XVII - Epilogue

10 2 0
                                    

Leona's POV

Enam bulan setelah kejadian yang menewaskan Karina, teman seangkatanku. Aku ditemani Pak Johan dan Gavin kembali ke wilayah hutan untuk mencari jasadnya, entah kini sudah hancur atau belum. Seolah ia menaruh dendam padaku, Karina terus muncul dalam mimpiku. Aku merasa sangat bersalah padanya karena dari awal telah memfitnahnya dan membuatnya berakhir di pengasingan. Saat itu memang aku tidak terlalu memikirkan orang lain, tujuanku hanyalah adikku dan teman yang bisa kuajak bekerjasama keluar dari sini. Tetapi perbuatanku saat itu menimbulkan efek yang besar hingga sekarang.

Karina, perempuan yang bahkan lebih muda dariku mengalami semua trauma, penderitaan bahkan kematian karena ulahku. Yang bisa kulakukan saat ini hanyalah menuruti kemauannya. Menemukan dimana jasadnya berada. Kami sebenarnya sudah mencarinya berkali-kali namun nihil, kami tidak menemukan apapun. Namun sore ini berbeda, firasatku mengatakan bahwa aku harus mencari Karina saat ini juga. Sebelum-sebelumnya kami tidak pernah menyisir hutan disore hari karena rawan tetapi aku bersihkeras mencarinya sore ini. Dan benar jasad tanpa kepala akhirnya berhasil kutemukan menyisakan tulang belulang yang hampir tertutup tanah.

Aku segera memanggil Pak Johan dan Gavin mengatakan bahwa aku telah menemukan Karina. Kami mengumpulkan seluruh tulang belulangnya kedalam kantong plastik kemudian mengkremasi hingga menjadi abu. Kami berlima menaburkan abu-abu itu di lautan yang tenang disepanjang tebing pulau yang kami tinggali sekarang. Adikku juga ikut membantu kami. Dia sekarang sudah bisa berdiri normal namun masih lemah karena tulang selangkanya retak akibat pukulan benda tumpul berkali-kali. Tapi ia tidak pernah menunjukkan rasa sakitnya padaku hingga sekarang.

"Kalian tahu mengapa monster itu lenyap setelah membunuh tubuh teman kalian?" tanya Pak Johan disela-sela kami menaburkan abu.

Kami semua menggelengkan kepala tanda ketidaktahuan.

"Monster-monster itu adalah monster kelas bawah yang hanya diperbolehkan makan sisa tumbal. Jika mereka membunuh dan memakan manusia normal mereka akan mati karena mendahului tetuanya." Jelas Pak Johan yang membuat kami semua terkejut.

Pak Johan menceritakan kejadian yang menimpanya karena ulah monster itu. Setelah bertahun-tahun ia baru bisa membentengi seluruh wilayah pulau dari serangan sihir white croatan dengan doa keselamatan yang ia pelajari dari salah satu gurunya.

Kini kami berenam tinggal di pulau kecil ini. Rumah kecil nan sederhana yang dibangun ayah Arga berdiri kokoh ditengah pepohonan yang cukup tinggi. Selama enam bulan kami sudah membiasakan hidup disini. Membuat api untuk penerangan, mencuci baju, memancing ikan, menimba air kami lakukan setiap harinya. Sesekali Pak Johan dan salah satu dari kami keluar menuju kota untuk membeli barang-barang yang kami perlukan. Bahkan kami tengah membuat ruangan tambahan untuk tidur agar lebih leluasa. Hari-hariku disini jauh dari kata mewah seperti kehidupanku sebelumnya namun aku jauh lebih nyaman dan bahagia. Apalagi rasa bersalahku baru saja hilang setelah Karina memaafkanku dna berpamitan lewat mimpiku.

"Kakak... ayo bantu kami jangan hanya melamun!" rengekan Daniel terdengar ditelingaku. Aku beranjak dari tempatku saat ini mengikuti Daniel keluar.

"Itu ada paman Gavin menyuruhmu membantunya diatas untuk memasang antena" ucap Daniel menyuruhku untuk naik keatas membantu Gavin. Tempat kecil mirip balkon ini dibuat Arga dan Gavin, dengan maksud agar kami bisa menikmati angin dan pemandangan dengan lebih jelas jikalau kami bosan. Pak Johan dan Gavin kembali dari kota dengan membawa antena dan radio agar ada hiburan katanya.

"Tolong pegang ini" suruh Gavin padaku memegang antenna yang menempel dengan tiang bambu.

Gavin mengikat antenna dengan akar tumbuhan sekuat mungkin agar tidak jatuh. Ia memberitahuku untuk tidak bergerak terlebih dahulu takut jika antenna nya akan jatuh dan aku menurutinya.

"Sudah, kau bisa melepaskan tanganmu" ucapnya setelah ia selesai. Sesaat sebelum aku berbelok menolehkan wajahku padanya, Gavin menciumku singkat.

"I Love You" ucapnya yang membuat jantungku hampir meledak. Aku kira selama ini, rasa yang ia taruh pada Gavin bertepuk sebelah tangan. Aku tidak menyangka jika dia juga menaruh hati padaku.

"I Love You Too" jawabku kemudian menciumnya kembali. Tak terasa air mata haru jatuh dari pelupuk mataku.

Leona's POV End.


Bella's POV

Aku merasa iri ketika melihat Gavin akhirnya mengutarakan perasaannya pada Leona hingga mereka berciuman. Leona pasti terkejut, batinku. Dia selama ini juga menyukai Gavin tetapi tidak berani mengatakannya duluan.

"Andai saja ada laki-laki seberani Gavin mengucapkannya padaku" ucapku getir pada diriku sendiri.

"Aku menyukaimu, Bella" sebuah suara dari belakang mengejutkanku. Aku tidak berani menoleh karena aku tahu siapa yang berbicara, pasti seniornya Arga.

"Bagaimana aku juga sudah berani mengungkapkan perasaanku seperti Gavin" lanjutnya yang membuatku lebih malu.

Kedua tangan kekar membalikkan tubuhku karena tak ada jawaban dariku. Arga, laki-laki bermata coklat muda ini menatap lekat wajahku. Menyadari aku yang masih tertegun, Arga meraup wajahku dengan tangannya.

"Jangan begitu terkejut, aku tidak ingin kita menjadi canggung"

"Yang terpenting aku sudah memberitahumu perasaanku. Itu sudah lebih dari cukup"

Hatiku berdegub tak karuan mendengar curhatan Arga hingga kuberanikan mulutku membalasnya ditengah kegaduhan yang ada dalam diriku saat ini.

"Aku juga menyukaimu, bodoh!" ucapku malu sambil melangkah meninggalkan Arga yang masih shock mendengar jawabanku.

"APA KAU BILANG" teriaknya yang tidak kutanggapi karena terlalu malu.
"HEI HEI jangan kabur"

"Bertanggung jawablah kau sudah membuat pria ini benar-benar terlihat bodoh"

"HEI BELLA"

"I Love You Bella"

"Puass...?! kau ingin mendengar yang lebih keras"

"I LOVE YOU BELLA" ucap Arga seraya berlari mengejarku yang terus menghindarinya.

Sekolah Agama "White Croatoan"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang