IV. This Is Fate And That's A Fact

600 39 4
                                    

Sore ini, tumbenan sekali angin berembus cukup kencang. Memang sejak pagi tadi, mendung sudah menguasai langit. Bahkan sepertinya, hari ini tidak ada panas matahari sama sekali. Namun tidak juga hujan lebat seperti perkiraan Alda. Sedari pagi, siklus yang terjadi berputar antara mendung-gerimis-mendung-gerimis.

Embusan angin itu bukan hanya menusuk kulitnya, tapi juga membuat berantakan anak-anak rambut milik Alda yang keluar dari gelungannya. Dia sedang mengunci pintu toko sore itu. Setelah memastikan pintunya terkunci dengan benar, perempuan yang mengenakan muse strip long dress itu lantas berbalik, hanya untuk termenung sebab menemukan sosok Naufal yang tengah berjalan ke arahnya.

"Sorry sir, we're closed now."

"No problem. I came not as a customer," sahutnya santai.

Alis Alda menekuk bingung. "Terus?"

"Mau ngajak yang punya jalan-jalan."

Alda belum memberikan balasan, tapi pria itu terlanjur menariknya, membawanya masuk ke mobil.

"Kita mau ke mana?" Ia bertanya refleks ketika si pria menyalakan mobil.

"Ke pelaminan mau gak?" katanya, menoleh terus memberikan tatapan menggoda yang menyebalkan.

Sontak saja Alda meninju bisep pria itu cukup kuat. "Aku serius ih!"

Sementara Alda malu setengah mati, Naufal justru tergelak puas. Dia mencolek pipi si perempuan. "Ke mana aja yang penting bareng kamu."

"Kamu yang ngajak jalan loh, Na."

"Aku ngajak doang, untuk tujuan itu urusan kamu."

"Ada yang kayak gitu." Yang perempuan melengos malas, walau begitu ia tetap menetukan tujuan ke mana mereka pergi. "Ya udah gimana kalau ke tempat mie ayam-nya Pak Jajang? Aku udah lama nggak ke sana, kangen banget."

"Meluncurrr!!"

*

Namanya Jajang Sukmara, Alda mengenalnya sekitar empat tahun yang lalu. Mie ayam buatannya menjadi langganan Alda. Lucunya, pria berusia 53 itu keukeuh menganggap Alda dan Naufal sepasang kekasih.

"Aih, tos lami pisan Neng Alda nggak ke sini." Pria itu nampak kesenangan begitu netranya melihat Alda yang keluar dari mobil. "Damang, Neng?" Walau sudah lama menetap di Jakarta, logat Sundanya ternyata masih cukup kental.

Alda tersenyum seraya menuntun Hanan. "Alhamdulillah, baik, Pak."

"Ini... anak Neng Alda? Sudah besar ya." Dia mengusak rambut Hanan kecil yang masih terdiam kebingungan. "Nikah sama yang ganteng itu ya, Neng?"

"Enggak, Pak, ini anak asuh saya dari panti, lagi saya ajak jalan-jalan." Alda meringis. "Saya juga belum nikah, Pak."

"Waduh, kenapa belum? Kamu sama si ganteng teh sudah cocok pisan kalau Bapak lihat-lihat."

Senyuman Alda berubah jadi kaku. "Pak, Naufal cuma teman saya."

"Kalian kok nggak masuk?" Naufal menyela sesaat setelah tiba. "Parkiran lumayan penuh ya, Pak, saya susah nyimpen mobil jadinya."

"Hehe, alhamdulilah hari ini lagi banyak pelanggan. Mau pesan apa, Mas?"

"Mie ayam yang biasa 3, tapi yang satu jangan pedas, soalnya buat si jagoan Hanan."

"Ditunggu ya, Mas. Silakan duduk dulu."

"Hanan, ayo."

Dengan senyum lebar, anak kecil itu meraih uluran tangan Naufal. Awalnya Naufal pun tersenyum, tapi sesaat kemudian berubah tergelak dan tak bisa menahan diri untuk tidak mengusak rambut bocah 4 tahun itu saking gemasnya. Mungkin karena pergelangan tangannya terlalu besar, tangan kecil Hanan hanya mampu menggenggam jari telunjuknya saja.

Magic In You | Haechan ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang