VI. On Our Home

589 51 129
                                    

Ps: panjang ges. Biasanya gak nyampe 2k kata, tapi ini up to 3,3k.

———

Dengan raut sendunya, Alda melihat lagi tampilan layar ponsel yang menampilkan pemberitahuan bahwa panggilannya sudah dialihkan. Ini yang ketiga kalinya, sebenarnya ada apa dengan Naufal? Kenapa dia tidak mengangkat teleponnya? Jam 7 malam setahunya bukan jam sibuk bagi lelaki itu.

Perempuan itu berakhir menarik napas panjang beberapa kali, berusaha mengeluarkan sesak yang menguasai dada dan lehernya.

Jika Alda tidak salah hitung, kiranya sudah seminggu ini ia tak bertatap muka dengan Naufal. Jangankan bertemu, saling berkabar lewat pesan saja sudah tidak. Bukan tidak juga sih, hanya lebih jarang dari sebelumnya. Bahkan sangat jarang. Dalam seminggu ini, pria itu hanya menanyakan kabarnya tiga kali, tidak seperti kebiasaannya yang akan selalu menanyakan kabar setiap hari.

"Naufal, kamu ke mana?" Ia melirih pelan. Di depan tokonya yang sudah tutup, Alda berdiri sendirian.

Ini sudah tidak bisa ditolerir lagi. Naufal seperti sengaja menjauhinya. Satu-satunya yang harus ia lakukan hanyalah menemui pria itu dan bertanya, apa salahnya sehingga ia dijauhi seperti sekarang?

Maka Alda memesan taksi online, bukan ke rumahnya, melainkan ke rumah Naufal.

Sayang, tekad yang sudah terbentuk itu perlahan luntur ketika Alda menginjakkan kaki tepat di depan gerbang utama rumah Naufal. Tiba-tiba saja ia merasa malu untuk ke sini, apalagi tujuannya itu mencari Naufal, seseorang yang akan menjadi adik iparnya di masa depan. Bukankah itu terlalu mencurigakan?

Ah, sial. Kenapa ia berpikir sependek ini?

Sekarang ia harus apa? Pulang?

"Nggak. Telepon." Alda bermonolog, menjawab pertanyaan yang muncul di kepalanya.

Ia lalu mengotak-atik ponselnya dengan gerak cepat, langsung menempelkan permukaan layar pada telinga. Hanya butuh waktu sepersekian detik untuknya menunggu nada sambung, tetapi dering yang ia kenal sebagai dering ponsel Naufal terdengar oleh telinganya. Arahnya dari belakang, Alda refleks membalikkan badan.

Entah ia harus bersyukur atau terkejut saat menemukan Naufal kini berdiri tak jauh di belakangnya, dengan tangan kiri memegang ponsel yang menyala terang—cahayanya menyorot wajah pria itu dengan begitu provokatif—sedang tangan kanan membawa sekantong plastik entah berisi apa.

"Naufal..."

Naufal juga membeku di tempatnya. Cukup lama terdiam dengan mata terarah lurus pada Alda. Bahkan ketika Alda beranjak dan menghadapnya, ia masih tak bereaksi apa-apa.

"Kamu ke mana aja, Na? Seminggu ini, kenapa kamu nggak pernah ke toko lagi?"

"Kenapa aku harus?" Naufal tersenyum asimetris melihat keterdiaman Alda. "Kamu ngapain di sini?"

"Aku mau ketemu kamu."

"Mau apa lagi? Kamu bikin salah paham kalau ketemu aku malam-malam begini."

"Kenapa bisa jadi salah paham?"

"Karena kamu calon pengantin kakak aku."

Kata-katanya benar, 100% benar. Tapi kenapa Alda merasa tidak terima ketika Naufal menegaskan itu.

"Apa aku gak boleh ketemu adiknya yang masih jadi temen aku?" Kalimat itu terlontar begitu saja. Tanpa penyaringan, tanpa pikir panjang.

"Kamu pikir kita masih teman setelah malam itu?"

Sudah pasti tidak akan ada jawaban dari Alda. Itu membuat Naufal kemudian menghela napas. "Aku anter pulang."

Begitu tangannya terulur dan mencekal pergelangan tangan Alda, bersamaan dengan itu, sorotan cahaya dari lampu mobil yang menyorot mereka lagi-lagi seperti memergoki Alda tengah melakukan kejahatan.

Magic In You | Haechan ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang