VIII. The Taste Of Pain

464 29 0
                                    

"Kamu seharusnya nggak usah repot-repot antar Nenek ke sini, Al, masih ada Indri kan tadi."

Tepat ketika Alda mendudukkan Nenek di atas ranjang, perempuan lanjut usia itu mengutarakan pemikirannya. Apa yang ia katakan membuat Alda menghela napas, tidak terima dengan keputusan Nenek yang lebih mengandalkan Indri daripada dirinya. Itu perasaan yang sangat wajar bagi Alda, hampir seluruh hidupnya ia habiskan dengan Nenek berdua. Akan ada rasa tak suka jika posisinya mulai tergantikan oleh sosok lain.

Namun, kembali lagi pada situasi sekarang yang telah berubah. Alda telah menikah, sudah memiliki tanggung jawab lain yaitu suaminya. Dunianya sudah tidak lagi berpusat di dirinya, itu yang dipikirkan Nenek.

"Nenek udah nggak mau diurus aku?"

Mendengar balasan sang cucu, Fatmawati mengulas senyum. "Kamu baru aja menikah. Sana, temenin suamimu di kamar. Dia pasti nunggu kamu."

"Tadi aku udah izin ke Mas Aksa," imbuh Alda. Namun selang dua detik kemudian, dia menghela napas. Mungkin memang benar, Aksa boleh saja mengizinkan, tapi ia tidak tahu bagaimana isi kepalanya, pun isi hatinya. Apakah Aksa memang benar-benar tidak keberatan, atau dia justru sejujurnya keberatan namun tidak enak dan terpaksa mengizinkan.

Lalu saat ia hendak pamit, terbukanya pintu kamar di belakang membuat Alda urung bangkit. Wajah Aksa muncul begitu ia menoleh ke belakang. Dengan senyum lebar khasnya.

"Indri nyiapin ini di luar, tapi aku minta biar aku yang anterin ke Nenek." Dia menjelaskan, lantas menaruh nampan yang dibawanya di atas nakas.

"Kalian ini memang cocok. Sama-sama suka merepotkan diri untuk mengurus wanita tua ini."

"Nenek kok gitu sih?"

Jika jawaban Alda terkesan seperti seseorang yang tersinggung, maka Aksa sebaliknya. Dia menggeleng seraya melebarkan senyum. "Ah, nggak kok, nggak ngerepotin. Kan, aku sekalian jemput Alda."

"Kamu kira aku nggak hapal kamar kita?" Alda membalas cepat. Wajahnya kesal, tapi tak berapa lama menegang setelah sadar akan kata-katanya.

Beruntungnya suara batuk Nenek memecah canggung yang hampir terajut di antara mereka berdua. Nenek terkekeh susah payah. "Aksara, duduk sebentar, Nak, Nenek mau bicara beberapa hal sama kamu."

Aksa menurut, duduk di sisi lain pinggiran kasur, bersebelahan dengan sang istri.

"Kalian berdua, sekarang sudah jadi suami istri. Tahu, kan, kalau peran utama suami-istri itu harus saling melengkapi?" Keduanya kompak mengangguk. "Selain itu, kalian juga harus saling memahami, saling menghargai, dan saling menutupi kekurangan masing-masing."

Alda menunduk begitu Nenek menyebutkan kata kekurangan. Tiba-tiba saja ia merasa bahwa di dalam dirinya, lebih banyak kekurangan ketimbang kelebihan. Apakah selama mempersiapkan pernikahan ini Alda dilanda rasa tidak percaya diri? Sering. Ia cukup sadar diri dengan kelebihan yang Aksa miliki. Harta, keluarga, nama besar, Alda tidak memiliki semua itu. Namun berkat dukungan dari Kiara, ia berhasil sampai di titik ini.

Tapi sekali lagi, bisakah Aksa menerima semua kekurangannya?

"Pernikahan berarti menyatukan dua kepala dalam satu tubuh. Ketidaksamaan pendapat pasti ada, tapi jangan sampai itu memercik api pertengkaran antara kalian. Paham, kan, Al, Aksa?"

"Iya, Nek."

Jika tadi Nenek mengambil satu lengan Alda dan Aksa di masing-masing tangannya, kali ini sepasang tangan berkeriput itu sepenuhnya hanya memegang tangan kiri Aksa. Tatapannya juga mengarah pada si pria. Alda diabaikan untuk beberapa saat.

"Aksara, kamu kepala keluarga, kamu yang akan memimpin nantinya. Setelah mengambil sumpah ijab kabul tadi, sadar atau tidak, sudah ada tugas dan tanggung jawab yang melekat di kamu. Tugas memimpin keluarga, tanggung jawab menjaga dan membahagiakan istri kamu. Berat, memang, tapi kamu harus bisa. Mau gak mau, siap gak siap, itu yang harus kamu jalani setelah mengatakan siap menikahi Alda dulu." Dalam sepasang mata rabunnya, dia lihat Aksa mengangguk beberapa kali. "Kamu belum terlalu mengenal Alda lebih dalam karena dia pilihan orang tuamu, tapi tolong terima segala kekurangan Alda nantinya, karena mau bagaimanapun, dia yang akan membersamaimu dari awal membuka mata hingga terlelap di malam harinya."

Magic In You | Haechan ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang