XII. Lost Something Special

416 25 2
                                    

Tidak bisa dipungkuri, bentakan Aksa melukai hatinya. Apa pertanyaannya berlebihan? Tidak juga. Aksa masih bisa menjawab biasa saja ketimbang membentaknya. Alhasil sepasang matanya memburam.

"Kenapa? Lo ada masalah? Lo keberatan?" Namun bukannya meminta maaf seperti bayangannya, Aksa justru semakin menyudutkannya. Pertanyaan demi pertanyaan yang membuat Alda kelu seketika. "Lo nggak suka gue bohong, kan? Maka denger pengakuan gue ini."

Alda tidak diberi kesempatan untuk berkata tidak karena Aksa keburu melanjutkan. "Alice itu mantan yang gue bicarain waktu itu. Alice yang seharusnya pemilik rumah ini. Alice cinta pertama gue, pemilik tetap hati gue."

Jatuhlah air mata Alda. Tanpa bisa dicegah. Tanpa bisa dihindari. Dia mundur selangkah. Sementara Aksa terlihat menyunggingkan senyum miring melihat reaksinya.

"Mau denger yang lebih wah? Gue nggak pernah lembur sebulanan ini. Gue tiap hari ke sana, nemenin dia."

Alda menelan ludah. "Apa ... apa waktu itu kamu nggak pulang karena—"

"Tepat. Gue, nginep di tempat dia." Tidak ada raut bersalah dalam wajahnya. Dia juga tidak lagi menoleh ketika meninggalkan Alda sendirian di ruang tengah.

Sementara Alda, perempuan itu terlihat shock dengan fakta-fakta mencengangkan yang ia dapat. Bukan ini yang ia mau, bukan begini bayangannya tadi. Karena Alda tidak suka pertengkaran, tapi sekarang ia sendiri yang memulai pertengkaran dengan suaminya.

*

"Nggak mungkin..."

Wanita itu menatap benda dalam telapak tangannya yang gemetar dengan sorot tidak percaya. Sebagian dari dirinya ingin menyangkal, berpikir bahwa testpack yang ia pakai tidak bekerja dengan baik. Tapi 3 lainnya yang berjejer di dekat wastafel sama-sama menunjukkan dua garis di bagian layar.

Sempat diam sebentar, Alice kemudian melihat pantulan perutnya dalam cermin. Bibirnya menarik senyum tatkala sadar bahwa sekarang, dalam perutnya sedang tumbuh seorang bayi. Bayi dari Aksa. Dan seolah sudah bisa merasakan, tangannya yang bebas mengelus perutnya dengan lembut.

Jangan tanya apakah dia senang dengan kehamilan yang tidak terencana ini. Tentu saja Alice sangat bahagia. Ia bisa menggunakan ini untuk merebut Aksa dari istrinya.

Saat pikirannya disibukkan dengan tebakan akan reaksi Aksa, deringan ponsel dari arah kamar masuk ke telinganya. Alice menoleh ke belakang, menatap ponselnya yang berkedip cepat—menandakan adanya panggilan masuk.

"Halo?" sapanya setelah ia mendudukkan diri di pinggiran kasur.

"Gimana hasilnya?" Pria di seberang terdengar tidak sabar, sedikit membuat Alice ketakutan sampai tanpa sadar menelan saliva. "Alice?!"

"..., positif."

"Udah gue duga. Kemaren lo keliatan kayak orang morning sickness." Terdengar helaan napas jengah sebagai jeda. "Tapi bentar, itu beneran anak Aksa?"

"Iya. Aku belum ketemu William lagi setelah bareng Aksa."

"When did you last have sex with him?"

"Dua minggu yang lalu...." Alice menggigit bibir, takut-takut akan dimarahi habis-habisan oleh lelaki itu. "Jefta, maaf—"

"Ngapain minta maaf? Ini bagus tau!"

Magic In You | Haechan ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang