pemandangannya memang jadi terlihat indah, anggap saja itu pelengkap untuk sebuah kesempurnaan sebab seperti ada kesan blur ke luar. Tapi mau sampai kapanpun, Alda tidak pernah suka hujan.

Apalagi hujan petir.

Yang sayangnya, sedang terjadi saat ini. Hujan, angin, petir. Malam hari. Hahaha, lengkap sekali.

Kalau dipikir lagi, malam ini sepertinya hujan datang lebih deras dari kemarin, angin berhembus kencang dan petir menyambar dengan ganasnya di langit sana. Dan yang membuat Alda mendesah berat adalah, dia sendirian di tokonya. Niat mengaplikasikan ide kue ke dalam laptop pun batal sebab otaknya sedang dijajah rasa takut sekarang.

Tapi, kenapa? Kenapa dia harus takut? Tidak akan terjadi apa-apa. Ia pun telah beranjak dewasa sekarang. Apa yang terjadi di masa lalu tidak akan pernah terulang.

Hingga beberapa saat lalu, kepala Alda tergolek pasrah di atas meja, tangannya setia menutupi kedua telinga untuk menghalau gemuruh petir yang bersahutan--yang sejujurnya, tidak berguna sebab petir masih saja kedengaran. Tapi begitu kalimat-kalimat itu menyelinap ke dalam otaknya, kepalanya terangkat seketika. Benar juga, dia tidak boleh takut lagi sekarang. Ada solusi dari teman baiknya untuk menghilangkan ketakutannya, kenapa ia bisa tidak ingat?

Setelah menarik napas sekali, Alda lantas menyumpal kedua telinganya dengan lagu acak dari ponsel. Ia mengatur volume cukup kencang agar suara petir dan derai hujan tak lagi masuk ke telinganya.

Cukup berhasil. Perlahan, dia mulai bisa tenang. Apalagi lagu ballad yang terputar cocok dengan seleranya. Dengan keputusan pasti, perempuan itu kemudian membuka kembali laptopnya, melanjutkan kegiatan awal yaitu menulis resep baru untuk kuenya.

Baru juga mengetik beberapa kata, nada yang mengalun di earphone sudah berubah. Matanya refleks menatap layar ponsel yang langsung menyala, menampilkan sederet nama yang kini meneleponnya.

Na. is calling...

Entah sadar atau tidak, tapi begitu mengetahui bahwa Naufal yang menelepon, kedua sudut bibir Alda tertarik ke atas.

"Halo. Dengan siapa di sana?" Isengnya pun dimulai.

"Selamat sore, perkenalkan saya Naufal Laksana Mukti dari Nana Group, mau bertanya apa hati yang saya titipkan di tempat Mbak masih baik-baik saja?" Salah satu alasan kenapa mereka bisa cocok adalah ini, Naufal selalu menerima candaannya.

"Na, mulai deh." Alda merotasikan bola mata jengah.

Ada tawa ringan yang bisa didengar perempuan yang rambutnya seringkali digelung asal-asalan itu. Seperti saat ini. "Oke, stop becandanya. Sekarang aku serius. Gimana hari kamu? Seharian tadi aku nggak sempat main hape, maaf ya."

"Baik. Nggak apa-apa, nggak harus juga. Kamu baik juga kan di Frankfurt?"

"Baik. Eh, aku denger suara petir, lagi hujan, ya, di sana?"

"Iya." Alda menghembuskan napas. "Takut, Na, mana sendirian...."

"Loh, kamu di mana?"

"Toko."

Terdengar hembusan napas dari Naufal. Entah kenapa itu membuat Alda tanpa sadar menggigit bibir, seolah dia baru saja menyetujui jika apa yang dilakukannya sekarang adalah kesalahan.

Magic In You | Haechan ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang