XIII. My Stupid Love

403 25 0
                                    

Terhitung sudah hampir setengah jam matanya menatap tampilan kontak Naufal dalam ponsel. Namun Alda tak melakukan apapun. Dia sedang di ruang baca, tadinya ia ingin menjernihkan pikiran dengan buku bacaan, akan tetapi malah berubah haluan dan justru memiliki ide untuk menelepon Naufal, yang belum juga terlaksana sebab ia bimbang dengan perasaannya sendiri.

Pertemuan terakhirnya sekitar satu minggu yang lalu, saat acara 40 hari peringatan kematian nenek. Namun sesi bicara dalam telepon bahkan telah berbulan-bulan. Semenjak menikah dengan kakaknya, pria itu tidak lagi meneleponnya.

Bagian bodohnya adalah, saat ia tenggelam dalam lamunan dan melupakan ponsel yang digenggam, benda tipis itu tiba-tiba saja hampir jatuh. Namun karena gerak refleksnya cukup kuat, Alda berhasil menahan ponselnya hingga batal terjerembab ke lantai. Tapi untuk sekarang, dia agaknya menyesal kenapa tidak membiarkan ponselnya jatuh saja. Sebab ketika matanya menatap layar, ia baru sadar jika dia sudah menelepon si pria. Tangannya yang terpeleset tak sengaja menekan tombol panggil yang berada di sisi kiri.

Bodoh. Kamu beneran bodoh, Al. Batinnya merutuk dengan kesal.

Jarinya sudah bergerak untuk mengakhiri panggilan. Namun, detik yang kemudian hadir setelah panggilan tersambung membuatnya mendesah pasrah. Dia sempat mendiamkan panggilan itu karena bingung, sampai Naufal terdengar memanggilnya beberapa kali, tapi kemudian ia terpaksa menempelkan layar ponsel ke telinganya karena jujur, ia tidak tega membuat pria itu khawatir tanpa alasan.

"Iya, Na, kenapa?"

"Aku yang harusnya nanya gitu. Kamu kenapa tiba-tiba nelepon? Kenapa juga jawabnya lama?"

Dia menggigit bibir tanpa sadar. "Itu—sebenernya ... tadi ... ini nggak sengaja kepencet." Panik menyerangnya ketika Naufal tak memberikan reaksi. "Aku ganggu ya? Kalau gitu kamu boleh putusin—"

"Nggak, nggak, nggak ganggu kok. Aku juga lagi senggang, lagi baca buku. Tadi bingung aja kok bisa tiba-tiba kepencet."

"Ya gitu deh. Anyway kamu baca buku apa?"

"Crying doesn't change a thing."

Alisnya mengerut mendengar judul yang disebutkan si pria. "Buku apa itu?"

"Novel terjemahan, dari Korea."

"Sejak kapan kamu ngoleksi buku terjemahan?"

"Asal aja sih, kemarin lihat covernya cantik banget. Dan ternyata isinya bagus. Nanti aku kirimin kalau udah selesai baca."

Alda tersenyum tipis sebagai reaksi, pandangannya kemudian turun pada kakinya yang bergerak-gerak kecil, berayun di atas lantai. "Aku jadi kangen nenek."

"Tiba-tiba banget??"

"Nenek juga suka baca buku, waktu SMA aku sering diceritain isi buku-buku yang nenek baca." Bibirnya menggores senyum getir yang susah payah ia sembunyikan. "Kalau aku pikir-pikir, ternyata susah ya, padahal cuma harus ngelepasin nenek doang. Semua yang aku lihat, atau yang aku lakuin, seringkali ngingetin aku sama nenek."

Tidak ada balasan dari Naufal, yang terdengar hanya helaan napas berat.

"Aku sendirian sekarang, Na."

"Kamu nggak sendirian. Ada Aksa, kan? Aksa di mana sekarang?"

Tangan kanannya mengepal ketika dilontarkan pertanyaan itu. "Nggak, Na, aku beneran sendirian. Dia nggak ada di sini." Inginnya mengatakan itu, tapi Alda tak ingin memancing perselisihan antara dua saudara itu. "Dia lagi sibuk sama kerjaannya di kamar. Aku lagi di ruang baca." Karena terpaksa bohong adalah jalan paling baik saat ini. Setidaknya ia tidak membuat hubungan persaudaraan di antara dua lelaki itu memburuk. Tetapi jelas sisi negatif itu berbalik ke arahnya, setetes cairan bening jatuh begitu saja dari mata kirinya.

Magic In You | Haechan ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang