XXVI. Things I Could Never Say [END]

1K 40 92
                                    

Di bawah langit malam, pria itu melajukan mobilnya melesat membelah jalanan. Dia tak merasa cemas walau beberapa kali menyalip kendaraan. Tak peduli dirinya mungkin dimaki pengendara lain karena tak mematuhi peraturan lalu lintas yang ditetapkan.

Mana mungkin peduli, yang menumpuk dalam kepalanya sekarang hanya kemarahan.

"Aku udah melangkah sejauh ini, kenapa kamu dengan seenaknya nyuruh aku mundur?"

"Jangan lupa kamu bilang? Kamu yang lupa, William. Aku udah menghancurkan hubungan Aksa dengan keluarganya, merebut dia dari istrinya, aku udah ngelakuin yang kamu mau. Sekarang tolong lepasin aku, biarkan aku kembali ke Aksa."

Kata-kata Alice beberapa menit lalu kembali menyapa ingatan. Membuat Aksa meradang dan menambah laju kecepatan. Sekitarnya lengang, jadi ia merasa bebas. Namun menemui persimpangan, kakinya refleks menginjak rem sekuat mungkin karena sebuah mobil tiba-tiba datang.


Hampir. Gerak refleks tangannya yang membanting setir membuat ia batal terlibat dalam kecelakaan malam itu. Mobil yang Aksa tumpangi hanya berbelok dan pindah lajur yang untungnya masih kosong.

Saat ia sibuk mengatur napas, di belakangnya, pengendara yang hampir bertabrakan dengannya membunyikan klakson dengan kencang, jelas marah dengan kelakuan Aksa yang sangat membahayakan. Tapi Aksa tidak mengambil pusing itu, mobilnya ia hentikan di sisi jalan, istirahat sejenak untuk mendinginkan pikiran.

"Dia bukan wanita yang baik, dan kamu mau menikahinya? Mama nggak setuju!"

"Feeling gue bilang cewek lo ini gak tulus deh, Sa. Kayak—sorry ya—matre, maunya duit lo doang. Buktinya aja dia nggak muncul pas lo sakit kemaren."

Beberapa kilasan orang-orang yang kontra dengan hubungannya kembali menggema dalam benak Aksa. Rama pernah memperingatkan, Mama apalagi. Naufal juga pernah. Tapi bodohnya ia memilih tutup mata dan telinga, terus percaya pada si wanita, hanya karena dia memahami dan menemaninya sejak lama.

Sekarang apa yang mereka katakan benar. Sementara kepercayaannya dipatahkan. Ini terasa tidak nyata, tapi dia benar-benar melihat bahkan mendengarnya sendiri, Alice menelepon pria yang dia sebut William, terlihat berdebat karena teriakannya yang lalu membangunkan dirinya.

"ARGGHHHH!!"

Berteriak kencang, meninju roda kemudi, bahkan menangis pun sudah Aksa lakukan, tetapi rasa sakit di hatinya tak juga hilang.

Jadi, begini rasanya dikhianati?

Lelaki itu lantas memukul dadanya sendiri. Impulsif, tapi hanya itu cara terakhir yang ia punya, yang berharap bisa membuatnya lebih tenang. Tetapi bukannya menghilangkan, dia justru menambah rasa sakit. Nyeri, lalu sesak. Dia menjatuhkan kening pada roda kemudi, mengambil napas sebanyak yang ia bisa.

"Maaf..."

*

Entah kelelahan atau bagaimana, Aksa ketiduran di sana. Hanya satu jam. Dia tersentak karena mimpi yang buram, napasnya tertahan sementara kedua mata langsung terbuka lebar. Beberapa saat ia melakukan peregangan sebelum akhirnya menoleh ke sana-kemari, baru sadar dia masih di jalan.

Sekarang jam berapa?

Itu tanya pertama yang terlintas dalam benaknya. Aksa segera mencari ponsel, berusaha melihat jam tetapi ponselnya ternyata mati. Beruntungnya masih bisa ia hidupkan. Namun begitu layar menyala, puluhan notifikasi langsung memenuhi layar lockscreen.

Magic In You | Haechan ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang