XVIII. 180 Degree

415 22 4
                                    

Rupanya Aksa tak main-main dengan ucapannya kemarin, dia benar-benar mengajak Alda pergi ke Rumah Pelita tepat jam 7 pagi. Tentunya setelah menghubungi Rama untuk memindahkan seluruh jadwalnya hari ini ke hari lain, juga Jefta yang ia suruh menemani Alice selama mereka pergi.

Dan di sinilah Alda, di ruang tengah Rumah Pelita. Sehabis membagikan cheesecake bawaannya pada anak-anak, dia memilih langsung menemui Hanan. Informasi yang ia dengar Hanan menolak diajak keluar oleh Tian, salah satu teman sebayanya. Yang lantas membuat Alda semakin yakin jika Hanan tengah merajuk.

Kakinya lalu melangkah dengan pelan. Membawanya menuju kamar Hanan, sementara ia biarkan Aksa bermain dengan anak-anak di luar.

"Hanan?" Kepalanya melongok ke dalam kamar. Kamarnya sederhana, tidak diisi banyak barang, hanya 3 bunk bed yang disusun berjajar dan satu meja berisi peralatan anak-anak yang tinggal di sana.

"Hanan, Ibu datang ...." panggil Alda lagi setelah tidak ada balasan.

Alda baru menemukan Hanan ketika kakinya melangkah lebih dalam. Hanan ada di tempat tidurnya, berbaring dengan tubuh ditutupi selimut. "Kesayangan Ibu, tidur ya?"

"Ibu ngapain ke sini?"

Oh, tidak. Dia tidak tidur.

"Ibu mau nemuin Hanan dong," balasnya dengan nada riang seperti biasa. "Hanan marah ya sama Ibu?"

"Ibu ... siapa?"

Pertanyaannya membuat dahi Alda berkerut. "Ibu Hanan, ini, makanya balik badan dong, sayang."

"Bukan. Ibu bukan ibu aku ...."

"Hanan, kamu ngomong—"

"Ibu kandung aku hilang, ibu bukan ibu aku ... itu kata Kak Fani."

Alda tak paham kenapa Fani harus berbicara itu pada anak sekecil Hanan. Dia sudah besar, tahun ini sudah masuk bangku SMP, seharusnya dia bisa membedakan apa saja yang harus dikatakan dan tidak pada anak-anak yang berusia jauh di bawahnya. Ia harus bertanya tentang ini secepatnya.

"Hanan ...."

"Ibu kemarin nggak datang, padahal aku nunggu ibu, aku mau nanya itu sama ibu, aku mau buktiin kalau ibu itu ibu aku sama Kak Fani, tapi ibu nggak datang."

"..."

"Katanya, karena ibu bukan ibu aku, jadi aku tinggal di sini, nggak seperti Kak Mia yang tinggal bareng ibunya di rumah besar."

Jatuhlah air mata Alda. Dadanya kembali sesak, bahkan lebih dari kemarin. Dia kesusahan mengambil napas walau itu dari mulut. "Hanan, dengar, kamu anak Ibu, sayang. Jangan dengerin Kak Fani. Ingat apa kata Ibu waktu itu? Keluarga bisa dibilang keluarga kalau sudah ada ayah, ibu, sama anak. Kamu kan, udah punya ayah sekarang. Kita keluarga, Nak."

"Terus kenapa aku nggak tinggal sama ibu seperti Kak Mia?"

"Ibu sama ayah lagi sibuk-sibuknya, sayang. Kalau Ibu bawa kamu sekarang, kamu bakal lebih banyak sendirian karena di sana nggak ada teman. Sementara di sini banyak kan teman kamu, kamu bisa main bareng, bisa belajar bareng juga."

Tidak ada balasan dari si putra.

"Secepatnya ya, secepatnya kamu tinggal sama Ibu sama ayah." Dengan lembut tangannya menyentuh bahu kecil Hanan. "Hanan?"

"Eung?"

"Kamu masih marah sama Ibu?"

"Enggak, Bu."

"Sini peluk kalau gitu." Kedua tangannya menarik pinggang Hanan hingga jatuh ke dalam pelukannya. Alda benar-benar menenggelamkan Hanan ke dalam dada, merengkuhnya erat. "Ibu sayang Hanan, tahu itu kan?"

Magic In You | Haechan ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang